Global Variables

Rabu, 25 April 2012

Tafsir Ayat Menghadap Arah Ka’bah

Tafsir Ayat Menghadap Arah Ka’bah
I.                   Pendahuluan
Artinya: (115) Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Pada ayat tersebut telah difirmankan dengan jelas, bahwasanya baik timur ataupun barat, baik jurusan yang mana saja, semuanya itu adalah kepunyaan Allah, dan ke mana sajapun menghadap, di sana akan diterima juga oleh wajah Allah. Hal ini dikarenakan Allah tidak menempati sesuatu, bahkan Dia Maha Luas dan Maha Mengetahui. Oleh sebab itu, pada pokoknya ke mana sajapun kita menghadapkan muka di kala shalat, yang kita hadapi tetaplah wajah Allah, asal kita kerjakan dengan khusyu'.
Tetapi agama bukanlah semata-mata urusan peribadi. Agamapun adalah kesatuan seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan amal shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat. Kalau sekiranya semua orang menghadap ke mana saja tempat yang disukainya, meskipun yang disembah hanya satu, di saat itu juga mulailah ada perpecahan ummat tadi. Maka dalam Islam bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya yang tertentu, dengan rukun dan syaratnya yang tertentu, tempat menghadapkan mukapun diatur jadi satu.
II.                Pembahasan Surah Al-Baqarah Ayat 142-145
Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu : Apakah yang memalingkan mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada mereka padanya ? Katakanlah :Kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.
143) Dan demikianlah , telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di tengah, supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia, dan adalah Rasul menjadi saksi(pula) atas kamu. Dan tidaklah Kami jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya, melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa yang berpaling atas dua tumitnya. Dan memanglah berat itu kecuali atas orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah Penyan­tun lagi Penyayang.
144. sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
145. dan Sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, Sesungguhnya kamu -kalau begitu- Termasuk golongan orang-orang yang zalim.

III.             Makna Mufradat[1]

Ø  السُّفَهَاءُ : makna asal dari kata tersebut adalah ringan, tidak berbobot, tipis, tidak bernilai, dan dapat pula diartikan dengan bodoh dan lemah serta kurang akal pikirannya. Mengenai orang-orang bodoh yang dikhitab dalam ayat di atas, sebagaimana dinyatakan Imam Ibn Katsir bahwa terdapat beberapa pendapat para ahli tafsir yang menafsiri kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang musyrik Arab, para pendeta Yahudi, dan orang-orang munafik.[2] Namun Sayyid Quthb secara tegas menafsiri kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang Yahudi.[3]
Ø  وَلاهُمْ : yaitu memalingkan mereka. Ungkapan ini merupakan pertanyaan yang mengandung arti ejekan/celaan ang mengandung keheranaan dan ketakjuban.
Ø  القِبْلَة : berasal dari kata “المقابلة” yang berarti bertatap muka, berhadap-hadapan,kemudian kata ini di khususkan untuk menyebut arah yang dihadapi/dituju oleh manusia dalam melakukan shalat.
Ø  وَسَطًا : Adil lagi pilihan atau orang yang paling baik di antara mereka. Karena orang yang berlebih-lebihan dan yang mengurangi sama-sama tercelanya. Zamakhsyari (1:148) menyatakan bahwa yang baik itu yang tengah-tengah karena ujung-ujungnya cepat rusak, sedang tengah-tengahnya terpelihara.
Ø  عَقِبَيهِ : merupakan bentuk mutsanna/ganda dari kata “عقب” yang artinya ujung kaki. Namun dapat pula diartikan dengan berbalik atau kembali. Dengan demikian, maka pengertiannya adalah :supaya kami mengetahui siapa yang imannya tetap/teguh dan orang yang murtada dari agama Allah
Ø  الشَّطْرُ : menurut bahasa, ia berarti arah atau bagian dan dapat pula diartikan dengan bagian. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat ini adalah arah atau bagian dari Masjidil Haram.
Ø  تَقَلُّبُ الوَجْهِ : berulang kali menengadah ke langit. Al-Zajjaj, mengartikan ungkapan ayat ini dengan berulang kali matanya memandang/menengadah kelangit (fath Al-Bayan 1:243)
Ø  وَجْهَكَ : yaitu arah, dapat juga diartikan dengan separuh atau sebagian daripada sesuatu.

IV.             Asbab Al-Nuzul
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan pendapat para ulama mufassir yang menyatakan bahwa ayat 144 dari surah al-Baqarah di atas merupakan ayat yang turun terlebih dahulu dari pada ayat sebelumnya. Ayat khusus di sini berkaitan dengan pemindahan kiblat shalat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa:
قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس: كان أوَّل ما نُسخَ من القرآن القبلة، وذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هاجرَ إلى المدينة، وكان أكثر أهلها اليهود، فأمره الله أن يستقبل بيت المقدس، ففرحت اليهود، فاستقبلها رسول الله صلى الله عليه وسلم بضْعَةَ عَشَرَ شهرًا.[4]
Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam Al-Quran. Ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, karena pada waktu itu mayoritaas penduduk kota Madinah masih beragama Yahudi, Allah SWT memerintahkan beliau untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati penduduk Madinah yang merasa senang dengan hal tersebut. Maka, awal-awal di Madinah Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis selama beberapa puluh bulan.
Adapun sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassirin. Akan tetapi kebanyakan mereka berpendapat bahwa turunnya ayat 144 surah al-Baqarah di atas berawal dari penantian Rasulullah akan turunnya perintah untuk memindah arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam al-Razi dalam tafsirnya dengan beberapa alasan yang di antaranya bahwa rasulullah lebih senang menghadap Ka’bah dari pada Baitul Maqdis.
Kecondongan Rasulullah ini bukannya tanpa alasan, Imam al-Razi menyebut beberapa di antaranya karena kesombongan orang-orang Yahudi yang berkata bahwa Rasulullah menyalahi agama mereka, akan tetapi mengikuti kiblat mereka. Selain itu, kecenderungan rasulullah pada Ka’bah dikarenakan pula Ka’bah merupakan kiblatnya Nabi Ibrahim.[5]
Maka, Nabi Muhammad SAW menengadahkan wajahnya ke langit untuk menghadap dan berharap akan turunnya perintah memindahkan arah kiblat. Dan pada akhirnya, setelah melalui kurun waktu antara enam belas atau tujuh belas bulan sejak hijrahnya beliau ke Madinah, perintah itu pun turun berupa ayat 144 dari surah al-Baqarah.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Bara’ Ibn ‘Azib:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ...الأية}[6]
Atas dasar ayat ini maka berubahlah arah shalat kaum muslimin ke Ka’bah, yang sebelumnya menghadap ke Baitul Maqdis (yang merupakan kiblatnya ahli kitab dari kaum yahudi dan Nasrani). Dan ternyata, berubahnya arah kiblat oleh ummat Islam ini menjadikan kaum Yahudi lebih sombong dan enggan untuk masuk Islam. Karena itu, mereka di Madinah berkata dengan lisan mereka:
"أن اتجاه محمد ومن معه إلى قبلتهم في الصلاة دليل على أن دينهم هو الدين ، وقبلتهم هي القبلة؛ وأنهم هم الأصل ، فأولى بمحمد ومن معه أن يفيئوا إلى دينهم لا أن يدعوهم إلى الدخول في الإسلام!"[7]
Bahwa sesungguhnya menghadapnya Muhammad saw. dan orang-orang yang bersamanya ke arah kiblatnya orang Yahudi di dalam shalat, menunjukkan bahwa agama dan kiblat mereka adalah agama dan kiblat yang benar, serta sesungguhnya orang-orang Yahudi dan agamanya adalah yang asli. Maka, Muhammad saw. dan orang yang bersamanya justru yang harus memeluk agama orang-orang Yahudi, bukannya menyeru orang Yahudi untuk masuk Islam.
Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga menyebarkan kebohongan dan kebatilan agar kiblat Nabi Muhammad saw. dan kaum muslimin kembali ke Baitul Maqdis. Kaum Yahudi berusaha keras melenyapkan argumen yang dikeluarkan kaum muslimin berkaitan dengan pemindahan kiblat shalat. Dengan berlindung dan bersandar di balik keagungan agama Yahudi dan pada keraguan yang mereka ciptakan kepada umat Islam akan kebesaran nilai agama Islam itu sendiri, mereka berkata pada barisan kaum muslimin:
" إن كان التوجه - فيما مضى - إلى بيت المقدس باطلاً فقد ضاعت صلاتكم طوال هذه الفترة؛ وإن كانت حقاً فالتوجه الجديد إلى المسجد الحرام باطل ، وضائعة صلاتكم إليه كلها . . وعلى أية حال فإن هذا النسخ والتغيير للأوامر - أو للآيات - لا يصدر من الله ، فهو دليل على أن محمداً لا يتلقى الوحي من الله![8]
Jika menghadap Baitul Muqaddas adalah batil, maka sungguh telah hilang tanpa berpahala shalatmu selama waktu yang telah berlalu. Dan jika menghadap Baitul Maqdis adalah benar, maka apa yang telah kalian lakukan dengan menghadap kiblat yang baru (Ka’bah) adalah batil, dan shalat yang kalian lakukan dengan menghadap kiblat adalah sia-sia tanpa pahala. Maka, atas dasar keterangan tadi, nasakh dan perubahan arah shalat yang dilakukan Muhammad adalah perintah yang bukan dari Allah SWT, dan hal ini juga menunjukkan bahwa Muhammad tidak menerima wahyu dari Allah SWT. Untuk mengantisipasi hal tersebut dan memberikan kesiapan terhadap Nabi Muhammad dalam menghadapi fitnah mereka, Allah SWT menurunkan wahyunya berupa ayat 142-143 dan ayat 145 surah al-Baqarah.

V.                Munasabah Ayat
Pembicaraan dalam ayat-ayat ini berkisar dan teringkas pada masalah pemindahan arah kiblat dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan pemindahan arah kiblat, serta tipu daya yang dilancarkan orang-orang bodoh kepada barisan kaum muslimin dan perkataan-perkataan yang dilontarkan mereka seputar masalah tersebut.
Terkait perpindahan arah kiblat pada ayat 142, Allah menjadikan kaum muslimin sebagai umat pilihan dan pertengahan (adil). Hal ini merupakan penegasan tentang kaum muslimin sebagai umat yang terbaik sebaimana dinyatakan oleh Allah SWT:
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
Artinya: [110] kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat 142-145 surah al-Baqarah di atas juga dapat dipahami bahwa Allah SWT mengadakan ujian kepada kaum beriman, siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman, dan siapa yang masih ragu-ragu. Bagi siapa saja yang mengerti dan memahami hikmah peristiwa perpindahan kiblat, sudah barang tentu iman aka semakin tertanam. Tetapi bagi orang yang masih merasa ragu-ragu dan terombang-ambing oleh kebimbangan, atau hanya ikut-ikutan dalam beragama, tanpa pengetahuan dan penghayatan, tentu iman mereka akan semakin luntur.
Demikianlah cara Allah SWT menguji iman manusia dengan memunculkan fitnah. Dengan begitu, dapat diketahui siapa yang benar-benar beriman, tidak berpura-pura dan sungguh-sungguh, sebagaimana firman Allah SWT:
$O!9# ÇÊÈ   |=Å¡ymr& â¨$¨Z9$# br& (#þqä.uŽøIムbr& (#þqä9qà)tƒ $¨YtB#uä öNèdur Ÿw tbqãZtFøÿムÇËÈ   ôs)s9ur $¨ZtFsù tûïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% ( £`yJn=÷èun=sù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qè%y|¹ £`yJn=÷èus9ur tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÌÈ  
Artinya: [1] Alif laam miim.
[2] Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
[3] Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Dan ketika dalam ayat 143 di atas disebutkan kata li na’lama, yang artinya agar Kami mengetahui. Padahal pengetahuan Allah itu adalah qadim dan tidak pernah berubah. Hal inilah yang mendorong para mufassir mengatakan, bahwa yang dimaksud ilmu di sini ialah saat munculnya pengetahuan tersebut, atau terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan ilmu Tuhan. Sebab pada dasarnya Allah telah mengetahui seluruh kejadian yang akan terjadi. Allah pun mengetahui kepastian kejadian yang akan terjadi, di samping akibat dari peristiwa tersebut, apakah diberi pahala atau tidak.[9]
VI.             Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa tatkala Rasulullah Saw masih berdomisli di mekkah, beliau dalam shalatnya senantiasa menghadap ke baitul maqdis, sebagaimana dilakukan oleh Nabi-nabi bani Israil. Tetapi sebenarnya beliau senang menghadap ka’bah, karena bangunan tersebut merupakan kiblat nenek moyangnya Ibrahim as sedangkan beliau datang untuk menghidupkan agama nenek moyangnya itu dan untuk memperbaharui dakwahnya, serta ka’bah juga merupakan bangunan yang ada lebih dahulu diantara dua kiblat tersebut.
Sementara orang-orang yahudi mengatakan : “ Muhammad itu menyalahi agama kita. Seandainya tidak ada agama kita, tentu dia tidak tau harus kemana menghadap dalam shalatnya”. Oleh karena itu, Nabi SAW enggan untuk tetap mengikuti kiblat mereka. Bahkan diriwayatkan, beliau pernah berkata kepada malaikat jibril : “seandainya di perkenankan, aku ingin Allah mengalihkan aku dari kiblay orang-orang yahudi kekiblat yang lain”. Maka sejak saat itu beliau senantiasa mengarahkan pandangannya kelangit, dengan harapan beliau akan menerima wahyu dari Allah SWT, yang menetapkan pemindahan kiblat ke ka’bah (al-Dur al-Ma’tsur : 1: 147).
Ungkapan ayat tersebut diatas menyatakan bahwa sebelum kiblat dipindahkan, Allah Swt telah memberitahu tentang apa yang akan diucapkan oleh orang-orang yang dungu dari kalangan yahudi. Padahal peristiwa tersebut belum terjadi. Pemberitahuan semacam ini merupakan mukjizat bagi Rasulullah Saw yang menunjukkan bukti kebenaran risalah yang beliau bawa, karena pemberitahuan ini berkenaan dengan sesuatu yang gaib. Di samping itu, dalam pemberitahuan ini terkandung jawaban yang dapat mematahkan argumentasi lawan.[10]
Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf telah mengemukakan faidah dan kegunaan suatu berita yang kasusnya belum terjadi. Beliau menyatakan :
فائدته أن مفاجأة المكروه أشدّ ، والعلم به قبل وقوعه أبعد من الاضطراب إذا وقع لما يتقدّمه من توطين النفس ، وأنّ الجواب العتيد قبل الحاجة إليه أقطع للخصم وأرد لشغبه ، وقبل الرمي يراش السهم.[11]
Faidahnya, datangnya secara tiba-tiba sesuatu yang tidak disukai akan mendatangkan  kegoncangan yang hebat. Sedangkan mengetahuinya sebelum terjadi akan mengurangi kegoncangan dalam jiwanya, apabila ksus tersebut terjadi, karena mentalnya telah dipersiapkan. Sedangkan jawaban yang diperlukan, akan lebih dapat mematahkan argumentasi lawan dan dapat menolak bencana yang mungkin timbul.
Tidak hanya itu, Musthafa al-Maraghy menjelaskan bahwa sebelum lahirnya Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ialah orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, orang-orang yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan ruhaniah secara total, sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiah, termasuk kebutuhan jasmaniah mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Shabi’in, di samping beberapa pengikut sekte agama Hindu penyembah berhala, yakni kelompok yang populer dengan olahraga yoga.
Kemudian, lahirlah Islam yang berupaya memadu antara dua kebutuhan tersebut, yakni kebutuhan ruhaniah dan duniawiah (jasmaniah), di samping memberikan hak-hak secara manusiawi. Islam berpandangan bahwa manusia itu terdiri dari ruh dan jasmani. Atau, jika anda suka, katakanlah bahwa manusia itu terdiri dari unsur “hewan” dan “malaikat”. Jadi, agar seseorang menjadi manusia dalam pengertian yang sempurna, maka harus memenuhi dua kebutuhan tersebut secara seimbang dan terpadu.[12] Demikianlah kiranya maksud yang ingin disampaikan oleh Allah SWT melalui ayat 142 surah al-Baqarah di atas.
Artinya, agar kaum muslimin menjadi saksi bagi setiap orang yang berpaham materialis, dan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal agama dan sama sekali tidak memperdulikan kepentingan jasmaniah dengan cara menyiksa diri dan menutup diri dari hak-hak kemanusiaannya yang wajar. Kaum muslimin juga sebagai umat yang berada pada posisi depan karena mempunyai sikap pertengahan di dalam segala bentuk urusan. Kenyataan ini sekaligus merupakan tanda kesempurnaan yang tidak dapat dibandingkan lantaran bersikap memberikan hak secara proporsional, dan tidak ada satu hak pun yang umat Islam lewatkan. Kewajiban terhadap tuhan, terhadap diri sendiri, terhadap sanak famili dan orang lain, semuanya dipenuhi oleh umat Islam.
Sebab, Rasulullah adalah teladan yang paling baik bagi umat manusia. Kita akan dikatakan sebagai umat pertengahan jika mengikuti jejak ajarannya. Sehingga, perintah Allah SWT untuk mengganti arah kiblat tidak lain untuk mengetahui sejauh mana umat manusia yang tetap beriman dan yang tidak beriman (orang-orang yang hatinya terombang-ambing oleh arus dan berpendirian tak menentu).[13]
Perpindahan kiblat ini tentu sangat berat dirasakan oleh orang-orang yang sudah terbiasa dengan kiblat sebelumnya. Sebab, manusia memang cenderung kepada kebiasaan yang sudah lama dilakukan, dan sangat keberatan mengenal sesuatu yang baru. Dalam hal ini, yakni perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Terkecuali bagi orang yang sudah berbekal hidayah dari Allah SWT.



VII.          Kandungan Hukum
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa ayat tentang perpindahan arah kiblat ini merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam syari’at. Ayat ini pula yang dibuat landasan oleh para ahli fiqh yang menyatakan bahwa syari’at Islam mengakui adanya suatu hukum yang mengganti dan yang diganti (nasikh-mansukh). Terkait kewajiban menghadap arah Ka’bah pada ayat 142 surah al-Baqarah di atas, Imam al-Qurthubi menyebutkan setidaknya ada 4 persoalan hukum di dalamnya.[14]
Pertama, kata شطر المسجد الحرام yang ditafsiri dengan arah Ka’bah (ناحية الكعبة) para ulama berbeda pendapat tentang obyek konkret dari arah Ka’bah tersebut. Dalam kasus ini Imam al-Qurthubi meriwatkan sebuah hadits Rasul dari Ibn Abbas:
قد روى ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "البيت قبلة لأهل المسجد والمسجد قبلة لأهل الحرم والحرم قبلة لأهل الأرض في مشارقها ومغاربها من أمتي" .
Kedua, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa Ka’bah adalah arah kiblat dari segala penjuru. Para ulama juga sepakat bahwa bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, maka ia wajib menghadap ke Ka’bah secara langsung.
Ketiga, ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang tidak dapat melihat langsung Ka’bah. Di antara ulama berpendapat wajib menghadap ‘ain Ka’bah. Namun pendapat ini dibantah oleh Imam Ibn al-Arabi dan dianggap pendapat yang lemah. Karena hal ini akan berdampak pada taklif (paksaan) bagi orang yang tidak mampu.
Keempat, ayat ini menjadi hujjah yang terang bagi pendapatnya Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya, bahwa hukum bagi seorang mushalli adalah melihat ke depan dan bukan ke tempat sujud.     
VIII.       Hikmah Tasyri’[15]
Bangunan Ka’bah (Al-Baitul Atiq) yang dahulu di bangun oleh para abul anbiya (bapak para nabi), Ibrahim a.s. merupakan kiblat seluruh umat islam di muka bumi sebagaimana al-Baitul Ma’mur yang menjadi kiblat bagi penghuni langit, di mana mereka bertawaf dan bertasbih dengan memuji Allah sambil mengelilinginya.
Adalah kebijaksanaan Allah telah menentukan satu kiblat bagi umat islam, yang kemudian Allah memerintahkan kekasih-Nya Ibrahim a.s. untuk mendirikan ka’bah sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin yang aman, sebagai sumber bagi sinar, cahaya ketuhanan dan tempat bagi manusia dari segala penjuru bumi untuk menunaikan ibadah haji yang agung. Dalam hal ini Allah berfirman,
(#rßygô±uŠÏj9 yìÏÿ»oYtB öNßgs9 (#rãà2õtƒur zNó$# «!$# þÎû 5Q$­ƒr& BM»tBqè=÷è¨B  
Artinya: “supaya mereka menyaksikan pelbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut asma Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Q.S. Al-Hajj:28)
Dan Allah juga telah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya menghadap ke Baitullah dalam shalat sebagai ganti menghadap Baitul Maqdis selama kurang lebih enam belas atau tujuh belas bulan. Ini dilakukan tidak lain adalah untuk menguji keimanan dan kepercayaan mereka untuk menjaring siapa saja di antara mereka yang mukmin shadiq (yang benar) dan munafiq kadzib (yang berdusta). Selain itu juga untuk mengembalikan peran umat sebagai anutan sebagaimana firman-Nya dalam Al- Qur’an surat Al-hajj ayat 78 yang kurang lebih artinya, ”Dia (Allah) telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dan Dia (Allah) menyebut kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semuan menjadi saksi atas segenap manusia…”
Maka Ka’bah adalah perlambang jiwa tauhid dan aspek keimanan serta kiblat bapak para Nabi yang disekelilingnya saling bertemu hati orang-orang muslim dari pelbagai penjuru dunia. Semua ini mensinyalemen bahwa Ka’bah adalah lambang kesatuan mereka dan inti kesatuan kalimat mereka. Maka tidak mengherankan jika Allah memerintahkan mereka menghadapnya dalam shalat di manapun mereka berada, baik di Timur maupun di Barat, sebagaimana telah difirmankan Allah, “Palingkanlah mukamu ke arah masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…” (Q.S. Al-Baqarah:144).
Sedangkan bagi Al-Imam Fahrur Razi, dialihkannya kiblat ke masjidil haram memuat beberapa hikmah, yaitu:
1.      Bahwa sesungguhnya seorang hamba yang lemah apabila menghadap kepada Majlis Raja yang agung, ia akan menghadapkan mukanya kepada Raja tanpa berpaling dengan memujinya dengan merendahkan diri  dan berkhidmat. Begitu pula dengan hakikat menghadap kiblat, tidak akan berpaling darinya dengan disertai bacaan-bacaan dan tasbih-tasbih sebagai pujian, sedangkan ruku’ dan sujud merupakan cermin dari pengkhidmatan kepadanya.
2.      Maksud shalat adalah hadirnya hati (ke hadapan Allah), sedang kehadiran ini tak akan berhasil tanpa sikap yang tenang, tidak bergerak-gerak, dan tidak menoleh kemana-mana. Hal ini tentu tidak akan terlaksana dengan baik kecuali hanya dengan menghadap ke satu arah saja. Maka apabila ditentukan satu arah sebagai hadapan tentu menambah kemuliaan dan lebih utama.
3.      Allah SWT telah meyukai kelembutan hati di antara kaum mukminin. Oleh karena itu, jika seandainya masing-masing orang islam ketika shalat menghadap arah yang berbeda-beda, tentu hal itu justru akan memperjelas perbedaan. Sehingga, perintah Allah kepada umat islam untuk menghadap satu arah ini tidak lain adalah untuk mewujudkan persatuan umat.
4.      Allah SWT mengistimewakan Ka’bah dengan menyandarkannya kepada-Nya sebagaimana firman Allah, “Dan sucikanlah rumah-Ku” (Q.S. Al-Hajj:26). Pengistimewaan ini juga dilakukan oleh Allah kepada orang-orang mukmin dengan mengidhafatkan mereka kepada Diri-Nya seperti panggilan Ibadi (hamba-hamba-Ku). Maka kedua macam idhafat ini berarti adalah untuk mengistimewakan dan menghormati.




DAFTAR PUSTAKA
Bukhari, Muhammad Ibn Ismail Al-, Shahih al-Bukhari, al-Maktabah al-Syamilah.
Dimsyiqi, Ismail Ibn Umar Ibn Katsir Al-, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, al-Maktabah al-Syamilah.
Maraghy, Ahmad Muthafa Al-, Tafsir al-Maraghy, diterjemah oleh Bahrun Abu Bakar, Semarang: Toha Putra, 1984.
Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad Al-, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Maktabah al-Syamilah.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Dhilal al-Quran, al-Maktabah al-Syamilah.
Razi, Abu Abdillah Muhammad Ibn umar Al-, Tafsir al-Fakhri al-Razi, al-Maktabah al-Syamilah.
Shabuni, Muhammad Ali Al-, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, diterjemah oleh Mu’ammal Hamid dan Imron Manan, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Syarjaya, H. E. Syibli, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud Al-, al-Kasysyaf, al-Maktabah al-Syamilah.


[1] H. E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 119-121.
[2] Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Dimsyiqi, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, al-Maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 452.
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dhilal al-Quran, al-Maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 99.
[4] Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Dimsyiqi, Op.Cit, juz 1, hlm. 458.
[5] Abu Abdillah Muhammad Ibn umar al-Razi, Tafsir al-Fakhri al-Razi, al-Maktabah al-Syamilah, juz 2, hlm. 403.
[6] Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, al-Maktabah al-Syamilah, juz 2, hlm. 159.
[7] Sayyid Quthb, Op.Cit, juz 1, hlm. 94.
[8] Sayyid Quthb, Ibid, juz 1, hlm. 95.
[9] Ahmad Muthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, diterjemah oleh Bahrun Abu Bakar, Semarang: Toha Putra, 1984, juz 2, hlm. 8-9.
[10] H. E. Syibli Syarjaya, Op.Cit, hlm. 125.
[11] Abu al-Qasim Mahmud al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, al-Maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 142.
[12] Ahmad Muthafa al-Maraghy, Op.Cit, hlm. 6.
[13] Ibid, hlm. 7-8.
[14] Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Maktabah al-Syamilah, juz 2, hlm. 159-160.
[15] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, diterjemah oleh Mu’ammal Hamid dan Imron Manan, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hal. 88.

2 komentar: