Global Variables

Rabu, 25 April 2012

hadits NIKAH


PENDAHULUAN
Menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Ada pula yang mengatakan nikah berarti penggabungan,penyatuan, penyandaran, dan percampuran.[1] Sedangkan menurut istilah syari’at, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.
Nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi (metafora). Hujjah atas pendapaat ini adalah banyaknya pengertian nikah yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai akad. Terdapat berbagai definisi yang dipaparkan untuk kata tersebut. Dr. Ahmad Ghandur sebagai bagian dari ulama kontemporer, mengembangkan  definisi dari ulama terdahulu dengan akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak timbale balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban. UU perkawinan di Indonesia merumuskannya dengan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terdapat beberapa hal dari rumusan tersebut yang perlu diperhatikan :
Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa pernikahan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang dilegalkan oleh beberapa Negara barat.
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa pernikahan adalah bertemunya dua jenis kelamin berbeda dalam satu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah hidup bersama.
Ketiga, disebutkan pula tujuan pernikahan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus pernikahan temporal.
Keempat, disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa pernikahan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

PEMBAHASAN
A.    Hukum Nikah
Nikah merupakan amalan yang disyariatkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt.:
“maka nikahilah wanita-wanita (lainnya) yang kalian senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil[2], maka cukup seorang wanita saja[3], atau budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisaa’ : 3)
Rasulullah Saw. bersabda :
حدثناعمر بن حفص بن غياث حدثنا أبي حدثنا الأعمش قال حدثني عمارة عن عبد الرحمن بن يزيد قال دخلت مع علقمة والأسود علي عبد الله فقال عبد الله كنا مع النبي صلي الله عليه وسلم شبابا لا نجد شيأ فقال لنا رسول الله صلي الله عليه وسلم يا معشر الشباب من إستطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
 “wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pada pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng baginya (melemahkan syahwat).” (Muttafaq ‘alaih).

Terdapat banyak hadits yang merupakan anjuran untuk menikah. Hal tersebut disebabkan banyaknya hikmah yang terkandung dalam pernikahan, di antaranya pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain itu pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta penghormatan.
Pada sebuah hadits, diceritakan :
حدثنا سعيد بن أبي مريم أخبرنا محمد بن جعفر أخبرنا حميد بن أبي حميد الطويل أنه سمع أنس بن مالك رضي الله عنه يقول جاء ثلاثة رهط إلي بيوت أزواج النبي صلي الله عليه وسلم يسألون عن عبادة النبي فلما أخبروا كأنهم تقالوها فقالوا وأين نحن من النبي قد غفر له ماتقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أما أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر أنا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله إليهم فقال أنتم الذين قلتم كذا وكذا أما و الله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم أفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس من               
“dari Anas bin Malik ra. Ia menceritakan : “ada tiga orang atau lebih datang ke rumah istri Nabi Saw yang bertanya tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seolah-olah mereka membanggakan ibadahnya masing-masing seraya berucap : dibandingkan dengan beliau, maka dimanakah posisi kita. Sedang beliau telah diberi ampunan atas dosa-dosa yang akan datang dan yang telah berlalu. Salah seorang di antara mereka berkata : aku senantiasa melakukan shalat malam satu malam penuh. Yang lain berkata : aku selalu berpuasa sepanjang masa dan tidak pernah berbuka. Yang lain berkata : aku senantiasa menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya. Kemudian Rasulullah datang dan beliau bersabda : kalian ini orang yang mengatakan begini dan begitu. Ingat, demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang sangat takut dan bertakwa kepada Allah daripada kalian. Akan tetapi, aku berpuasa dan berbuka, mengerjakan shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka mereka bukan termasuk golonganku.”
Adapun mengenai hukum menikah, dalam kitab al-Mughni terdapat pendapat penulis tentang pernikahan yakni manusia terbagi menjadi tiga macam[4] :
1.      Orang yang takut terjerumus dalam pelanggaran jika ia tidak menikah. Sedangkan ia mampu untuk membelanjahi rumah tangga dan mempunyai nafsu syahwat,[5] maka menurut para Fuqaha secara keseluruhan, keadaan seperti itu menjadikan seorang wajib menikah, demi menjaga kesucian dirinya.
2.      Orang yang disunnahkan untuk menikah. Yaitu orang yang syahwatnya bergejolak, yang dengan pernikahan tersebut dapat  menyelamatkannya dari berbuat maksiat pada Allah Swt. menurut pendapat ashhabur ra’yi, menikah dalam keadaan seperti itu adalah lebih utama daripada menjalankan ibadah sunnah. Hal tersebut pula yang menjadi pendapat para shahabat.
3.      Orang yang tidak mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah syahwat atau sebenarnya ia mempunyai nafsu birahi tetapi hilang karena penyakit atau hal lainnya. Mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat :
·         Ia tetap disunnahkan untuk menikah, karena universalitas alasan yang telah dikemukakan tersebut.
·         Tidak menikah adalah lebih baik baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi istrinya untuk dapat menikah dengan laki-laki lain yang lebih memenuhi syarat. Dengan demikian, berarti ia telah memenjarakan wanita tersebut. pada sisi yang lain, ia telah menghadapkan dirinya pada ketidakmampuan memenuhi hak dan menunaikan kewajiban.
Ø  Kemakruhan Membujang
Yang dimaksudkan dengan kata tabattul (membujang) disini adalah memutuskan diri untuk tidak menikah dan menjadi segala hal yang bersangkutan dengannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt. “wa tabattal ilaihi tabtiila”. Mujahid menafsirkan ayat ini dengan : “penuh ketekunan dan keikhlasan kepada Allah”. Yang demikian itu merupakan penafsiran maknawi. Karena pada dasarnya kata tabattul itu berarti keterputusan.
Dari Sa’ad bin Abi Waqash ra. Ia berkata : Rasulullah pernah memperingatkan dengan tegas, Utsman bin Madz’un, sebagai orang yang berniat membujang. Seandainya beliau mengizinkannya, niscaya kami sudah bervasektomi (berkebiri). (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).
Pada hadits tersebut terdapat larangan yang bersifat mengharamkan dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini di kalangan ulama. Alasannya antara lain membujang mengandung unsure perusakan dan penyiksaan diri dengan mendekatkannya kepada bahaya yang tidak jarang membawa kepada kebinasaan[6]. Selain itu membujang juga dapat menghilangkan makna kejantanan serta mengubah ciptaan Allah dan kufur terhadap nikmatNya, sebab penciptaan alat kelamin pada seorang laki-laki merupakan nikmat yang sangat besar. Sehingga jika ia menghilangkannya (dengan cara dikebiri), maka berarti ia telah menyerupai wanita.
B.     Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat sahnya pernikahan adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka ditetapkan padanya seluruh hukum akad (pernikahan).[7]
Dalam hal hukum pernikahan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan karena berbeda dalam melihat fokus pernikahan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu pernikahan adalah akad pernikahan, laki-laki yang akan menikah, perempuan yang akan menikah, saksi yang akan menyaksikan akad pernikahan dan mahar atau mas kawin.
Ulama Hanafiyah melihat pernikahan dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan. Oleh sebab itu, rukun pernikahan menurut ulama Hanafiyah hanya akad nikah yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan. Sedangkan yang lainnya dikelompokkan menjadi syarat pernikahan. Pembagian syarat-syarat tersebut menurut ulama Hanafiyah sebagai berikut :
1.      Syuruth al-in’iqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad pernikahan. Karena kelangsungan pernikahan tergantung pada akad, maka syarat disini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad tiu sendiri. Bila syarat-syarat itu tertinggal, maka akad pernikahan disepakati batalnya. Misalnya pihak-pihak yang melakukan akad nikah adalah orang yang memiliki kemampuan untuk bertindak hukum.
2.      Syuruth as-shihhah, yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam pernikahan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka pernikahan itu tidak sah. Seperti adanya mahar dalam setiap pernikahan.
3.      Syuruth al-nufuz, yaitu syarat yang menentukan kelangsungan suatu pernikahan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya pernikahan tergantung kepada adanya syarat-syarat itu, tidak terpenuhinya menyebabkan fasadnya pernikahan. Seperti wali yang melansungkan akad pernikahan adalah seseorang yang berwenang untuk itu.
4.      Syuruth al-luzum, yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu pernikahan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu pernikahan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin pernikahan yang telah berlangsung itu dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi pernikahan dapat dibatalkan, seperti suami sekufu dengan istrinya.[8]
Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan pernikahan disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan pernikahan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah saja. Dengan begitu rukun pernikahan adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu pernikahan.
Unsur pokok suatu pernikahan adalah laki-laki dan perempuan yang akan menikah, akad pernikahan, wali yang melangsungkan akad nikah dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya suatu pernikahan. Berdasar pendapat ini, rukun pernikahan secara lengkap sebagai berikut :
1.      Calon mempelai laki-laki
2.      Calon mempelai perempuan
3.      Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan pernikahan
4.      Dua orang saksi
5.      Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.



Adapun rukun akad nikah adalah sebagai berikut:
1.      Shighat akad berbentuk kata kerja.
Lafal yang digunakan dalam ijab qobul adalah fi’il. Pada dasarnya, lafal yang digunakan dalam mengungkap penyelenggaraan akad dalam syara’ hendaknya fi’il madhi.[9] Hal tersebut dikarenakan fi’il madhi merupakan bentuk kalimat yang mengungkapkan penyelenggaraan akad dalam bahasa arabm seperti zawwajtu  atau tazawwajtu (aku nikahkan engkau), ungkapan inilah yang kemudian disebut ijab. Kemudian dijawab , radhitu (aku ridho) dan wafaqtu (aku setuju), yang kemudian disebut qobul.
2.      Lafal yang jelas maknanya.
Lafal yang digunakan menunjukkan pernikahan baik dari segi materi maupun substansinya, baik dalam makna yang sebenarnya (makna hakikat) secara bahasa, misalkan menggunakan makna nikah itu sendiri. Maupun makna kiasan (majaz) yang sudah terkenal.
3.      Adanya persamaan ijab dan qobul.
Antara ijab dan qobul harus ada persamaan, baik secara jelas, maupun kandungan maknanya.sehingga jika terjjadi perbedaan antara ijab dan qobul maka akadnya tidak sah. Baik perbedaan itu dalam ukuran mahar atau dalam permasalahan yang diakadi.
4.      Ketersambungan qobul setelah ijab.
Ini dimaksudkan bahwa ijab dan qobul dilaksanakan dalam satu majlis untuk mencapai suatu keterpautan antara keduanya. Jika ijab diucapkan disuatu majlis, sedangkan qobul diucapkan di majlis lain maka tidak terkait antara ijab dan qobul, karena bertempat pada majlis yang terpisah.[10]
5.      Tidak meralat ijab sebelum qobul.
Jika pihak ijab meralat ijabnya sebelum qobul, maka ijabnya dianggap tidak ada. Karewna jika pihak ijab meralatnya sebelum qobulnya pihak lain, berarti ia telah membuang ijab.
6.      Shighat akad ringkas.
Shighot akad hendaknya diucapkan secara ringkas, terlepas dari catatan atau syarat. Sehingga menimbulkan pengaruh seketika. Shighat akad tidak boleh bergantung pada urusan yang akan datang atau disandarkan pada waktu yang akan datang. Misalnya “aku nikahkan engkau jika si fulan telah datang dari bepergiannya”.
7.      Shighat akad untuk selamanya.
Shighot yang digunakan dalam akad nikah hendaknya untuknselamanya. Sehingga tidak boleh dibastasi waktu dengan pembatasan tertentu, baik dalam pembatasan waktu yang lama maupun waktu yang pendek.[11] 

Mahar yang harus ada dalam setiap pernikahan tidak termasuk dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebutkan dalam akad nikah dan tidak mesti diserahkan pada saat akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat pernikahan.[12]
Dalam sebuah hadits disebutkan :
حدثنا عيس بن حماد أخبرني الليث عن يزيد بن أبي حبيب عن أبي الخير عن عقبة بن عا مر عن رسول الله أنه قال إن أحق الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج 
“sesungguhnya syarat yang pertama-tama harus kalian penuhi adalah apa yang karenanya kemaluan dihalalkan bagi kalian.” (Muttafaq ‘alaih).
C.    Mahar
Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima. Ulama fiqh memberikan definisi yang tidak berbeda secara substansial, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah yakni harta yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah  sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang diterimanya. Namun seiring perkembangan tradisi, pendefinisian tersebut menjadi pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah. Hal ini berarti pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesainya akad nikah tidak disebut mahar tetapi nafaqah. Sehingga, mahar itu duberikan kepada seorang perempuan sebgai pmberian yang tidak menharapkan pengembalianatau konsensi apapun.[13] Dengan demikian, hukum taklifi dari mahar tersebut adalah wajib, dengan arti laki-laki yang menikahi seorang perempuan wajib menyerahkan mahar pada istrinya.
Dalil dalam ayat Al-Qur’an adalah firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’ ayat 4:
“berikanlah mahar pada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Adapun dalil dari hadits di antaranya adalah sabda Nabi Saw dalam suatu kisah dalam bentuk hadits muttafaq ‘alaih :
حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن أبي حازم عن سهل بن سعد قال  جاءت امرأة إلي رسول الله فقالت إني وهبت من نفسي فقامت طويلا فقال رجل زوجنيها إن لم تكن لك بها حاجة قال هل عندك من شيء تصدقها قال ما عندي إلا إزاري فقال إن أعطيتها إيا ه جلست لا إزار لك فالتمس شيأ فقال التمس ولو خاتما من حديد فلم يجد فقال أمعك من القرآن شيء قال نعم سورة كذا وسورة كذالسورسماها فقال قد زوجنا كها بما معك من القرآن 
“Ya Rasulullah bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkan saya dengannya. Nabi berkata : apa kamu memiliki sesuatu?. Ia berkata : tidak ya Rasulullah. Nabi berkata : pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu. Kemudian ia pergi dan segera kembali dan berkata : saya tidak memperoleh sesuatu ya Rasulullah. Nabi berkata : carilah walaupun hanya sebentuk cincin dari besi.”
Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi Saw  tersebut, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberikan mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam literatur ulama yang menempatkannya sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah suatu pernikahan, dalam arti suatu pernikahan yang tidak memakai mahar adalah tidak sah.[14]
Ø  Hikmah diwajibkannya mahar
Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa pernikahan untuk kelangsungan hidup pernikahan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya.
Ø  Berlakunya kewajiban mahar
Ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah maka berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah yang ditentukan waktu akad. Alasannya ialah walaupun putus pernikahan atau kematian seorang di anatara mempelai terjadi sebelum dukhul, namun suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad. Tentang kapan mahar wajib dibayar keseluruhannya, ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat tentang dua syarat yakni hubungan kelamin dan matinya salah seorang di antara keduanya setelah berlangsungnya akad. Selain dua hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat antara mereka. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kewajiban mahar dimulai dari khalwah meskipun belum berhubungan kelamin. Khalwah oleh ulama Hanafiyah statusnya sudah disamakan dengan bergaulnya suami istri dalam banyak hal. Ulama Hanafiyah menambahkan satu syarat, yaitu berlangsungnya talaq ba’in, walaupun belum berlangsung hubungan kelamin. Ulama Malikiyah menambahkan satu syarat lagi yakni istri telah serumah dengan suaminya selama satu tahun, sedangkan menurut ulama Hanabilah sejak bersentuhan dengan bernafsu antara suami istri telah wajib membayar mahar keseluruhannya.
Ø  Macam-macam mahar
Dari segi dijelaskan atau tidaknya mahar itu pada waktu akad, mahar ada dua macam yaitu :
a.       Mahar Musamma yakni mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad. Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu pernikahan. Kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya pernikahan. Suami wajib membayar mahar tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad pernikahan itu.
b.      Mahar Mitsl yakni mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya dalam akad. Oleh karena itu, kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.[15]
Mahar mitsl diwajibkan dalam tiga kemungkinan :
a.       Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.
b.      Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.
c.       Suami menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.
Mahar musamma sebaiknya diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah supaya selesai pelaksanaan kewajiban. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dapat saja tidak diserahkan secara tunai, bahkan dapat dibayarkan secara cicilan.
Ø  Bentuk, jenis dan nilai mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam Al-Qur’an adalah menggembalakan kambing selama 8 tahun.[16] Contoh  dalam hadits Nabi Saw. adalah menjadikan mengajarkan Al-Qur’an sebagai mahar.
Nabi Saw. menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana jika mahar itu berupa uang atau barang berharga. Hal ini tergambar dalam sabdanya dari ‘Uqbah bin Amir yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim yakni : sebaik-baiknya mahar adalah yang paling mudah.
Tidak ada petunjuk pasti tentang ukuran atau nilai mahar yang dibayarkan, sehingga para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimalnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan apabila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan mahar mitsl, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had pada pencurinya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 dirham perak atau seperempat dinar emas. Dalil bagi mereka juga adalah bandingan dari batas minimal harta yang dicuri yang mewajibkan had. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberi batasan minimal dengan arti apapun yang bernilai dapat dijadikan mahar.
Bila mahar itu dalam bentuk barang, maka disyaratkan :
a.       Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
b.      Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya.
c.       Barang tersebut memenuhi syarat untuk diperjualbelikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar.
d.      Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada di tangannya pada waktu diperlukan.
Ø  Hilang atau rusaknya mahar
Menurut ulama Hanafiyah bila mahar rusak atau hilang setelah diterima istri, maka secara hukum suami sudah menyelesaikan kewajibannya secara sempurna dan untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab istri. Bila ternyata istri putus pernikahan sebelum bergaul, maka kewajiban suami hanya separuh dari mahar yang telah ditentukan. Bila mahar tersebut masih di tangan suami dan ternyata rusak atau hilang, maka nilainya masih menjadi tanggungan suami.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mahar sebelum suami istri bergaul merupakan kewajiban bersama dalam mengganti kerusakan atau kehilangannya. Sedang menurut ulama Syafi’iyah suami bertanggungjawab atas mahar yang belum diserahkan dalam bentuk akad dengan arti bila rusak atau hilang karena kelalaian suami ia wajib menggantinya, tetapi bila rusak atau hilang bukan karena kelalaiannya tidak wajjib menggantinya.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa mahar yang dinyatakan dalam bentuk yang tertentu dan rusak sebelum diterima atau sesudahnya sudah menjadi tanggungan istri, sedangkan bila mahar itu dalam bentuk yang tidak jelas dan hilang atau rusak sebelum diterimanya, maka menjadi tanggungan suami.

Kesimpulan
Dari pemahasan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa menikah sangatlah dianjurkan terhadap orang-orang yang telah mampu untuk melaksanakannya, baik kemampuan secara lahiriyah maupun bathiniyah. Selain itu, juga harus memenuhi syarat dan rukun-rukunnya. Karena dengan mnikah merupakn salah satu jalan untuk mengobati penyakit al-isyq.

Penutup
Demikian pemakaran makalah kami, sebagai manusia biasa tentunya kami tidaklah luput dari banyaknya kesalahan baik dalam penulisan ataupun penyampaian makalah, maka kami sangat mengharapkan kritik dan syaran dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin…










Daftar pustaka

Azzam, Abdul Aziz Muhammad, fiqh Munakahat, khithbah, nikah, dan talak. 2009, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Asshiddieqy , Muhammad Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum, 2001, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat. 2008. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Muhammad, Syaikh Kamil ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, 2004, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Syarifuddin, Amir. hukum perkawinan islam di Indonesia, antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan.2006. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Syahrur , Muhammad, Metodologi  Fiqh Islam Kontemporer, 2004, yogyakarta: eLSAQ Press.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 2004, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.



[1] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), 2004, hal. 43.
[2] Berlaku adil adalah perlakuan yang adil di dalam melayani istri seperti terhadap pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain sebagainya yang bersifat lahiriyah.
[3] Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat tentang poligami ini, sudah ada dan pernah dijalankan oleh para nabi sebelum Rasulullah Muhammad Saw. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang wanita saja.
[4] Syaikh Hasan Ayyub. Fikih Keluarga, Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat. 2008. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. Hlm. 31
[5] Muhammad Hasbi Asshiddieqy. Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), 2001, hal. 5.
[6] Hal ini merupakan pendapat Imam Ibnu Hajar.
[7] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, 2008, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
[8] Selengkapnya lihat Wahbah al-Zuhaili VII, 6533.
[9] Terkadang, ijab juga menggunakan fi’il mudhori (kata kerja bentuk sedang atau yang akan datang), misalnya, atazawwajtuki (aku menikahimu), sedangkan qobul menggunakan fi’il madhi, misalnya, qobiltu zawajaka (aku terima pernikahanmu). Lihat. Abdul Aziz Muhammad Azzam, fiqh Munakahat (Sinar Grafika Offset: Jakarta, 2009), hal. 60.    
[10] Persyaratan untuk tidak berbeda majlis ijab dan qobul merupakan pendapat mayoritas fuqoha’. Sedangkan syiah imamiyah berbeda terkait hal ini. menurutnya, perbedaan majlis tidak menjadi persoalan, sehingga akad nikah tersebut tetap sah.
[11] Akad nikah yang dibatasi waktu tertentu disebut juga nikah mut’ah.
[12] Dalam tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, mahar itu meskipun wajib namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah itu dalam arti boleh diserahkan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah. Definisi yang diberikan oleh ulama waktu itu seiring dengan tradisi yang berlaku saat itu. Lihat Prof. DR. Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di Indonesia, antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan.2006. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hlm. 61.
[13]Muhammad Syahrur, Metodologi  Fiqh Islam Kontemporer, (yogyakarta: eLSAQ Press), 2004, hal.437.
[14] Dalam hal mahar ini, ulama Zhahiriyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak memakai mahar, maka pernikahan tersebut dapat dibatakan (Ibnu Hazmin : 466)
[15] Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsl itu dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat tinggalnya, dan masanya dengan istri yang akan menerima mahar tersebut.
[16] Dikisahkan dalam surat Al-Qashash ayat 27 : “berkatalah dia (Syu’aib) : sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah urusanmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar