HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A.
Pendahuluan
a.
Latar Belakang
Indonesia
adalah sebuah Negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari segi etnik,
budaya, dan agama. Sedangkan mayoritasnya adalah beragama islam.
Dalam
sejarah perkembangan dan keberadaan bangsa Indonesia, baik sebagai komunitas
maupun sebagai Negara, hukum sebagai tatanan yang tumbuh dalam masyarakat turut mendampingi proses historis bangsa Indonesia.
Setelah melewati berbagai proses pertumbuhan, mulai dari awal kedatangan islam
sampai sekarang ini, hukum islam menjadi faktor penting dalam menentukan dalam
setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan
Negara.[1]
Oleh karena itu, sangatlah menarik jika kita mengetahui dan sekaligus dapat
memahami alur perjalanan sejarah Hukum Islam di Indonesia ini yang meliputi
perkembangan hukum Islam pada pra kolonialisme barat, masa penjajahan, pasca
kemerdekaan dan juga salah satu bentuk hukum dari dasar-dasar Islam yang
terbentuk yang menjadi salah satu pijakan dalam proses pengadilan agama yaitu
Kompilasi Hukum Islam itu sendiri.
Namun
perlu diingat bahwa proses sejarah hukum Islam tentu diwarnai semacam benturan
dengan tradisi sebelumnya dan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, serta
tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu. Bahwa
sejarah itu menunjukkan proses islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses
yang dapat selesai seketika. Dengan demikian hukum Islam bukanlah sistem yang
hanya memiliki satu standar kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Hukum Islam
tumbuh dan berkembang melalui proses evolusi yang sangat panjang. Jadi
merupakan pembakuan dan pemberlakuan yang sebelumnya telah mengalami proses
kritik dan dinamika sosio kultural tersendiri
b.
Rumusan masalah
Pada
latar belakang yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan tentang
pokok permasalahan yang akan di bahas. Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah
sebagai berikut:
Ø Sejarah timbul dan berkembangnya Hukum Islam, yang meliputi ;
o Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa pra kolonialisme
barat.
o Perkembangan Hukum Islam Indonesia pada masa penjajahan (Belanda
dan Jepang).
o Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pasca kemerdekaan.
o Beberapa rangkuman teori-teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia.
Ø Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
B.
Pembahasan
a.)
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
o Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia pada masa pra kolonialisme barat.
Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup di antara
masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat
Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah
kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut
mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung
para wali pembawa dan penyiar agama Islam.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli
sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan
kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan
utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para
pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk
masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas
muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama
sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di
wilayah aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin
menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang
tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain
kesulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku
yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore.
Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam
sejarah hukum islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan islam
menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum islam
telah ada di Indonesia sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan
fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para
ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an. Diaman para pengusa ketika itu
memposisikan hukum islam sebagi hukum Negara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis
ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada
periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran islam
dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu
dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi
dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.[2]
o Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia pada masa penjajahan Belanda
Cikal bakal
penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran
Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal
dengan VOC.
Ketika VOC datang ke Indonesia, kebijakan yang telah dilaksanakan
oleh para sultan/Kepala Negara tetap dipertahankan pada daerah-daerah yang
dikuasainya. Bahkan dalam banyak hal, VOC memberikan kemudahan dan fasilitas
agar lembaga peradilan islam dapat terus berkembang. Bentuk kemudahan yang
diberikan VOC adalh menerbitkan buku-buku hukum islam untuk menjadi pegangan
para hakim dalm memutuskan perkara. [3]
Dalam menghadapi perkembangan hukum islam di Indonesia, pada
mulanya pemeintah kolonial Belanda meneruskan kebijaksanaan yang telah
dilaksanakan oleh VOC, mereka tidak menganggap bahwa hukum islam adalah suatu ancaman yang harus ditakuti. Atas usul
Van den Berg dengan teori receptie in complexu yang berkembang dan
diyakini kebenarannya oleh pakar-pakar hukum pemerintah colonial Belanda maka
dibentuklah Peradilan Agama Indonesia. Kondisi sebagaimana tersebut di atas
tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama karena pemerintah
Kolonial Belanda mengubah pendiriannya tentang pemberlakuan hukum islam di
Indonesia.[4]
Perubahan pendirian
pemerintah Kolonial Belanda ini akibat usul Snouck Hurgronje dengan teorinya
yang terkenal dengan teori receptie. Akibat teori ini perkembangan hukum
islam menjadi terhambat karena pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan
kebijakan baru yang membatasi berlakunya kewenangan peradilan agama.[5]
o Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia pada masa penjajahan jepang.
Dalam aspek perkembangan hukum masa penjajahan Jepang (1942-1945)
tidak terjadi perubahan yang mendasar. Perkembangan hukum islam masa ini
setidaknya dapat dilihat dari keberadaan pengadilan agama. Berdasarkan
peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No.
1 tahun1992 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua
undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama
dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak
bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Tetapi kemudian ahli-ahli
hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini
muncul dari soepomo, penasehat departemen Kehakiman ketika itu dan ahli hukum
adat. Ia setuju agar hukum islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat.
Tetapi usulannya ini diabaikan oleh jepang karena khawatir akan menimbulakn
protes dari umat islam. Kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang untuk tidak
mengganggu gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak ketentraman
konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu Jepang memilih untuk tidak ikut campur soal
urusan agama umat, termasuk hukum islam.[6]
Dengan
demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama
masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan
Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para
pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
o Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia pasca kemerdekaan
Setelah
Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui
Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari
kekuasaan kementerian Kehakiman kepada
kementerian Agama dengan ketetapan
pemerintah Nomor 5/SDtanggal 25 Maret 1946.[7]
Hukum
Islam dalam pelaksanaannya di peradilan agama telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang menjelaskan tentang Pembentukan Peradilan
Agama di Luar Jawa dan Madura dengan berlabelkan nama sebagai Mahkamah
Syar’iyyah tingkat pertama di Kabupaten dan juga tingkat banding yang
ditempatkan di ibukota propinsi. Dan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pada pasal kesepuluh yang mengatur
adanya peradilan agama disamping peradilan umum. Dan dengan begitu maka hukum
Islam telah dianggap berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum Islam yang
disandarkan dalam pasal 29 UUD 1945.[8]
Dalam
pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 45’ serta di dalam pembukaan UUD 45’, dijelaskan
bahwa kedudukan Hukum Islam telah mantap
dan berkembang di Indonesia, karena pada dasarnya Hukum Islam merupakan hukum
dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah disesuaikan dengan falsafah negara yaitu
Pancasila. Sedangkan menurut Noel J Coulson bahwa hukum Islam ini diakui
sebagai hukum Tuhan dengan ungkapannya “does not grow out of …an avolving as
is the case with system but is imposed from above”. [9]
Dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka hal
itu menunjukkan bahwa hukum Islam semakin berkembang. Dan setelah Indonesia
merdeka berdasarkan pasal 29 tahun 1945 diintroduksi satu teori yang dinamakan
sebagai receptio a contrario theorie, yang menjelaskan jika hukum adat
baru akan berlaku jika telah diterima oleh hukum Islam.
b.)
Teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia
o Teori Receptio in Complexu
Teori Receptio in Complexu adalah memperlakukan hukum islam secara
penuh terhadap orang islam karena mereka telah memeluk islam. Belanda-- sejak
masa berdirinya VOC tetap mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, seperti hukum kekeluargaan islam, hukum
perkawinan, dan hukum waris.[10]
Untuk menjamin pelaksanaan hukum tersebut, oleh belanda dikeluarkan
peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 mei 1760, yang
merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan islam yang
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Dalam Regeerings-reglement
(RR) tahun 1885, pasal 75 dinyatakan bahwa : oleh hakim Indonesia,
hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Godsdienstige Wetten).[11]
Teori Receptio in Complexu dimunculkan oleh van Den Berg, berdasarkan kenyataan
bahwa hukum islam diterima secara menyeluruh oleh ummat islam.[12]
o Teori receptie
Masuknya pemerintah kolonial belanda ke Indonesia membawa
perubahan-perubahan dalam pelaksanaan Hukum Islam, meskipun secara formal hukum
Islam tetap diberlakukan. Hal ini didasari oleh adanya kecurigaan dari sebagian
pejabat Belanda yang mulai dikemukakan melalui kritik tarhadap
peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Mereka memperkenalkan het indische
adat-recht atau hukum adat Indonesia. Kritik ini dimulai Cornelis Van
Vollenhoven (1874-1933). Kemudian dilanjutkan oleh Cristian Snouck Hurgronje
(1857-1936) penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal islam dan
anak negeri.[13]
Teori receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang islam
adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah
diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya
hukum islam.[14]
Muatan pokok teori receptie ini adalah prinsip divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan
meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung
politik pecah belah pemerintah kolonial. Di Aceh, Hurgronje telah berhasil
mengkonfrontasikan antara ulama’ dan uleebalang. Musuh kolonialisme, menurutnya
bukanlah Islam sebgai agama, melainkan islam sebagai doktrin politik. Ia
melihat kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulakan bahaya terhadap kekuasaan
Belanda. Seperti kata Daniel S. Lev meskipun ia tahu bahwa Islam di Indonesia
banyak bercampur dengan kepercayaan Animisme dan Hindu, ia tahu bahwa orang
Islam di negeri ini memandang agamanya
sebgaai alat pengikat kuat ynag membedakan diri dari orang lain.[15]
- Teori Receptie Exit atau Receptio a Contrario
Teori ini mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum islam. Jika selama teori Receptie berlaku, adalah
sebaliknya, yaitu hukum islam dapat dilaksanakan, apabila diterima hukum adat,
maka sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum islam harus
dikeluarkan, dilawan, atau ditolak.[16]
Pada tahun 1950 dalam konferensi Departemen Kehakiman di Salatiga
Prof Hazairin telah mengarahkan suatu analisis dan pandangan agar Hukum Islam
itu berlaku di Indonesia, tidak berdasar
pada hukum adat. Berlakunya Hukum Islam menurut Hazairin supaya disandarkan
pada penunjukkan paraturan perundang-undangan sendiri. Sama seperti hukum adat
selama ini yang dasar memperlakukan hukum adat
itu sendiri adalah berdasar sokongan peraturan perundang-undangan.
Karena itu haruslah dipersiapkan dan dibuatkan perundang-undangan terhadap hal
itu.
Pandangan Hazairin tersebut sebenarnya sangat realistis, hal ini
sejalan dengan historis-historis seperti di Aceh misalnya masyarkatnya menghendaki
agar soal-soal perkawinan dan mengenai harta mereka, kewarisan diatur menurut
Hukum Islam. Ketentuan adat dalam upacara perkawinan sejauh tidak bertentangan
dengan hukum islam, maka diterima. Di Minangkabau dikenal adagium atau
pepatah-petitih adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (adat bersendi
syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah).[17]
Di Minangkabau memang dikenal sistem kekerabatan dengan system
matrilineal yaitu suatu sistem kekerabatan bahwa dalam penentuan hubungan
kekerabatan dihubungkan dari garis ibu saja. Namun karena pengaruh hukum islam perubahan
besar terjadi. Selain itu perubahan sistem ekonomi masyarakat yang semula
terpusat pada tanah berubah menjadi ekonomi moneter. Demikian halnya pendidikan
modern dan kehidupan merantau orang Minang telah membuka cakrawala baru. Menurut Amir Syarifuddin telah faktor yang
mempengaruhi perubahan orientasi kekerabatan tersebut adalah pengaruh hukum
islam yang menempatkan ayah (suami) sebagai kepala keluarga. Implikasinya
komposisi keluarga berubah dari bentuk anak-ibu-mamak dalam extended family
yang menjadi ciri khas kekerabatan matrilineal, menjadi keluarga inti (nuclear
family) yang komposisinya anak-ibu-ayah sebagai sistem kekeluargaan parental.[18]
Jadi harus diakui bahwa kendati Hukum Islam telah diterima kembali
sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat Islam dengan mengeluarkan
hukum adat, atau dengan kata lain hukum adat baru berlaku apabila tidak
bertentangan dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum
yang diatur dalam perundang-undangan. Dan dari sinilah kemudian dikenal dengan
teori receptie exit atau receptio
a contrario.
c.)
Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Pada
dasarnya term kompilasi merupakan adopsi dari bahasa inggris compilation
atau dalam bahasa Belanda berarti compilatie yang diambil dari kata
compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, misalkan mengumpulkan
peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Lalu istilah inilah (kompilasi)
yang digunakan di Indonesia sebagai terjemahan langsung dari kata tersebut.[19]
Namun
apabila penggunaan term kompilasi dalam konteks hukum Islam Indonesia, maka
biasanya dipahami sebagai fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang terdiri
dari bab-bab, pasal serta ayat-ayat yang tercakup di dalam nya. Padahal tidak
seperti halnya dengan perundang-undangan lainnya yang telah dikodifikasi.
Karena kompilasi sedikit berbeda dengan pengkodifikasian.
Secara
faktual Peradilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, namun dalam mengambil putusan
untuk sesuatu perkara tampak jelas para hakim Pengadilan Agama belum mempunyai
dasar pijak yang seragam. Hal itu terutama karena hukum islam yang berlaku
belum menjadi hukum tertulis dan masih tersebar di berbagai kitab kuning
sehingga kadang-kadang untuk kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam
pemecahan persoalan.
Dan
dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus
suatu perkara, Departemen Agama cq Biro Peradilan Agama melalui surat edaran
Nomor B/1/735 pada 18 Februari 1958, yang ditujukan kepada Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia untuk dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqih yang sebagian besar
merupakan kitab yang berlaku di kalangan mazhab syafi’i. Dan menyadari akan hal
itu, maka para pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih
komprehensif agar hukum Islam tetap
eksis dan dapat digunakan untuk menyelasaikan segala masalah dalam era
globalisasi ini. Dalam kaitan ini prinsip
yang harus dilakksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan
keadilan dan kemanfaatan.[20] Dalam
rangka inilah, Busthanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi
Hukum Islam.
Ide
untuk mengadakan Kompilasi Hukum di Indonesia ini memang baru muncul sekitar
tahun 1985 dan kemunculannya ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak
Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini
mendapat dukungan banyak pihak. Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret
1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKS (Surat
Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek
Kompilasi Hukum Islam. Yang berarti sudah sedari dini kegiatan ini mendapat
dukungan penuh dari Kepala Negara.[21]
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum di
Indonesia adalah intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada
Menteri Agama RI yang mana Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I
tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang
Hukum Perwakafan.[22]
Kelahiran UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebenarnya
dapat dinyatakan sebagai upaya kompilasi, meskipun pada saat itu namanya tetap
undang-undang. Karena bagaimanapun juga UU memiliki daya ikat dan paksa pada
sobyek serta objek hukumnya, berbeda dengan kompilasi yang sesuai dengan
karakternya. Yang mana hanyalah menjadi pedoman saja, relatif tidak mengikat.
Menurut Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum islam yang
telah berkembang di indonesia yaitu ; fiqh, fatwa ulama’ (hakim), keputusan
pengadilan, dan perundang-undangan[23].
Sebagai ijma’ ulama’ indonesia, Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat
menjadi pedoman bagi para hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya
secara substansial kompilasi tersebut dalam sepanjang sejaranhya, telah menjadi
hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang
semula yang dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab
fiqh yang terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah
dicoba diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Jadi dalam konteks ini,
sebenarnya terjadi perbahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh
menjadi terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga tidak
banyak berubah selagi hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya
sekarang.
C.
Penutup
Demikianlah
makalah penjelasan tentang Hukum Islam di Indonesia, Tentunya banyak
kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik
serta saran yang konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan, terutama dosen pengampu mata kuliah
ini, untuk membenahi kesalahan yang kami
lakukan sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia
merupakan tempat salah dan lupa, karena semua kebaikan datangnya dari Allah,
maka kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para
pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua dimasa
mendatang.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo. 1992.
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta : Gema Insani
Press, 1996.
Al-Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,
Jakarta : PT. Penamadani, 2004.
Coulson, Noel J.. The Concept Progress and islamic law, dalam
Robert N. Bellah (ed.), Religion and Progress in Modern Asia.
Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :
Ciputat Press, 2005.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ramulyo, Moh. Idris, Asas-asas
Hukum Islam, sejarah timbul dan berkembangnya kedudukan hukum Islam dalam
sistem hukum di Indonesia.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 1998.
[1] Said Agil
Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : PT.
Penamadani, 2004, hal 10-11
[2] Abdul Halim, Politik
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Ciputat Press, 2005, hal 49
[3] Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hal 1-2
[4] Ibid.
hal 2
[5] Ibid. hal
2-3
[6] Abdul Halim.
Op.cit, hal 71 -73
[7] Ibid. hal
71-72
[8] Moh. Idris
Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam,
sejarah timbul dan berkembangnya kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di
Indonesia, Hal 58
[9]
Noel J. Coulson. The Concept Progress and islamic law, dalam Robert N. Bellah
(ed.), Religion and Progress in Modern Asia, Hal 75
[10] Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, Hal 131
[11] Said Agil
Husin Al-Munawar. op. cit, hal 11
[12] Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998, hal 13
[13] Ibid.
hal 16
[14] Ibid. hal 16-17
[16] Ibid.
hal 20-21
[17] Ibid.
hal 22
[18] Ibid
[21] Ibid. hal
33
[22] Amrullah
Ahmad. Op. cit, hal 12
[23]
Ahmad Rofiq. Op. cit, hal 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar