SUMBER-SUMBER DAN METODE HUKUM ISLAM
1. Pendahuluan
Islam adalah agama fitrah ilahi yang
sempurna, ia memiliki aturan-aturan untuk
kesejahteraan alam semesta, aturan tersebut berupa wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Pada umumnya wahyu turun untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi
manusia pada masa itu (asbab al-nuzul), tetapi bila ada masalah sementara
Allah tidak menurunkan wahyu, maka Nabi memutuskan masalah tersebut dengan sabda, langkah atau ketetapan yang dijamin
kebenararnya (al-Sunnah).
Setelah Rasulullah Saw. wafat, para sahabat beriijtihad sendiri karena timbul permasalahan baru yang
tidak terdapat solusinya dalam al-Qur'an ataupun al-Sunnah.
Ijtihad ahlil ilmi ini tersebut disebut ijma. Seiring berjalannya waktu persoalan
hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan
hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para
sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya
menggunakan beberapa metode istinbath hukum, antara lain: maslahat al-mursalah
yang digunakan oleh Imam Malik, istihsan yang digunakan oleh
Imam Hanafi, qiyas yang
digunakan Imam al-Syafi’i, istishab yang digunakan Imam Ahmad bin Hambal
dan lain sebagainya.
Berikut ini akan diuraikan secara
singkat tentang penjelasan Sumber Hukum dan Metode Penggalian Hukum Islam dari berbagai ulama mujtahid.
II. Sumber-Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam adalah
segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam
terutama al-Qur’an dan al-Sunnah. Sumber hukum Islam ada
yang disepakati para ulama (muttafaq) dan ada yang masih dipersilisihkan
(mukhtalaf).
Sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama
adalah al-Qur’an, al-sunnah (al-Hadits), dan ijma’. Sedangkan yang
diperselisihkan ialah: al-Qiyas, al-Istihsan, Maslahat al-Mursalah,
Istishhab, al-Urf, Madzhab Sahaby, dan Syari’at sebelum Islam (syar’un man
qablana) [1]
Pada klasifikasi lain, hukum Islam ada yang berasal dari ilahi
(wahyu) dan berasal dari potensi-potensi insani. oleh karena itu, pada dasarnya
sumber hukum islam adalah sumber naqliyah dan ‘aqliyah.
Sumber hukum naqliyah ada
yang bersifat orsinil (ashliyy) dan ada yang bersifat “tambahan” (taba’iyy).
sumber hukum naqliyah yang bersifat “tambahan” ini ialah ijma’.
oleh karena itu sering kali pakar hukum islam menyatakan bahwa sumber hukum
islam ada tiga. pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah dan ketiga Ijtihad.
Ijma’ sering kali tidak disebut sebagai sumber hukum islam yang ketiga karena
ijma’ merupakan sumber hukum naqliyah “tambahan” Karena pada dasarnya bersumber
kepada al-qur’an dan sunnah juga. Demikian pula sumber-sumber hukum Islam
lainnya, seperti qiyas, istihsan, istislah dan sebagainya, tidak lagi disebut
sumber hukum islam
karena semuanya merupakan hasil ijtihad.[2]
A. al-Qur’an
a. Pengertian al-Qur’an:
القرأن
هو كلام الله المعجز المنزل على النبي صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المكتوب
في المصاحف المتعبد بتلاوته المنقول بالتواتر المبوء بسورة الفاتحة والمختوم بسورة
الناس[3]
Al-Qur’an ialah firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai mukjizat, menggunakan
bahasa Arab, tertulis dalam mushaf-mushaf, bernilai ibadah bagi yang
membacanya, dinukil secara mutawatir,
diawali surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Nas.
Sedangkan Hudlri beik mendefinisikan al-Qur’an
adalah sesuatu yang diturunkan kepada Nabi Saw. Secara berangsur-angsur,
dimulai pada malam 17 Ramadlan tahun 41 dari kelahiran beliau, diwahyukan di
gua Hira’, yang pertama diturunkan ialah surat al-‘Alaq[4]
Beliau mendefinisikan
demikian karena melihat sudut pandang sejarah pembentukan hukum, berbeda dengan
Wahbah Zuhaili yang menjelaskan arti al-Qur’an secara luas, hal ini karena
berorientasi pada bidang tafsir.
Menurut Khallaf bahwa ulama mujtahid telah sepakat
mengenai Allah Swt. sebagai sumber hukum. Menurutnya kesepakatan itu bisa
dilihat dari definisi hukum yang dikemukakan. Menurut pakar Ushul Fikih, hukum
adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa
tuntutan untuk berbuat, pilihan, maupun praktek hukum yang berkaitan dengan
sebab, syarat, dan halangan-halangannya. Mereka sepakat bahwa sumber hukum
adalah Allah Swt.[5]
Dengan demikian, sumber hukum tertinggi adalah al-Qur’an.
b. Hukum-hukum
dalam al-Qur’an[6]
Hukum-hukum
yang dikandung oleh al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu:
1. Hukum-hukum
I’tiqadiyah, yakni berkaitan dengan hal-hal yang harus diimani oleh
setiap mukallaf (rukun iman)
2. Hukum
moralitas, berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan hiasan oleh setiap
mukallaf, berupa amal-amal keutamaan dan menghindarkan diri dari perbuatan hina
3. Hukum
amaliyah, berkaitan dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa
perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan penggunaan harta benda. Hukum
amaliyah inilah yang disebut fiqh al-Qur’an, yang bisa digali hukumnya dengan
ilmu ushul fiqh.
B. al-Sunnah
a. Pengertian al-Sunnah
كل
ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرأن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما
يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي, لأن موضوع عنايتهم البحث عن الأدلة الشرعية.[7]
Sunnah menurut ulama
ushul ialah: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw.
Selain al-Qur’an al-karim, baik berupa ucapan, perbuatan, atau
ketetapan, yang bisa menjadi dalil hukum syar’i, karena objek perhatiannya
ialah pembahasan tentang dalil-dalil syara’.
b. Kehujjahan al-Sunnah[8]
Al-Sunnah merupakan sumber
hukum kedua dalam syari’at Islam, oleh karena itu wajib dikiuti, kembali kepadanya dan berpegang teguh kepadanya
dengan perintah kebenaran Allah Swt. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ayat
al-Qur’an, diantaranya:
Ø Qs. al-Maidah ayat 92:
وأطيعوا الله وأطيعوا الرسول واحذروا فان توليتم فاعلموا أنما على رسولنا
البلاغ المبين.
Dan taatlah kamu kepada Allah
dan taatlah kamu kepada rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling,
maka ketahuilah bahwa sesunggguhnya kewajiban rasul kami hanyalah menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang.
Ø Qs. al-Nisa ayat 80:
من يطع الرسول فقد أطاع الله ومن تولى فما أرسلناك عليهم حفيظا.
Barang siapa yang menaati rasul itu,
sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Disebutkan juga dalam QS. al-Ahzab ayat 21,
Ali Imran ayat 31, dan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab
al-Muwatto’
تركت فيكم ما ان
تمسكتم به لن تضلوا من بعدي: كتاب الله وسنتي
Aku meninggalkan sesuatu untuk kalian, jika
kalian berpegang teguh kepadanya maka tidak akan tersesat setelahku, yaitu:
kitab Allah dan Sunnahku
Dari sini nyatalah bahwa orang yang
mengingkari kehujjahan al-Sunnah (inkar al-Sunnah) mereka menganggap hanya al-Qur’an saja yang
wajib diamalkan itu merupakan kehinaan
dan kebatilan.
C. Ijtihadi / Ra’yi:
Ketentuan yang terdapat
dalam al-Qur’an dan hadits terkadang tidak menggunakan petunjuk yang tegas
sehingga memerlukan penggalian hukum yang dilakukan oleh ulama. Oleh karena
itu, ulama melakukan kegiatan akademik dalam rangka memperoleh dan menangkap maksud
Allah dan rasul-Nya melalui proses yang disebut dengan ijtihad atau istinbath.
Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu, ulama mujtahid juga berkedudukan
sebagai penentu hukum.[9]
1. al-Ijma’
Ijma’
ialah kesepakatan seluruh para mujtahid dikalangan
umat Islam pada suatu masa setelah Rasuallah Saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu
kejadian.[10]
Ø Rukun ijma’ itu ada 4:
a.
Ada
sejumlah para mujathid pada saat terjadinya suatu peristiwa.
b.
