PENDAHULUAN
Menurut
bahasa, nikah berarti penyatuan. Ada pula yang mengatakan nikah berarti
penggabungan,penyatuan,
penyandaran, dan percampuran.[1]
Sedangkan menurut istilah syari’at, nikah berarti akad antara pihak laki-laki
dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.
Nikah
berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti
majazi (metafora). Hujjah atas pendapaat ini adalah banyaknya pengertian nikah
yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai akad. Terdapat
berbagai definisi yang dipaparkan untuk kata tersebut. Dr. Ahmad Ghandur
sebagai bagian dari ulama kontemporer, mengembangkan definisi dari ulama terdahulu dengan akad
yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam
tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak
timbale balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban. UU perkawinan di Indonesia
merumuskannya dengan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terdapat
beberapa hal dari rumusan tersebut yang perlu diperhatikan :
Pertama,
digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa
pernikahan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak
perkawinan sesama jenis yang dilegalkan oleh beberapa Negara barat.
Kedua,
digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa pernikahan
adalah bertemunya dua jenis kelamin berbeda dalam satu rumah tangga, bukan
hanya dalam istilah hidup bersama.
Ketiga,
disebutkan pula tujuan pernikahan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal, yang menafikan sekaligus pernikahan temporal.
Keempat,
disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa pernikahan
itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah
agama.
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Nikah
Nikah merupakan amalan yang disyariatkan. Hal ini
didasarkan pada firman Allah Swt.:
“maka
nikahilah wanita-wanita (lainnya) yang kalian senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kalian takut tidak dapat berlaku adil[2],
maka cukup seorang wanita saja[3],
atau budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisaa’ : 3)
Rasulullah Saw. bersabda :
حدثناعمر
بن حفص بن غياث حدثنا أبي حدثنا الأعمش قال حدثني عمارة عن عبد الرحمن بن يزيد قال
دخلت مع علقمة والأسود علي عبد الله فقال عبد الله كنا مع النبي صلي الله عليه
وسلم شبابا لا نجد شيأ فقال لنا رسول الله صلي الله عليه وسلم يا معشر الشباب من
إستطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم
فإنه له وجاء
“wahai para pemuda, barangsiapa di antara
kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah.
Karena sesungguhnya pada pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan
memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa,
karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng baginya (melemahkan
syahwat).” (Muttafaq ‘alaih).
Terdapat banyak hadits yang merupakan anjuran untuk
menikah. Hal tersebut disebabkan banyaknya hikmah yang terkandung dalam
pernikahan, di antaranya pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup
manusia di dunia ini berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain itu
pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta
penghormatan.
Pada sebuah hadits, diceritakan :
حدثنا
سعيد بن أبي مريم أخبرنا محمد بن جعفر أخبرنا حميد بن أبي حميد الطويل أنه سمع أنس
بن مالك رضي الله عنه يقول جاء ثلاثة رهط إلي بيوت أزواج النبي صلي الله عليه وسلم
يسألون عن عبادة النبي فلما أخبروا كأنهم تقالوها فقالوا وأين نحن من النبي قد غفر
له ماتقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أما أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر أنا
أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله
إليهم فقال أنتم الذين قلتم كذا وكذا أما و الله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني
أصوم أفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس من
“dari
Anas bin Malik ra. Ia menceritakan : “ada tiga orang atau lebih datang ke rumah
istri Nabi Saw yang bertanya tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan,
seolah-olah mereka membanggakan ibadahnya masing-masing seraya berucap :
dibandingkan dengan beliau, maka dimanakah posisi kita. Sedang beliau telah
diberi ampunan atas dosa-dosa yang akan datang dan yang telah berlalu. Salah
seorang di antara mereka berkata : aku senantiasa melakukan shalat malam satu
malam penuh. Yang lain berkata : aku selalu berpuasa sepanjang masa dan tidak
pernah berbuka. Yang lain berkata : aku senantiasa menjauhi wanita dan tidak
akan menikah selamanya. Kemudian Rasulullah datang dan beliau bersabda : kalian
ini orang yang mengatakan begini dan begitu. Ingat, demi Allah, sesungguhnya
aku adalah orang yang sangat takut dan bertakwa kepada Allah daripada kalian.
Akan tetapi, aku berpuasa dan berbuka, mengerjakan shalat dan tidur, serta
menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka mereka bukan
termasuk golonganku.”
Adapun mengenai hukum menikah, dalam kitab al-Mughni
terdapat pendapat penulis tentang pernikahan yakni manusia terbagi menjadi tiga
macam[4] :
1. Orang
yang takut terjerumus dalam pelanggaran jika ia tidak menikah. Sedangkan ia mampu untuk membelanjahi rumah tangga dan
mempunyai nafsu syahwat,[5]
maka menurut
para Fuqaha secara keseluruhan, keadaan seperti itu menjadikan seorang wajib
menikah, demi menjaga kesucian dirinya.
2. Orang
yang disunnahkan untuk menikah. Yaitu orang yang syahwatnya bergejolak, yang
dengan pernikahan tersebut dapat
menyelamatkannya dari berbuat maksiat pada Allah Swt. menurut pendapat
ashhabur ra’yi, menikah dalam keadaan seperti itu adalah lebih utama daripada
menjalankan ibadah sunnah. Hal tersebut pula yang menjadi pendapat para
shahabat.
3. Orang
yang tidak mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah syahwat atau sebenarnya ia
mempunyai nafsu birahi tetapi hilang karena penyakit atau hal lainnya. Mengenai
hal tersebut terdapat dua pendapat :
·
Ia tetap
disunnahkan untuk menikah, karena universalitas alasan yang telah dikemukakan
tersebut.
·
Tidak menikah adalah
lebih baik baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan
menghalangi istrinya untuk dapat menikah dengan laki-laki lain yang lebih
memenuhi syarat. Dengan demikian, berarti ia telah memenjarakan wanita
tersebut. pada sisi yang lain, ia telah menghadapkan dirinya pada
ketidakmampuan memenuhi hak dan menunaikan kewajiban.
Ø Kemakruhan
Membujang
Yang
dimaksudkan dengan kata tabattul (membujang) disini adalah memutuskan diri
untuk tidak menikah dan menjadi segala hal yang bersangkutan dengannya.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt. “wa tabattal ilaihi tabtiila”.
Mujahid menafsirkan ayat ini dengan : “penuh ketekunan dan keikhlasan kepada
Allah”. Yang demikian itu merupakan penafsiran maknawi. Karena pada dasarnya
kata tabattul itu berarti keterputusan.
Dari
Sa’ad bin Abi Waqash ra. Ia berkata : Rasulullah pernah memperingatkan dengan
tegas, Utsman bin Madz’un, sebagai orang yang berniat membujang. Seandainya
beliau mengizinkannya, niscaya kami sudah bervasektomi (berkebiri). (HR.
Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).
Pada
hadits tersebut terdapat larangan yang bersifat mengharamkan dan tidak ada
perbedaan pendapat mengenai hal ini di kalangan ulama. Alasannya antara lain
membujang mengandung unsure perusakan dan penyiksaan diri dengan mendekatkannya
kepada bahaya yang tidak jarang membawa kepada kebinasaan[6].
Selain itu membujang juga dapat menghilangkan makna kejantanan serta mengubah
ciptaan Allah dan kufur terhadap nikmatNya, sebab penciptaan alat kelamin pada
seorang laki-laki merupakan nikmat yang sangat besar. Sehingga jika ia
menghilangkannya (dengan cara dikebiri), maka berarti ia telah menyerupai
wanita.
B.
Rukun
dan Syarat Pernikahan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Syarat sahnya pernikahan adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka
ditetapkan padanya seluruh hukum akad (pernikahan).[7]
Dalam hal hukum pernikahan, dalam menempatkan mana
yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang
perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut
disebabkan karena berbeda dalam melihat fokus pernikahan itu. Semua ulama
sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu pernikahan
adalah akad pernikahan, laki-laki yang akan menikah, perempuan yang akan
menikah, saksi yang akan menyaksikan akad pernikahan dan mahar atau mas kawin.
Ulama Hanafiyah melihat pernikahan dari segi ikatan
yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan. Oleh sebab itu,
rukun pernikahan menurut ulama Hanafiyah hanya akad nikah yang dilakukan oleh
kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan. Sedangkan yang lainnya
dikelompokkan menjadi syarat pernikahan. Pembagian syarat-syarat tersebut menurut
ulama Hanafiyah sebagai berikut :
1. Syuruth
al-in’iqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu
akad pernikahan. Karena kelangsungan pernikahan tergantung pada akad, maka
syarat disini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad
tiu sendiri. Bila syarat-syarat itu tertinggal, maka akad pernikahan disepakati
batalnya. Misalnya pihak-pihak yang melakukan akad nikah adalah orang yang
memiliki kemampuan untuk bertindak hukum.
2. Syuruth
as-shihhah, yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam
pernikahan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat
hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka pernikahan itu
tidak sah. Seperti adanya mahar dalam setiap pernikahan.
3. Syuruth al-nufuz,
yaitu syarat yang menentukan kelangsungan suatu pernikahan. Akibat hukum
setelah berlangsung dan sahnya pernikahan tergantung kepada adanya
syarat-syarat itu, tidak terpenuhinya menyebabkan fasadnya pernikahan. Seperti
wali yang melansungkan akad pernikahan adalah seseorang yang berwenang untuk
itu.
4. Syuruth al-luzum,
yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu pernikahan dalam arti tergantung
kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu pernikahan sehingga dengan telah
terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin pernikahan yang telah berlangsung itu
dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi pernikahan dapat
dibatalkan, seperti suami sekufu dengan istrinya.[8]
Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan
pernikahan disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan
pernikahan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah saja. Dengan begitu
rukun pernikahan adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu pernikahan.
Unsur pokok suatu pernikahan adalah laki-laki dan
perempuan yang akan menikah, akad pernikahan, wali yang melangsungkan akad
nikah dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya
suatu pernikahan. Berdasar pendapat ini, rukun pernikahan secara lengkap
sebagai berikut :
1. Calon
mempelai laki-laki
2. Calon
mempelai perempuan
3. Wali
dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan pernikahan
4. Dua
orang saksi
5. Ijab
yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
Adapun rukun akad nikah adalah sebagai
berikut:
1. Shighat akad
berbentuk kata kerja.
Lafal yang
digunakan dalam ijab qobul adalah fi’il. Pada dasarnya, lafal yang digunakan
dalam mengungkap penyelenggaraan akad dalam syara’ hendaknya fi’il madhi.[9]
Hal tersebut dikarenakan fi’il madhi merupakan bentuk kalimat yang
mengungkapkan penyelenggaraan akad dalam bahasa arabm seperti zawwajtu atau tazawwajtu (aku nikahkan engkau),
ungkapan inilah yang kemudian disebut ijab. Kemudian dijawab , radhitu
(aku ridho) dan wafaqtu (aku setuju), yang kemudian disebut qobul.
2. Lafal yang jelas
maknanya.
Lafal yang
digunakan menunjukkan pernikahan baik dari segi materi maupun substansinya,
baik dalam makna yang sebenarnya (makna hakikat) secara bahasa, misalkan
menggunakan makna nikah itu sendiri. Maupun makna kiasan (majaz) yang sudah
terkenal.
3. Adanya persamaan
ijab dan qobul.
Antara ijab
dan qobul harus ada persamaan, baik secara jelas, maupun kandungan
maknanya.sehingga jika terjjadi perbedaan antara ijab dan qobul maka akadnya
tidak sah. Baik perbedaan itu dalam ukuran mahar atau dalam permasalahan yang
diakadi.
4. Ketersambungan
qobul setelah ijab.
Ini
dimaksudkan bahwa ijab dan qobul dilaksanakan dalam satu majlis untuk mencapai
suatu keterpautan antara keduanya. Jika ijab diucapkan disuatu majlis,
sedangkan qobul diucapkan di majlis lain maka tidak terkait antara ijab dan
qobul, karena bertempat pada majlis yang terpisah.[10]
5.
Tidak meralat ijab sebelum qobul.
Jika
pihak ijab meralat ijabnya sebelum qobul, maka ijabnya dianggap tidak ada.
Karewna jika pihak ijab meralatnya sebelum qobulnya pihak lain, berarti ia
telah membuang ijab.
6. Shighat akad
ringkas.
Shighot akad
hendaknya diucapkan secara ringkas, terlepas dari catatan atau syarat. Sehingga
menimbulkan pengaruh seketika. Shighat akad tidak boleh bergantung pada urusan
yang akan datang atau disandarkan pada waktu yang akan datang. Misalnya “aku
nikahkan engkau jika si fulan telah datang dari bepergiannya”.
7. Shighat akad untuk
selamanya.
Shighot yang
digunakan dalam akad nikah hendaknya untuknselamanya. Sehingga tidak boleh
dibastasi waktu dengan pembatasan tertentu, baik dalam pembatasan waktu yang
lama maupun waktu yang pendek.[11]
Mahar yang harus ada dalam setiap pernikahan tidak
termasuk dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebutkan dalam akad
nikah dan tidak mesti diserahkan pada saat akad itu berlangsung. Dengan
demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat pernikahan.[12]
Dalam sebuah hadits disebutkan :
حدثنا عيس بن حماد أخبرني الليث عن
يزيد بن أبي حبيب عن أبي الخير عن عقبة بن عا مر عن رسول الله أنه قال إن أحق
الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج
“sesungguhnya
syarat yang pertama-tama harus kalian penuhi adalah apa yang karenanya kemaluan
dihalalkan bagi kalian.” (Muttafaq ‘alaih).
C.
Mahar
Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama
yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan
kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang
diterima. Ulama fiqh memberikan definisi yang tidak berbeda secara substansial,
di antaranya seperti yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah yakni harta yang
diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang
diterimanya. Namun seiring perkembangan tradisi, pendefinisian tersebut menjadi
pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari
berlangsungnya akad nikah. Hal ini berarti pemberian wajib yang diserahkan
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah
atau setelah selesainya akad nikah tidak disebut mahar tetapi nafaqah. Sehingga, mahar itu duberikan kepada seorang perempuan
sebgai pmberian yang tidak menharapkan pengembalianatau konsensi apapun.[13] Dengan
demikian, hukum taklifi dari mahar tersebut adalah wajib, dengan arti laki-laki
yang menikahi seorang perempuan wajib menyerahkan mahar pada istrinya.
Dalil dalam ayat Al-Qur’an adalah firman Allah Swt
dalam surah an-Nisa’ ayat 4:
“berikanlah
mahar pada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan
senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.”
Adapun dalil dari hadits di antaranya adalah sabda
Nabi Saw dalam suatu kisah dalam bentuk hadits muttafaq ‘alaih :
حدثنا
عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن أبي حازم عن سهل بن سعد قال جاءت امرأة إلي رسول الله فقالت إني وهبت من
نفسي فقامت طويلا فقال رجل زوجنيها إن لم تكن لك بها حاجة قال هل عندك من شيء
تصدقها قال ما عندي إلا إزاري فقال إن أعطيتها إيا ه جلست لا إزار لك فالتمس شيأ
فقال التمس ولو خاتما من حديد فلم يجد فقال أمعك من القرآن شيء قال نعم سورة كذا
وسورة كذالسورسماها فقال قد زوجنا كها بما معك من القرآن
“Ya
Rasulullah bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkan
saya dengannya. Nabi berkata : apa kamu memiliki sesuatu?. Ia berkata : tidak
ya Rasulullah. Nabi berkata : pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan
mendapatkan sesuatu. Kemudian ia pergi dan segera kembali dan berkata : saya
tidak memperoleh sesuatu ya Rasulullah. Nabi berkata : carilah walaupun hanya
sebentuk cincin dari besi.”
Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi
Saw tersebut, maka ulama sepakat
menetapkan hukum wajibnya memberikan mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam
literatur ulama yang menempatkannya sebagai rukun. Mereka sepakat
menempatkannya sebagai syarat sah suatu pernikahan, dalam arti suatu pernikahan
yang tidak memakai mahar adalah tidak sah.[14]
Ø Hikmah
diwajibkannya mahar
Mahar
merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada
waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul
beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa
pernikahan untuk kelangsungan hidup pernikahan itu. Dengan pemberian mahar itu
suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil
berikutnya.
Ø Berlakunya
kewajiban mahar
Ulama
sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah maka
berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah yang ditentukan waktu
akad. Alasannya ialah walaupun putus pernikahan atau kematian seorang di
anatara mempelai terjadi sebelum dukhul, namun suami telah wajib membayar
separuh mahar yang disebutkan waktu akad. Tentang kapan mahar wajib dibayar
keseluruhannya, ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat
tentang dua syarat yakni hubungan kelamin dan matinya salah seorang di antara
keduanya setelah berlangsungnya akad. Selain dua hal tersebut, terdapat
perbedaan pendapat antara mereka. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa kewajiban mahar dimulai dari khalwah meskipun belum berhubungan kelamin.
Khalwah oleh ulama Hanafiyah statusnya sudah disamakan dengan bergaulnya suami
istri dalam banyak hal. Ulama Hanafiyah menambahkan satu syarat, yaitu
berlangsungnya talaq ba’in, walaupun belum berlangsung hubungan kelamin. Ulama
Malikiyah menambahkan satu syarat lagi yakni istri telah serumah dengan
suaminya selama satu tahun, sedangkan menurut ulama Hanabilah sejak bersentuhan
dengan bernafsu antara suami istri telah wajib membayar mahar keseluruhannya.
Ø Macam-macam
mahar
Dari
segi dijelaskan atau tidaknya mahar itu pada waktu akad, mahar ada dua macam
yaitu :
a. Mahar Musamma
yakni mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam
akad. Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu pernikahan. Kewajiban suami
untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya pernikahan. Suami
wajib membayar mahar tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang
disebutkan dalam akad pernikahan itu.
b. Mahar Mitsl
yakni mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya dalam akad. Oleh karena
itu, kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan
lain dalam keluarganya.[15]
Mahar
mitsl diwajibkan dalam tiga kemungkinan :
a. Dalam
keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.
b. Suami
menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang
ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.
c. Suami
menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah
atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.
Mahar
musamma sebaiknya diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah supaya
selesai pelaksanaan kewajiban. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dapat
saja tidak diserahkan secara tunai, bahkan dapat dibayarkan secara cicilan.
Ø Bentuk, jenis
dan nilai mahar
Pada
umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga
lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan
sesuatu. Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam Al-Qur’an adalah menggembalakan
kambing selama 8 tahun.[16]
Contoh dalam hadits Nabi Saw. adalah
menjadikan mengajarkan Al-Qur’an sebagai mahar.
Nabi Saw. menghendaki
mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana jika mahar itu berupa uang atau
barang berharga. Hal ini tergambar dalam sabdanya dari ‘Uqbah bin Amir yang
dikeluarkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim yakni : sebaik-baiknya mahar
adalah yang paling mudah.
Tidak ada petunjuk
pasti tentang ukuran atau nilai mahar yang dibayarkan, sehingga para ulama
sepakat bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas
minimalnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama Hanafiyah
menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan apabila kurang dari
itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan mahar mitsl, dengan
pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had
pada pencurinya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3
dirham perak atau seperempat dinar emas. Dalil bagi mereka juga adalah
bandingan dari batas minimal harta yang dicuri yang mewajibkan had. Sedangkan
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberi batasan minimal dengan arti apapun
yang bernilai dapat dijadikan mahar.
Bila mahar itu dalam
bentuk barang, maka disyaratkan :
a. Jelas
dan diketahui bentuk dan sifatnya.
b. Barang
itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan
dimiliki pula manfaatnya.
c. Barang
tersebut memenuhi syarat untuk diperjualbelikan dalam arti barang yang tidak
boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar.
d. Dapat
diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang
tersebut sudah berada di tangannya pada waktu diperlukan.
Ø Hilang atau
rusaknya mahar
Menurut
ulama Hanafiyah bila mahar rusak atau hilang setelah diterima istri, maka
secara hukum suami sudah menyelesaikan kewajibannya secara sempurna dan untuk
selanjutnya menjadi tanggung jawab istri. Bila ternyata istri putus pernikahan
sebelum bergaul, maka kewajiban suami hanya separuh dari mahar yang telah
ditentukan. Bila mahar tersebut masih di tangan suami dan ternyata rusak atau
hilang, maka nilainya masih menjadi tanggungan suami.
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa mahar sebelum suami istri bergaul merupakan kewajiban bersama
dalam mengganti kerusakan atau kehilangannya. Sedang menurut ulama Syafi’iyah
suami bertanggungjawab atas mahar yang belum diserahkan dalam bentuk akad
dengan arti bila rusak atau hilang karena kelalaian suami ia wajib
menggantinya, tetapi bila rusak atau hilang bukan karena kelalaiannya tidak
wajjib menggantinya.
Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa mahar yang dinyatakan dalam bentuk yang tertentu
dan rusak sebelum diterima atau sesudahnya sudah menjadi tanggungan istri,
sedangkan bila mahar itu dalam bentuk yang tidak jelas dan hilang atau rusak
sebelum diterimanya, maka menjadi tanggungan suami.
Kesimpulan
Dari pemahasan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa
menikah sangatlah dianjurkan terhadap orang-orang yang telah mampu untuk
melaksanakannya, baik kemampuan secara lahiriyah maupun bathiniyah. Selain itu,
juga harus memenuhi syarat dan rukun-rukunnya. Karena dengan mnikah merupakn
salah satu jalan untuk mengobati penyakit al-isyq.
Penutup
Demikian
pemakaran makalah kami, sebagai manusia biasa tentunya kami tidaklah luput dari
banyaknya kesalahan baik dalam penulisan ataupun penyampaian makalah, maka kami
sangat mengharapkan kritik dan syaran dari para pembaca. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin…
Daftar
pustaka
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, fiqh Munakahat, khithbah, nikah, dan talak.
2009, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Asshiddieqy , Muhammad Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum, 2001,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, Panduan Membangun Keluarga
Sakinah Sesuai Syariat. 2008. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Muhammad, Syaikh Kamil ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, 2004, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Syarifuddin,
Amir. hukum perkawinan islam di Indonesia, antara fiqh
munakahat dan undang-undang perkawinan.2006. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Syahrur , Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, 2004, yogyakarta: eLSAQ Press.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 2004, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
[1] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada), 2004, hal. 43.
[2]
Berlaku adil adalah
perlakuan yang adil di dalam melayani istri seperti terhadap pakaian, tempat
tinggal, giliran dan lain sebagainya yang bersifat lahiriyah.
[3] Islam membolehkan poligami
dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat tentang poligami ini, sudah
ada dan pernah dijalankan oleh para nabi sebelum Rasulullah Muhammad Saw. ayat
ini membatasi poligami sampai empat orang wanita saja.
[4]
Syaikh Hasan Ayyub. Fikih Keluarga, Panduan Membangun Keluarga
Sakinah Sesuai Syariat. 2008. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. Hlm. 31
[5] Muhammad Hasbi Asshiddieqy. Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra), 2001, hal. 5.
[6] Hal ini merupakan pendapat Imam
Ibnu Hajar.
[7] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, 2008, Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar.
[8] Selengkapnya lihat Wahbah
al-Zuhaili VII, 6533.
[9] Terkadang, ijab juga menggunakan fi’il
mudhori (kata kerja bentuk sedang atau yang akan datang), misalnya,
atazawwajtuki (aku menikahimu), sedangkan qobul menggunakan fi’il madhi, misalnya,
qobiltu zawajaka (aku terima pernikahanmu). Lihat. Abdul Aziz Muhammad Azzam,
fiqh Munakahat (Sinar Grafika Offset: Jakarta, 2009), hal. 60.
[10] Persyaratan untuk tidak berbeda majlis ijab
dan qobul merupakan pendapat mayoritas fuqoha’. Sedangkan syiah
imamiyah berbeda terkait hal ini. menurutnya, perbedaan majlis tidak menjadi persoalan,
sehingga akad nikah tersebut tetap sah.
[12] Dalam tradisi Arab sebagaimana
yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, mahar itu meskipun wajib namun tidak
mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah itu dalam arti boleh
diserahkan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah.
Definisi yang diberikan oleh ulama waktu itu seiring dengan tradisi yang
berlaku saat itu. Lihat Prof. DR. Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di Indonesia, antara fiqh munakahat dan
undang-undang perkawinan.2006. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hlm.
61.
[14] Dalam hal mahar ini, ulama
Zhahiriyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak memakai
mahar, maka pernikahan tersebut dapat dibatakan (Ibnu Hazmin : 466)
[15] Ulama Hanafiyah secara spesifik
memberi batasan mahar mitsl itu dengan mahar yang pernah diterima oleh
saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya,
kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya,
negeri tempat tinggalnya, dan masanya dengan istri yang akan menerima mahar
tersebut.
[16] Dikisahkan dalam surat
Al-Qashash ayat 27 : “berkatalah dia (Syu’aib) : sesungguhnya aku bermaksud
menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini atas dasar
bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun,
maka itu adalah urusanmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar