PROBLEMATIKA[1]
ITSBAT NIKAH ISTERI POLIGAMI
DALAM NIKAH SIRRI
1.
Latar Belakang
Melaksanakan suatu
ikatan perkawinan merupakan hak asasi setiap warga Negara sebagaimana yang telah
tercantum pada pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan
kedua bahwa: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah[2]. Akan
tetapi sebagai warga yang hidup dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara
(Indonesia), dalam melaksanakan suatu pernikahan tentu harus mengikuti aturan
peraturan perundangan yang berlaku di Negara Indonesia, salah satu diantaranya
perkawinan dicatatkan di KUA yang dibuktikan dengan Akta Nikah.
Di negara
Indonesia perkawinan di anggap sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta tercatat berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi realita di tengah masyarakat
banyak sekali pasangan suami istri yang menikah sirri tanpa dicatatkan di KUA
dengan berbagai faktor atau kendala, baru ketika terdesak demi kepastian hukum
atas perkawinannya serta kepastian hukum tentang status anaknya keduanya
mengajukan perkara Permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama. kasus seperti
itu hal yang biasa. Akan tetapi jika itsbat Nikah untuk isteri kedua ketiga
atau keempat (isteri poligami) di ajukan ke Pengadilan Agama, dengan menjadikan
isteri terdahulu menjadi pihak Termohon adalah hal yang istimewa atau tidak
biasa. Mengapa tidak biasa? karena kekhawatiran suami pada umunya, terhadap
istri terdahulu jika dimintai persetujuannya untuk itsbat nikah, hampir pasti
keberatan. Kecuali jika diluar persidangan istri terdahulu telah menyatakan
kerelaannya, untuk dimadu, baik karena terpaksa dari pada dicerai suami, atau
memang betul-betul rela suami mengajukan perkara itsbat, rata-rata suami-suami
sekarang, takut istri jika terang- terangan bermadu. dari kenyataan itulah,
banyak laki-laki yang bertahan satu istri, hal itu disebabkan, situasi, kondisi
dan toleransi yang kurang memungkinkan.
Sementara fenomena
yang banyak terjadi saat ini adalah banyaknya praktek kawin poligami dengan
jalur kawin siri dengan berbagai macam alasan dan latar belakang. Padahal fakta
berbicara bahwa dalam kawin sirri banyak menimbulkan permasalahan bagi keluarga
itu sendiri, mengenai status, harta warisan ataupun harta kebendaan. Bagi anak
misalnya, perkawinan sirri tersebut bisa menjadi masalah saat perlu Akta kelahiran untuk keperluan sekolah,
kerja dan sebagainya, sementara bagi istri (hasil Nikah Sirri) juga butuh
kepastian hukum demi kebutuhan di masa mendatang ataupun ketika berbaur didalam
masyarakat luas.
Adanya perundangan yang mengatur tentang perkawinan harus tercatat adalah demi mewujudkan
ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik
hukum Negara yang bersifat preventif dalam masyarakat, untuk mengkoordinir
masyarakatnya demi terwujudnya ketertiban dan keteraturan dalam sistem
kehidupan, termasuk dalam masalah perkawinan yang diyakini tidak luput dari
berbagai macam konflik. Dalam istilah
ushul fiqih ini disebut sadduz dzari’ah, mencegah dari kemungkinan
terjadinya kemungkaran.
2.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah
kebijakan hukum Pengadilan Agama dalam menangani
dan menyelesaikan perkara Itsbat nikah isteri
poligami tersebut?
Bagaimana
hakim harus mengambil
sikap dalam menerima, mendalami, menimbang dan memberi
keputusan perihal itsbat nikah siri yang bagaikan dua mata pisau, disatu sisi untuk menghindari penyelundupan hukum, tetapi disisi
lain sebagai jalan keluar demi kepastian hukum dan keadilan dimasyarakat?
Bagaimana dengan istri pertama dalam hukum
ketika mengambil suatu sikap?
3.
PEMBAHASAN
Dalam pasal 26
Burgerlijk Wetboek (BW), perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-Undang
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan. Artinya pasala tersebut
hendak menjelaskan bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Burgerlijk Wetboek dan syarat-syarat serta peraturan agama (dikesampingkan). Termasuk
mengenai pencatatan perkawinan dan asas monogami.[3]
Perkawinan sirri
atau nikah bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak
berada di bawah pengawasan PPN, bila telah memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, misalnya pada sebagian
masyarakat muslim yang masih berpegang teguh kepada perspektif Fiqih
tradisional. Menurut pemahaman mereka perkawinan sudah sah apabila
ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih sudah terpenuhi,
tidak perlu ada pencatatan di KUA dan tidak perlu Surat Nikah sebab hal itu
tidak diatur pada zaman Rasulullah dan merepotkan saja.[4] Secara agama perkawinan ini sah, akan tetapi
tidak mempunyai kekuatan hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan
yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Jalur Nikah
Sirri telah menjadi pilihan bagi mereka yang bermaksud beristri lebih dari satu
orang melalui cara pengesahan Nikah (itsbat Nikah), dibandingkan dengan
prosedur poligami menurut ketentuan UU perkawinan. Oleh karena itu perlu
dipikirkan dan dikaji secara mendalam sebelum dan atau dalam menetapkan
kebijakan penegakan hukum dalam memberikan alternatif penyelesaian permasalahan
kebutuhan dan kepastian hukum terhadap Nikah Sirri melalui Itsbat Nikah.
Banyak
permasalahan yang bisa muncul dari adanya itsbat Nikah, misalnya mengenai
status baru bagi istri maupun anak hasil nikah sirri ataupun istri dan
anak-anak yang dinikahi secara sah sebelumnya (istri pertaman). Maka Pengadilan
Agama dalam mengambil keputusan terhadap permohonan itsbat Nikah isteri
poligami yang diajukan ke Pengadilan Agama harus menerima, memeriksa, menimbang, memberi
keputusan dalam menyelesaikan perkara yang diajukannya dengan pertimbangan yang
matang dan kajian mendalam, Pengadilan Agama harus banyak belajar dari kasus-kasus
yang telah ada, sesuai fakta kejadian dan demi keadilan dimasyarakat.
Dalam PTA (Pedoman
Tehnis Administrasi) dan TPA (Tehnis Peradilan Agama) 2008, bahwa Pekawinan
yang tidak dicatatkan oleh PPN berindikasikan penyelundupan hukum untuk
mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan manjadi masalah dalam status, hak-hak
waris atau hak-hak lain atas kebendaan. Maka
Pengadilan Agama harus lebih bijak dalam memeriksa dan memutus permohonan Itsbat Nikah, ini dengan tujuan agar proses Itsbat Nikah tidak dijadikan sebagai alat untuk melegalkan perbuatan
penyelundupan hukum.
Berangkat dari
permasalahan tersebut maka proses pengajuan, pemeriksaan
dan penyelesaian permohonan itsbat nikah harus mengikuti petunjuk Buku II. Dan
4 khususnya ketentuan pada angka 3 dan 4 yang berkaitan permohonan Itsbat nikah
yang diajukan sepihak maka ketentuannya adalah sebagai berikut: Proses
pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau
isteri bersifat kontensius dengan menundukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan
permohonan sebagai pihak Termohon, pruduknya berupa Putusan dan terhadap
putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. Apabila dalam proses
pemeriksaan permohonan itsbat nikah tersebut, diketahui bahwa suaminya masih
terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu
tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah
permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan
tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam kasus
lain misalnya ketika suami ingin menceraikan istri yang dinikahi secara sirri,
lalu mengajukan permohonan Talak ke Pengadilan Agama. Dalam kasus ini maka
jalan yang harus ditempuh tentu adalah mengitsbatkan dulu pernikahan sirrinya
tersebut, disebut itsbat untuk cerai, maka implikasi hukum yang muncul adalah
kalau Nikah sirrinya di itsbatkan walaupun untuk cerai. Akan tetapi setelah itu
kemudian muncul perkara lain, setelah nikah itu diitsbatkan walau kemudian
diceraikan, maka tentu akan muncul hak keperdataan istri nikah siri yang telah
diceraikan tersebut karena telah menjadi istri yang sah sehingga memiliki
hak-hak sebagaimana seorang istri yang sah, lalu bagaimana pemenuhan hak
keperdataan istri tentang pembagian harta bersama, apabila si istri menuntut
haknya? Apalagi bila dari pernikahan tersebut telah menghasilkan anak, tentu
juga harus berbicara tentang hak keperdataan anak yang berarti disini adalah
hak kewarisan, dsb.
Adanya Itsbat
Nikah adalah bagai pisau bermata dua, disatu sisi adanya itsbat
nikah adalah untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan nikah
sirinya, akan tetapi disisi lain juga berpeluang untuk membuka berkembangnya
praktek nikah siri, karena seolah-olah nikah siri bisa dikompromikan, yang
apabila butuh dan ingin tinggal mensahkan perkawinannya ke Pengadilan Agama
dengan mengajukan Permohonan Itsbat Nikah, akhirnya status pernikahannya pun
menjadi sah dimata Negara. Maka bagi para hakim akan menjadi pekerjaan rumah
tersendiri, apakah dengan mengitsbatkan Nikah tersebut akan membawa lebih
banyak kebaikan atau justru mendatangkan madharat bagi semua pihak dalam
keluarga tersebut.[6]
Pasal 6 ayat
(1) KHI menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
dibawah pengawasan PPN dan pada ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang
dilangsungkan diluar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. Tidak
mempunyai kekuatan hukum atau kelemahan hukum tidak berarti bahwa hal itu
sebagai suatu perkawinan yang tidak sah atau batal demi hukum.Namun demikian
sikap hakim dalam mengambil suatu keputusan bersifat bebas dengan pertimbangan
dan menafsirkan pasal peratuan perundangan demi kemaslahatan dan keadilan bagi
masyarakat. Seperti penafsiran
Pemikiran ini didasari pada
pemahaman terhadap UU no.1/74 jo. PP. 9/75 dan KHI, dengan interpretasi bahwa
yang menjadi patokan keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan
berdasarkan hukum Agama (Islam), pemakalah belum menemukan satu pasalpun yang
menyatakan tidak sah atau batal demi hukum. Jika pemohon ingin mengitsbatkan
perkawinan sirrinya masihkah ada harapan? Apakah yang bersalah terus menjadi
bersalah tidak ada lembaga Taubat untuk memperbaiki sebuah kesalahan. Apakah
anak-anak yang lahir hasil dari pernikahan sirri akan selamanya menanggung
beban ketidak jelasan status hukumnya baik di masyarakat dan Negara, apakah
terhapus selamanya hak-hak keperdataan yang berhubungan dengan ayah kandungnya
hasil perkawinan sirri seperti hak perwalian dan hak waris dll. Secara
kasuistis hakim juga harus mempertimbangkan demi kemaslahatan umat dan keadilan
dimasyarakat. Hasil seminar sehari “Hukum keluarga Nasional antara Realitas dan
Kepastian Hukum” yang telah diulas pada sampul belakang majalah Hukum Varia
Peradilan No. 286 edisi September 2009 sebagai berikut:
“ Fenomena perkawinan tidak tercatat
yang biasa disebut “kawin Sirri” dalam kehidupan masyarakat Indonesia, adalah
realita, alasannya mulai dari mahalnya biaya pencatatn nikah sampai karena
alasan personal yang harus dirahasiakan. Menyikapi persoalan ini, pada tanggal
1 Agustus 2009 di hotel Red Top Jakarta, diadakan Seminal sehari yang
diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani
(PPHIMM), dan diperoleh pernyataan para pakar hukum yang amat mengejutkan
diantaranya pernyataan:
1. Prof. DR.Bagir Manan, SH, yang
menyimpulkan bahwa: “ pencatatan perkawinan adalah suatu yang penting saja
untuk dilakukan, oleh karena itu tidak mengurangi keabsahan perkawinan itu
sendiri”.
2. Prof.DR.Mahfud MD, SH, yang
menyatakan bahwa “ perkawinan Sirri tidak melanggar konstitusi, karena di
jalankan berdasarkan akidah Agama yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.
3. DR.H.Harifin A, Tumpa,SH; MH.
Berpandangan bahwa “ kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala
umum dan didasarkan atas itikat baik atau ada factor darurat, maka hakim harus
mempertimbangkan”. ( H.Andi syamsu Alam (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan
Hukum di Lingkungan Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI, tahun
2009, hlm. 6-7)
Jika pandangan para pakar hukum
tersebut dikorelasikan dengan pandangan Prof. DR.H. Muchsin, SH, dalam tulisan
beliau berjudul “Problematika Perkawinan tidak tercatat dalam pandangan Hukum
Islam dan Hukum Positif (Materi Rakernas Perdata Agama Hlm 17-18), dengan
memandang sejarah hukum dan filosofi hukum dan tujuan pelaksanaan perkawinan
dicatatkan, maka akan menjadikan hakim lebih berhati-hati dalam mengani perkara
Itsbat Nikah Isteri Poligami.
Apabila
perkawinan dibawah tangan sudah menjadi tradisi dalam arti dipatuhi oleh
masyarakat, mengikat (pasti akan disahkan atau di itsbatkan juga oleh
pengadilan Agama), dan dipertahankan secara terus menerus, maka akan terjadi
keadaan sebagai berikut:[7]
Makna historis Undang-Undang
Perkawinan akan tidak efektif, sehingga tujuan lahirnya Undang-undang tersebut
tidak tercapai, dengan demikian pengorbanan bangsa (umat Islam) untuk lahirnya
Undang-Undang ini menjadi terabaikan;
Tujuan Normatif dari pencatatan
perkawinan tidak terpenuhi seperti yang dikehendaki Pasal 2 Undang-undang
Perkawinan, maka akan menciptakan suatu kondisi ketidak teraturan dalam
pencatatan kependudukan;
Ø Masyarakat muslim di pandang tidak lagi
memperdulikan kehidupan bangsa dan kenegaraan dalam bidang hukum, yang pada
akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran Islam tidak membutuhkan
keterlibatan Negara, yang pada akhirnya mengusung pandangan bahwa agama harus
dipisahkan dari kehidupan kenegaraan.
Ø Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan,
yang hanya peduli pada unsure agama saja disbanding unsure tatacara pencatatan
Perkawinan, yang mungkin akan dikemas dengan perbagai perjanjian perkawinan,
antara lain bahwa unsure pencatatan resmi ke Kantor Urusan Agama akan dipenuhi
pada waktu yang kan datang dengan tanpa adanya suatu kepastian, yang mengundang
ketidak pastian nasib wanita (isteri) yang menurut amanat Undang-undang
Perkawinan semestinya diprioritaskan untuk dilindungi.
Ø Apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian
perkawinan seperti tersebut, maka peluang untuk putusnya perkawinan akan
terbuka secara bebas tanpa terlibat prosedur hukum sebagai akibat langsung dari
diabaikannya pencatatan oleh Negara, sehingga perkawinan dibawah tangan ini
hanya diikuti dengan perceraian di bawah tangan, maka untuk suasana seperti ini
adalah sama seperti masa Tahkim dan Muhakkam dalam sejarah masyarakat Islam
Indonesia pada masa yang lalu lewat Pengadilan Agama, dengan demikian akan
memutus konsistensi dan konsekwensi logis formalisasi hukum Islam dalam
kehidupan kenegaraan.
Ø Akan membentuk preseden buruk sehingga orang
akan cenderung menjadi bersikap enteng untuk mengabaikan pencatatan nikahnya
secara langsung pada saat sebelum perkawinan.
Syarat-syarat izin beristri lebih dari satu
(poligami).[8]
·
UU. No. I/1974 pasal 3 ayat 2
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada suami
untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pasal 4 ayat 2
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila;
a). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri
b). Istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan
c). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
1.)
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri pertama;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka;
2.)
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf 1
pasal ini tidak diperlukan bagi suami apabila istri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian ari Hakim Pengadilan.
Apabila menyimak peraturan dalam pasal
tersebut, rasanya sulit bagi suami untuk berpoligami akan terwujud sebab hampir
kebanyakan istreri terdahalu tidak menyutujuinya. Disinilah kemudian dalam
pasal 5 ayat 2 hakim dalam mengambil putusan berhak berijtihad sehingga menjadi
yurisprudensi dan dapat menjadi hukum dalam penetapan hukum. Sehingga suami yang ingin mengajukan izin poligami menjadi
trauma, dengan harapan yang pesimis bahwa suami mengajikan izin poligami, pasti
hakim akan menolak jika istreri tidak menyetujui. Pada pasal 5 ayat (2) tersebut telah memberikan ruang kepada Hakim
untuk memberikan penilaian dan pertimbangan, terhadap kasus perkasus.
Disinilah perlunya peran Hakim dalam menilai
pengajuan perkara itsbat Nikah isteri poligami, hakim harus membuat
interpretasi yang arif , apakah perkara tersebut diajukan dari awal perkara
izin poligami, atau perkara itsbat Nikah istri poligami. Di satu sisi banyak
penyelundupan perkara dengan mengajukan perkara Itsbat Nikah dengan tanpa
melibatkan isteri terdahulu padahal sebenarnya pernikahannya poligami. Di sisi
lain perlu adanya wawasan hakim untuk memperhatikan nasib anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan sirri atau tidak dicatatkan, satu-satunya jalan
dengan menempuh itsbat Nikah di Pengadilan Agama sebagai solusinya. Hakim bebas untuk memberikan pertimbangan yang pada akhirnya
menolak atau mengabulkan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama. Berhubungan dengan hal tersebut
Pengadilan Agama terhadap perkara isbat nikah poligami perkara nomor :
190/Pdt.G/2004/PA/Smn memberikan suatu sistem bagaimana pertimbangan Hakim
dalam menetapkan perkara isbat nikah poligami, Hakim dalam memutuskan suatu
perkara memperhatikan dengan suatu hal dengan objektif, dengan pertimbangan
yang matang. Yakni mempertimbangkan dengan seksama mana yang harus didahulukan
antara mengabulkan atau menolak perkara tersebut berdasarkan pada keadilan dan
kemaslahatan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama dan peraturan
perundangan yang berlaku. Terhadap perkara tersebut berdasarkan kemaslahatan
bagi keluarga Termohon I dan II, dan dengan pertimbangan syarat-syarat poligami
yang tidak terpenuhi seperti yang tercantum Pasal 4 ayat (2) UU No. 1/1974 jo
Pasal 57 KHI. Dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1/ 1974 jo Pasal 58 ayat
(1) KHI,beserta surat pernyataan yang membuat isteri dizalimi dikarenakan
paksaan suami untuk berpoligami, maka isbat nikah poligami tersebut ditolak.[9]
Pada akhirnya kembali kepada maksud dan tujuan
perlunya suatu perkawinan dicatatkan adalah untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diwujudkan
perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, lebih
khusus lagi untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah tangga.[10] 7 Dengan Penetapan Itsbat Nikah dari
Pengadilan Agama, pemohon dapat mengajukan ke KUA setempat untuk mendapatkan
Kutipan Akta Nikah. Dan melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan
akta nikah, maka masing-masing suami isteri dan apabila dikemudian hari
terdapat percekcokan atau perselisihan atau salah satu pihak melalikan
kewajibannya, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan
atau memperoleh haknya masing-masing. Dengan akta nikah tersebut suami isteri
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan, sehingga
dalam kehidupan dimasyarakat menjadi tenang.
4.
KESIMPULAN
Pengadilan
Agama dalam menerima perkara Itsbat Nikah Poligami harus mempertimbangkan
secara seksama, dan hati-hati guna menghindari penyelundupan hukum, dengan
memasukkan permohonan itsbat nikah untuk menghindari prosedur poligami, serta
selalu memperhatikan hukum yang berkembang di masyarakat, demi kemaslahatan
umat;
Setiap
perkawinan harus dicatat menurut peundang-undangan yang berlaku untuk mewujudkan ketertiban administrasi dalam
perkawinan di Indonesia. Sementara untuk perkawinan yang sudah terlaanjur
terlaksana secara siri maka perkawinan tersebut harus disahkan dengan
mengajukan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama.
Persetujuan
istri terdahulu dalam hal itsbat Nikah pada isteri poligami, bukanlah suatu
keharusan, jika persetujuan tidak mungkin didapatkan, hakim dengan pertimbangan
tertentu dapat mengabulkan perkara itsbat Nikah isteri poligami.
DAFTAR BACAAN
Abdullaah, Abdul Gani, “Sekitar Masalah Pengesahan Nikah Sirri”,
Materi Rakernas perdata Agama, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008.
Al-Rasyid, Harun, “Naskah UUD 1945 sesudah 4 kali diubah oleh
MPR”, Jakarta, UI-pres, 2004.
Depdikbud, 1990“Kamus besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka)
Mahkamah Agung RI, “Rapat Kerja Nasional 2009 pada 4 Lingkungan
Peradilan”,
Manan, Abdul, 2008, Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Manan, Abdul dan M. Fauzan, 2002, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Muchsin, Problematika perkawinan tidak tercatat dalam pandangan
hukum Islam dan hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama, Mahkamah
Agung RI, Jakarta 2008.
Mubarok Jaih, tt, “Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy)
Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermasa)
Tahido Yanggo, Huzaemah, 2007, Perkawinan yang Tidak Dicatat
Pemerintah (Jakarta, GTZ dan GG Pas)
[1]
Dalam KBBI “problematika” adalah sesuatu hal
yang menimbulkan masalah atau permasalahan. Selengkapnya baca, Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, Cet III hlm.701
[2]
Periksa Harun Al-Rasyid, Naskah
UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR, Jakarta : UI-Pres, 2004, hlm.
46 dan 105
[3] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1980).
Cet.XV
[4]
prof.Dr.H.Abdul Manan,SH,Sip, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm.47
[6] ibid
[7]
Nasrudin Salim, Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dalam
Mimbar Hukum No. 62 tahun 2003 Edisi September-Oktober, hlm.72
[10] Huzaimah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah,
(Jakarta; GTZ dan GG PAS, Mei 2007) hlm.17
nice info bro, mantap artikelnya
BalasHapusSouvenir Murah Kediri
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHari ini Senin tgl 31 Oktober 2016, masalah itsbat poligami ini didiskusikan di PTA Surabaya oleh para pimpinan PA se Jatim
BalasHapus