Ada
kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat Islam terhadap hukum syara’
mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, bangsa,
ataupun kelompok mereka.
c.
mengemukakan
pendapat masing-masing orang dari para mujtahid mengenai pendapatnya yang jelas
atas suatu peristiwa, setelah mereka bertukar orientasi pandangan maka mereka
sepakat atas satu hukum mengenainya.
d.
kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu
terealisir.
Pendapat
yang disepakati mujtahid muslim merupakan hukum syara’ umat islam yang diwakili
oleh mujatahid mereka.Ijma’ hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’,
karena mujtahid memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar.
Ø Macam-macam ijma’
a. Ijma’ Sharih:
kesepakatan para mujtahid pada suatu masa mengenai suatu kasus gengan cara
masing2 dari mereka mengungkapkan pendapat secara jelas melalui fatwa dan
putusan hukum.
b. Ijma’ sukuti:
sebagian mujtahid suatu masa mengungkapkan pedapat secara jelas mengenai suatu
kasus baik lewat fatwa / putusan hukum dan sisa dari mereka tidak mengungkapkan
tanggapan terhadap pendapat tersebut baik berupa persetujuan/ menetang pendapat
tersebut.
2. al-Qiyas
al-Qiyas menurut para ahli Ushul Fiqh adalah mempersamakan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang
sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua
peristiwa itu.[11]
Qiyas merupak proses berpikir (ijtihad) dengan
analogi (reasoning by analogy). Jadi qiyas adalah proses deduksi
(menarik kesimpulan) dari nash dengan jalan analogi, untuk menetapkan hokum
terhadap suatu masalah,. Dengan demikian qiyas bias dipandang sebagai proses
berfikir dalam rangka mengeluarkan hokum (istinbath), di samping itu qiyas juga
sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum.[12]
Secara bahasa adalah menganggap sesuatu itu
baik, sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh ialah: berpalingnya seorang
mujtahid dari tuntunan qiyas jalli (yang nyata) kepada tuntunan qiyas
yang khaffi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsna’I
( pengecualian) karena ada dalil.
Istihsan ada dua macam, yaitu:
1.
Pentarjihan
qiyas khaffi atas qiyas jalli karena ada suatu dalil
2.
Pengecualian
kasuistis (juz’iyyah) dari suatu suatu hukum kulli karena ada suatu
dalil
4. al-Mashlahat
al-Mursalah
Maslahat al-Mursalah ialah
suatu kemaslahatan yang tidak diatur/ditetapkan oleh syari’ (Allah)
untuk merealisasikan kemaslahatan tersebut, dan tidak ada dalil yang
menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya[14]
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat
al-mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya
tidak diatur secara eksplisit dalam al-Quran dan al-Hadis. Hanya saja
metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat,
yakni maslahat mu’tabarah, maslahat mulghat dan maslahat
mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan
secara langsung baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadits. Sedangkan
maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang
termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat
tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak
ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan
keduanya.[15]
5. al-Istishhab
Istishab yaitu menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
hukum sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut.[16]
Macam-macam istishab :
1.
Baroatul asliyah : bebas
atau bersih dari beban hukum
2.
Menetapkan hukum syara’ :
mengukuhkan suatu sifat dimana sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum
3.
Hukum ijma’ : pemberlakuan
hukum yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama
- kel I jumhur ulama (Maliki, sebagian Syafi’i, Hanafi): menerima sebagai hujjah
- kel II (sebagian hanafi dan syafi’i) : bukan sumber
hukum
- kel III (
kebanyakan hanafi) : untuk menetapkan diri sendii tidak untuk yang lain.
6. al-‘Urf
Al-’Urf yaitu apa yang sudah dikenal oleh orang dan sudah
menjadi tradisinya., baik berupa ucapan, perbuatan, larangan dan lain-lain.[17]
Ø
Syarat2 urf:
1.
berlaku untuk umum
2.
tidak bertentangan dengan
syara’
3.
berlaku sejak lama
4.
tidak berbenturan dengan
tasrih
5.
urf tidak berlaku atas
sesuatu yang telah disepakati
-
Jumhur ulama: sepakat urf
di gunakan sebagai hujjah
-
Malikiyah : amal ulama
madinah dapat dijadikan hujjah
-
Hanafiyah : amal ulama
kuffah dapat dijadikan hujjah
-
Jumhur ulama tidak
membolehkan ‘urf khosh
-
sebagian Hanafiyah dan syafi’iyah membolehkannya
7. Madzhab Shahaby[18]
Sahabat-sahabat rasul
adalah orang-orang yang terdekat dengan rasul, serta mengetahui atau ikut serta
dalam pemecahan masalah-masalah hukum sewaktu Rasulullah masih hidup. Mereka
banyak mengetahui asbabunuzul ayat, menyertai rasul dalam segala gerak-geriknya,
dapat meneliti semua seluk-beluk sunnahnya, dan sepeninggalan rasul, merekalah
yang memegang wewenang tasyri’. Dalam ini ada perselisihan di kalangan kaum
muslimin, apakah yang disampaikan oleh mereka (para sahabat) itu adalah sunnnah
rasul ataukah ijma’ mereka dalam suatu hukum? Semua itu menjadi hujjah hukum
syar’i.
Adapun
ijtihad individu sahabat, baik penafsiran dari suatu sunnah atau nash atau
semata-mata pendapat mereka yang bebas, bahkan dalam hal ini para sahabat juga
berselisih pendapat karena perbedaaan ijtihad. Misalnya Umar RA. menetapkan
‘iddah perempuan hamil yang suaminya meninggal dengan ‘iddah hamil, sebaliknya
Ali RA. memilih mana yang lebih panjang antara ‘iddah hamil dan wafat, juga
pendapat abu bakar RA. yang menyamakan kedudukan kakek dengan bapak dalam
bagian harta warisan, berbeda dengan Ali RA yang menempatkan kedudukan kakek
sama dengan saudara kandung dari mayit.
Alternatif
kedua ini atau yang semata-mata pendapat sahabat secara perseorangan, apakah
menjadi hujjah hukum atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di
antara para ulama.
Imam Abu
Hanifah memilih mana yang beliau condongi diantara pendapat-pendapat tersebut
dan tidak berijtihad lain selama pendapat itu masih ada. Sedangkan imam Ahmad
biun Hambal memilih pendapat sahabat mana yang lebih dekat dengan sunnah,
sebaliknya Imam al-Syafi’i tidak terikat dengan ijtihad para sahabat, boleh
mengambil dan meninggalkannya karean pendapat-pendapat itu berasal dari manusia
biasa yang tidak ma’shum.
8. Syariat Umat sebelum Islam[19]
Apabila al-Qur’an
atau al-Sunnah yang shahih menceritakan salah satu hukum syara’ yang
disyari’atkan oleh Allah kepada umat-umat yang mendahului kita melalui lisan
para rasul mereka dan menyatakan bahwa hukum itu diwajibkan atas kita sebagaiamana
diwajibkan kepada mereka, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum
tersebut merupakan syari’at untuk kita dan suatu undang-undang yang wajib
diikuti berdasarkan penetapan syara’ kita terhadapnya, sebagaimana firman Allah
Swt. :
ياأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من
قبلكم لعلكم تتقون (البقرة: 183)
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, supaya kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah: 183).
Demikian juga apabila al-Qur’an dan
al-Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’i yang menunjukkan penghapusan hukum
terasebut, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syari’at
kita, berdasarkan dalil yang menghapusnya. Misalnya dalam syari’at nabi Musa
bahwa orang yang durhaka itu tidak bisa menebus dosanya kecuali apabila ia
membunuh dirinya sendiri, dan pakaian yang terkena najis itu tidak bisa
disucikan kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis itu, dan beberapa
hukum lainnya yang merupakan beban yang dipikul oleh umat sebelum kita dan
telah diangkat oleh Allah dari kita.
Pangkal perbedaan pendapat ialah
berbagai hukum dari syari’at terdahulu yang dikisahkan Allah dan rasul-Nya,
dalam syari’at kita tidak terdapat dalil yang menuinjukkan bahwa hal itu
diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, atau bahwa ia
dihilangkan dan dihapus dari kita?
Sebagaimana firman Allah:
وكتبنا
عليهم فيها أن الفس بالفس والعين بالعين والأنف بالأنف والأذن بالأذن والسن بالسن
والجروح قصاص. .
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat)
bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. (QS. al-Maidah: 45)
Jumhur ulama hanafiyah, sebagian ulama
malikiyah dan ulama syafi’iyah berkata: bahwa hukum itu adalah syari’at kita
dan diwajibkan mengikuti dan menerapkannya, selama ia telah dikisahkan dan
dalam syari’at kita tidak ada sesuatu yang menghapusnya, karena hukum itu
adalah bagian dari hukum-hukum ilahi. Oleh karena inilah ulama Hanafiyah
menjadikannya sebagai dalil atas hukuman bunuh terhadap orang islam yang
membunuh kafir dzimmi.
III.
Motode Hukum Islam[20]
Metode Hukum Islam ialah:
الطرق
الإستنباط الأحكام من الأدلة
` Cara pengambilan hukum dari
dalil-dalinya atau metode pemahaman hukum dari dalil-dalilnya (istidlal).
Imam al-Syafi’I
RA. Membagi dalalah menjadi dua macam: dalalah mantuq dan dalalah mafhum.
Dalalah mantuq ialah: tunjukkan pengertian
hukum yang dimaksud menurut yang ada pada teks nash yang tersurat secara jelas,
sedangkan dalalah mafhum ialah: tunjukkan lafadz yang tidak menurut teks
tersurat secara jelas untukm menetapkan hukum
yang disebut atau menafikan hukum dari padanya.
Mafhum
itu dibagi 2 yaitu
-
Mafhum
muwafaqah (المفهوم الموافقة) yakni :
“bahwa lafadz nash menunjukkan terhadap
kesamaan yang didiamkan dalam nash yang tersebut padanya.
-
Mafhum
mukhalafah(
المفهوم المخالفة ) yakni:
“ Dimana
lafadz nash menunjukkan kebalikan dari hukum yang didiamkan itu.
Misalnya contoh hadits Rasul : الما ء من الماء
Secara teks yang dzahir (منطوق) dipahami bahwa
air itu datangnya dari air. Tetapi yang diinginkan secara مفهوم موافقة adalah
wajib mandi kalau keluar air. Air pertama yang dikehendaki adalahدافق ماء(sperma).
Sedangkan air yang kedua adalah air hakiki.
$uZø9tRr&ur
z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$#
[ä!$tB #YqßgsÛ
Berarti wajib mandi kalau kelua air mani atau sperma.
Sedangkan secara المفهوم المخالفةdipahami bahwa kalau
terjadi persetubuhan yang tidak mengeluarkan sperma berarti tidak wajib mandi
hadats.
Jumhur ulama menolak menjadikan mafhum
mukhalafah sebagai hujjah syar’iyyah.
Selanjutnya madzhab Abu Hanafi membagi pula
dalalah kepada :
1. Dalalah Ibarat Nash (دلالة عبارة النص)
2. Dalalah Isyarat Nash(دلالة اشارة النص)
3. Dalalah Nash (دلالة
النص)
4. Dalalah Iqtidla’un Nash (دلالة اقتضاء النص)
1.
Yang dimaksud دلالة عبارة النص
adalah “apa yang dipahami dari Ibarat Nash yang cepat ditanggapi maksudnya
dari lafadz , apakah yang dimaksud dari petunjuk lafadz itu makna ashal atau
yang mengikutinya.”
Seperti firman Allah
واحل الله البيع وحرم الربا
Bahwa jual beli itu tidak sama dengan riba
(makna ashl) dan hukum jual beli itu adalah halal, sedangkan hukum riba itu
adalah haram (makna yang mengiringinya).
2. Yang dimaksud دلالة اشارة النصyaitu makna yang lazim dari makna yang cepat
ditanggapi dari lafadz nash atau disebut juga dengan madlul lafadz.
Seperti firman Allah
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$#
¼ã&s!
£`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
Dimana dipahami dari Ibarat Nash bahwa nafkah
ibu yang menyusui wajib atas ayah, dan dipahami secara isyarat nash yang dzahir
bahwa ayah itu tidak ada serikatnya dalam kewajiban nafkah dan kewajiban
pengobatan untuk ibu menyusui adalah sama dengan kewajiban nafkah.
3. Yang dimaksud دلالة
النص yakni pengertian yang dapat dipetik dari jiwa
dan tujuan nash.
Firman
Allah:
wur (#qç/tø)s?
#oTÌh9$#
Dimana yang dimaksud
adalah sikap-sikap preventif terhadap zina seperti takhlili (menepi dengan
pasangan bukan muhrim) dan kasyuz zinah atau buka-bukaan. Maka larangan zina adalah lebih berat secara
mubalaghah.
4. دلالة
اقتضاء النص yakni :
pengertian yang diperoleh dari nash dimana maksud kalimat tidak diketahui
kecuali dengan mentakdirkan atau menzhairkannya.
Seperti firman Allah :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé&
öNä3è?$oYt/ur
Pejelasannya :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé&
öNä3è?$oYt/ur
(haram mengawini ibu dan anak kandung)
Kalau terjadi ta’arudl (تعارض) saling bertentangan antara
dalalah-dalalah tersebut maka dalalah ibarat adalah lebih kuat dari dalalah
isyarat, dan dalalah isyarat lebih kuat dari dalah nash. Demikianlah jauga mentarihkan satu sama lain,
seperti contoh firman Allah:
|=ÏGä.
ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$#
Îû
n=÷Fs)ø9$#
Bahwa
qishash dalam pembunuhan itu adalah wajib dilihat dari segi dalalah ibarat.
Ayat ini adalah ta’arudl dengan ayat:
`tBur
ö@çFø)t $YYÏB÷sãB
#YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù
ÞO¨Yygy_
Dimana secara makan isyarat bahwa pembunuhan
itu tidak wajib qisash. Hukum wajib
qisash di ambil/dipahami atas dasar dalalah ibarat, sedangkan tidak wajib pada
ayat berikutnya diperoleh dengan dalalah isyarat. Maka dahulukan makna isyarat
dan dihukumkan pula pada ayat kedua bahwa qisash itu wajib.
IV. Penutup
Demikian
makalah mengenai Sumber-Sumber Dan Metode Hukum Islam
ini kami susun. Penyusun menyadari tentunya banyak sekali terdapat kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati
penyusun mengharap saran dan kritik rekonsruktif dari para pembaca demi
perbaikan di masa selanjutnya. Semoga bermanfaat
Daftar
Pustaka
‘Alawi , Muhammad bin, al-Hasani al-Maliki al Makki, al-Manhal
al-Lathif Fi Ushul al-Hadits al-Syarif, (Surabaya: Dar al-Rahmah
al-Islamiyah, TT)
Beik, Muhammad Khudlori, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Surabaya: Haramain, TT)
Idhamy, Dahlan, Seluk-beluk hukum islam, (Semarang: CV. Faizan, 1996 )
Khalaf, Abdul Wahab Ilmu Ushul Fiqh, (Surabaya: al- Haramain, 2004).
Mubarok, Jaih, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan
Teori Penegakkan, (Bandung: Benang Merah Press, 2006).
Syah, Ismail
Muhammad Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Usman, Suparnan, Hukum Islam, Jakarta; Gaya Media
Pratama, 2001,.
Yahya, Muhtar Dasar -dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung
; PT. Al-Ma’arif, 1986).
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr,
1991).
[3]
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Hlm. 13
[4]
Muhammad Khudlori beik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Surabaya:
Haramain, TT) Hlm. 3
[6]
Ibid, Hlm. 32
[7]
Muhammad bin ‘Alawi al-Hasani al-Maliki al Makki, al-Manhal al-Lathif Fi
Ushul al-Hadits al-Syarif, (Surabaya: Dar al-Rahmah al-Islamiyah, TT), Hlm.
3
[9]Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan Teori
Penegakkan, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), Hlm. 22.
[10]
Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit, Hlm. 45-51
[11]
Muhtar Yahya, Dasar -dasar
Pembinaan Hukum Islam, (Bandung ; PT. Al – Ma’rif, 1986), cet
1, hal. 66.
[12] Suparnan Usman, Hukum Islam, Jakarta; Gaya
Media Pratama, 2001, hal. 61.
[13]
Abdul Wahab Khalaf, Op.cit, Hlm. 110
[14]
Ibid, Hlm.79
[16]
Ibid. hal 121
[17] Ibid hal. 117
[18]
Dahlan Idhamy, Op.cit Hlm
[19] Abdul wahab Khalaf,
Op.cit, Hlm. 93-94
[20]
Dahlan Idhamy, Op.cit, Hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar