KEKUASAAN KEHAKIMAN
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu: Drs. Amin Yahya
Oleh:
Diana Fitriawati (092111093)
Nur Alifah (092111119)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
KEKUASAAN KEHAKIMAN
- Pendahuluan
Dalam Negara hukum teori yang dianut adalah teori kedaulatan hukum. Menurut
teori ini, yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam
suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik penguasa maupun rakyat
atau warga negaranya, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk pada hukum.
Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai dan menurut hukum. Hal tersebut bermula
dari konsep kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui instrumen-instrumen hukum
yang kemudian dalam negara hukum harus diwujudkan dalam sitem kelembagaan
negara dan pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib agar dapat
dijalankan.
Dari segi kelembagaan prinsip organisasi kemesyarakatan harus diwujudkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga
tercermin dalam setruktur mekanisme kelembagaan nagara dan pemerintahan yang
menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.
Menurut montesqueu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan negara dalam tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif
(pembuat Undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana Undang-undang) dan
kekuasaan yudikatif (peradilan/ kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan kalau
terjadi pelanggaran).[1]
Ketiga poros kekuasaan tersebut
masing-masing terpisah satu sama lain baik mengenai orangnya maupun
kekuasaannya. Ajaran ini kemudian kita kenal dengan ajaran trias
politica.
- Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan UUD 1945
Pakar negara hukum
dari Eropa, Paul Scholten mempunyai pandangan bahwa unsur-unsur negara hukum
adalah:
a. Diakuinya hak-hak
asasi manusia
b. Adanya pemisahan
kekuasaan
c. Adanya pemerintahan
yang berdasarkan undang-undang[2]
Dari tiga
teori tersebut telah membuktikan bahwasanya suatu lembaga kekuasaan kehakiman
sangat penting bagi suatu negara hukum yang demokratis konstitusional.
UUD 1945 beserta
penjelasannya tidak memberikan keterangan mengenai arti Kekuasaan Kehakiman
secara tuntas. Namun ketentuan-ketentuan dalam pasal 24 dan 25 beserta
penjelasannya antara lain mencantumkan: ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan menurut undang-undang.” dan ”Syarat-syarat
untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim menurut undang-undang.”[3]
Maka yang dimaksud
Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Sejak tahun 1948
sampai sekarang ada empat Undang-Undang yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman, yaitu:[4]
1. UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dn Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan.
2. UU No. 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan dan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999
tentang perubahan atas UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
Kekuasaan Kehakiman.
4. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.[5]
- Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Ketentuan umum yang ada pada
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tertulis bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan kedilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradialan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, peradialn tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan oleh
undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili,
serta menyelesaikan setiap perkara yang di ajukan kepadanya.
Keberadaan
lembaga pengadilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah
sangat penting, karena:
a. Pengadilan merupakan
pengawal konstitusi
b. Pengadilan bebas
merupakan unsur negara demokrasi
c. Pengadilan merupakan
akar negara hukum[6]
Peradilan
dilakukan demi keadilan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, peradilan
dilakukan dengan cara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sesuai dengan pasal 29 UUD yang
berbunyi:
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk yang memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu.[7]
- Mahkamah Agung
Mahkamah Agung
merupakan lembaga peradilan yang benar-benar merdeka dari pengaruh-pengaruh
luar dirinya sehingga menciptakan suatu kebenaran, keadilan, dan kedamaian yang
dapat diterima dan dirasakan oleh pihak-pihak yang berperkara.[8]
Pembentukan
Mahkamah Agung di Indonesia berdasarkan pada ketentuan Pasal 24 UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional. Kemudian Ketetapan MPR RI No. III/ MPR/ 1978, pada pasal 1 ayat
(2), mengukuhkan Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara bersama-sama
dengan lembaga tinggi negara yang lain, yaitu Presiden, DPA, DPR, dan BPK.
Selanjutnya pasal I UU No. 14 Tahun 1985 mengukuhkan pula tentang kedudukan
Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara.[9]
a)
Tugas dan Fungsi Mahkamah
Agung
Tugas dan fungsi
yang diemban oleh MA berdasarkan UU No. 14 tahun 1985 dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini adalah:
a. Tugas Yudisiil, yaitu
tugas untuk menyelenggarakan pengadilan, meliputi:
1) Memeriksa dan memutus
perkara kasasi
2) Sengketa yuridiksi
3) Permohonan peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
b. Tugas judicial reviu
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
c. Tugas pengawasan
terhadap peradilan di bawahnya
d. Tugas penasihatan
e. Tugas Administratif
f. Tugas-tugas lain yang
diberikan berdasarkan undang-undang.[10]
b)
Kedudukan Mahkamah Agung
Mahkamah
Agung dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tinggi Negara membawa konsekuensi
bahwa Mahkamah Agung harus dapat memainkan peran politiknya untuk membawa
Negara Republik Indonesia ke arah yang di cita-citakan. Peran politik tersebut
berupa penilaian dan pengawasan serta sumbangan pemikiran di bidang hukum
kepada semua lembaga tinggi negara dan menjalankan politik pemerintahan negara.[11]
c)
Susunan Organisasi Mahkamah
Agung
Mengenai susunan organisasi yang ada dalam
Mahkamah Agung dijelaskan dalam BAB II Susunan Mahkamah Agung pasal 4 sampai
dengan pasal 27.
Susunan organisasi MA terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitia, dan
Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari
ketua, wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Hakim anggota Mahkamah Agung
adalah Hakim Agung. Pada Mahkamah Agung juga ditetapkan adanya Sekretariat
Jenderal dan dibantu oleh Wakil Sekjen.[12]
- Mahkamah Konstitusi (MK)
Perubahan UUD melahirkan lembaga baru di
bidang kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), yang
berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan beradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahakamah Konstitusi.”[13]
Sedangkan
Mahkamah Konstitusi itu sendiri adalah sebuah lembaga Negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.[14]
Berikut akan
dipaparkan lebih jelas mengenai Mahkamah Konstitusi dan hal-hal yang
bersangkutan di dalamnya;
a)
Kekuasaan dan Wewenang
Mahkamah Konstitusi
Dalam
pasal 24C yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD ,memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan .memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Di samping itu, Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
presiden dan / atau Wakil Persiden menurut UUD. Perlu dicatat bahwa putusan ini
sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR,
lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A).[15]
Mengapa
antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung perlu dipisahkan? Menurut Jimly
Assiddiqie, karena pada hakekatnya, keduanya memang berbeda. Mahkamah Agung
lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan
Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum(court of
law). Memang tidak bisa dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai ‘court
of justice’ versus court of law’. Semula, formula yang jimly usulkan adalah
seluruh kegiatan ‘judicial review’ diserahkan
kepada Mahkamah Konstitusi,sehingga Mahkamah Agung dapat berkosentrasi
menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi
setiap warganegara. Akan tetapi, nyatanya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan
pengujian terhadap peraturan di bawah undang-undang kepada Mahkamah
Agung. Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban untuk
memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana Presiden
dan/wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum
menurut UUD. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tetap diberi kewenangan sebagai ‘court
of law’ disamping fungsinya sebagai ‘court of justice’. Sementara
itu, Mahkamah Konstitusi tetap diberi tugas yang berkenaan dengan fungsinya
sebagai ‘court of justice’ disamping fungsi utamanya sebagai ‘court
of law’. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan seratus persen
antara ‘court of law’ dan ‘court of justice’, pada hakikatnya
penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. Mahkamah Agung
lebih merupakan ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih
merupakan ‘court of law’. Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan
kehakiman menurut ketentuan pasal 24 ayat (2) UUD 1945.[16]
Pembagian
tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan
perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menurut
jimliy, sama sekali tidak ideal karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan
yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung . Ke
depan, memang harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh system
pengujian peraturan dibawah kewenangan Mahkamah Konstitusi.[17]
b)
Susunan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9
(sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan
Presiden. Sedangkan hakim konstitusi itu tidak lain adalah pejabat Negara.
Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang
wakil merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
Ketua dan Wakil
Ketua dipilih dari , dan, oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama
3(tiga) tahun.
c)
Pengangkatan dan
Pemberhentian Hakim Konstitusi
Seorang hakim konstitusi dalam pengangkatannya itu harus memenuhi
beberapa syarat yaitu:[18]
Ø Sebagai
warga Negara Indonesia;
Ø Berpendidikan
sarjana hukum;
Ø Berusia
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan;
Ø Tidak
pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
Ø Mempunyai
pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun .
- Penutup
Demikianlah
makalah ini kami buat. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, namun
tidak ada satu manusia pun yang mencapai derajat kesempurnaan. Manusia hanya
berusaha untuk bisa lebih sempurna dari sebelumnya, namun Tuhanlah yang
menentukan tingkat keberhasilannya. penulis yakin mempunyai banyak kesalahan,
tetapi penulis lebih yakin pada kekuasaan Tuhan karena Tuhan tidak akan
menyia-nyiakan usaha hambanya menuju arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arto, A. Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azhary, Muhammad Tahrir . 1992. Negara Hukum Suatu
Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya
pada Periode Negara Madinah Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang.
Djalil,
Basiq. 2006. Peradilan Agama di
Indonesia. Jakarta:
Kencana Pre nada Media.
Huda,
Ni’matul. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kansil,
C. S. T. 2008. Hukum Tata Negara RI. Jakarta: Rineka Cipta.
[1] www.pedulihukum.blogspot.com/
(29032010)
[2]
Muhammad Tahrir Azhary, Negara Hukum
Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Hlm.9
[3] Ibid. hlm. 189
[4]
Basiq Djalil, Peradilan Agama di
Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006. hlm. 14
[5] Kecuali Aceh Darussalam, ada kekhususan
tersendiri dengan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD.
[6] A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Hlm.
20
[7] C. S. T. Kansil, Hukum Tata Negara RI. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Hlm. 192
[8] A. Mukti Arto, Op. Cit. Hlm. 308
[10] A. Mukti Arto, Op.Cit. hlm. 183
[12] Ibid. Hlm. 184
[13] Ni’matul Huda,,,Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006. hlm 201
[14] C. S. T. Kansil, Op. Cit. hlm.186
[15] Ni’matul Huda, Op. Cit. hlm. 202
[16] Ibid.
hlm 202-203, lihat juga pada Jimliy
Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-undang, Makalah
Kuliah Umum Program Dokter (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia,02 Oktober 2004, hlm 5-6.
[17] Ibid. hlm 204
[18] Ni’matul
Huda, Op. Cit. hlm. 187
Thanks, sangat membantu, izin copy ya mbak;)
BalasHapus