BAB I
KONSEP-KONSEP
DASAR
DAN SUMBER – SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN
AGAMA
A. Konsep-Konsep Dasar
1.
Pengadilan
agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis Hakim atau
Mahkamah.
2.
Hakim
adalah penjabat yang berwenang menghukumi suatu tindak pidana atau suatu pertengkaran
dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku pidana atau dengan memerintahkan kepada
pihak yqang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang terkalahkan
untuk mengembalikan hak kepada pihak yang sebenarnya dan menolak kezhaliman.
Oleh karena kewenangan peradilan agama
di Indonesia hanya mencakup segi perdata
saja, maka hakim disini bertugas untuk menjatuhkan hukuman pada pihak yang
bersengketa perdata saja.
3.
Putusan
adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
gugatan (kontentius)
Dari uraian diatas, maka dapat
disimpulkan ”putusan hakim peradilan agama” adalah pernyataan yang dituangkan
dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di
lingkungan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum yang sah dalam hal sengketa
milik atau keperdataan lain yang terkait dengan kewenangan Peradilan Agama
sebaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun
1989 jo UU No. 3 tahun 2006 ”
B. Sumber-Sumber Hukum
Dasar Hukum
Peradilan Agama dan pentingnya keputusan hakim antara lain:
1. Dasar
Hukum Al-Qu’ran
a)
QS.
Al-Baqarah (1): 30 : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
" Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ".
Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan
berfirman:" Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui
".(9)
b)
QS.
Al-Baqarah (1): 231 : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka
mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah
nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al
Kitab dan Al Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketah (11)
c)
QS.
An-Nisa (4) : 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.(13)
2.
Dasar Hukum Hadist
a)
”Warta
dari Abdullah bin ’Amr menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ”Tidak
halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang,kecuali mereka mengangkat
pimpinan salah satu seorang dari mereka” (HR Ahmad) (23)
b)
Dari
Abi Said bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: apabila keluar tiga orang dengan
maksud hendak bepergian . hendaklah salah satu diantaranya ada yang dijadikan
penanggung jawab. (HR. Abu Daud)
c)
Dari
Amar bin Ash ra. Bahsanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila Hakim
menjatuhkan hukum dengan berijtihat dan ijtihatnya itu benar, maka ia mendapat
dua pahala dan kalau dia menjatuhkan hukum dengan berijtihat kemudian
ijtihatnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala.
BAB II
KEDUDUKAN DAN
PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
DALAM NEGARA
REBUPLIK INDONESIA
A.
Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya
ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang
dijelaskan oleh nabi Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah
beliau, dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan
hukum yang lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau
buatan manusia belaka.
Pada pembukaan simposium pembaharuan
hukum perdata nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, menteri
kehakiman (almarhum) Ali Said menegaskan bahwa di samping hukum adat dan hukum
eks barat, hukum Islam yang merupakan salah satu komponenin tata hukum Indonesia menjadi salah satu bahan baku pembentukan
hukum nasional Indonesia
B.
Pelaksanaan Hukum Islam
Pelaksanaan
hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur
1)
Jalur
pertama adalah jalur iman dan takwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dalam
negara Republik Indonesia ini dapat
melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam
itu, yang di maksud dalam kaitan ini adalah hukum Islam bidang ibadah
2)
Jalur
kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan
3)
Pelaksanaan
hukum Islam bidang muamalah
4)
Melalui
BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MU) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas
kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa
mereka secara damai (di luar pengadilan)
5)
Jalur
kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga
pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh
Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu produk
obat-obatan, kosmetik, makanan, minuman halal atau haram di konsumsi (dimakan)
oleh umat Islam. Penentuan halal haram suatu produk pangan, kelak akan
dicantumkan yang dalam undang-undang pangan Republik Indonesia.
6)
Jalur
keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional melalui jalur ini
unsur-unsur (asas dan norma) hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan
hanya bagi dan oleh umat Islam. Tetapi juga oleh penduduk Indonesia, terutama
oleh warga negara RI.
BAB III
SEJARAH PERADILAN AGAMA
DI INDONESIA
A. Masa
(periode) Prapemerintahan Hindia Belanda
Praktik
pelaksanaan hukum acara Peradilan Agama pada waktu itu masih sangat sederhana,
yang pada perkembangannya dikenal pembentukannya dalam 3 (tiga) periode yaitu :
1.
Tahkim
kepada Muhakam
Ketika pemeluk
agama Islam masih sedikit, wujud Peradilan Agama belum seperti sekarang ini,
pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota
masyarakat, di selesaikan dengan cara bertahkim kepada guru atau mubaligh yang
dianggap mampu dan berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim, disebut
muhakam.
2.
Masa
(periode Ahlul Hilli Wal’Aqdi)
Ketika penganut
agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok masyarakat
yang teratur, jabatan hakim atau qadhi dilakukan secara pemilihan dan baiat
oleh ahlul hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seorang yang dipercaya ahli
oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.
3.
Masa
(Perode) Tauliyah
Ketika masyarakat
Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, pengankgatan jabatan hakim
(qadhi) dilakukan dengan pemberian “tauliyah” yakni pemberian atau
pendelegasian kekuasaan dari penguasa. Pada masa itu terdapat bermacam-macam
sebutan atau nama, antara lain sebagai berikut :
a)
Di
aceh dengan nama Mahkamah Syari’ah Jeumpa
b)
Di
Sumatera Utara dengan nama Mahkamah Majelis Syara
c)
Di
Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerjaan Islam,
lebih disukai istilah “Hakim Syara” atau “Qadhi Syara”
d)
Di
Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, karena peran Syeh Arsyad Al Banjari,
kerapatan qadhi dan karapatan qadhi besar
e)
Di
Sumbawa hakim syara, di Sumatera Barat nama Mahkamah tuan. Kadi, atau angku
kali.
f)
Di
kerajaan Mataram Pengadilan Surambi, disebut demikian karena tempat mengadilil
dan memutus perkara adalah di serambi masjid.
B. Masa
(periode) Transisi
Pada
tanggal 4 Maret 1620 dikeluarikan instruksi agar di daerah yang dikuasai
kompeni (VOC) harus diberlakukan hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal
kewarisan. Instruksi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena mengalami
kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Sedang masalah hukuman badan dan
hukuman mati tidak ditanggapi oleh masyarakat Islam. Berlakunya hukum perdata
Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der Indische Regeling tanggal 25 Mei
1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan
menurut hukum Islam, atau compendium freijer, untuk dipergunakan pada
pengadulan VOC.
Juga
terdapat kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum
Islam yang dibuat dan dipakai di daerah-daerah lain, yaitu Cirebon, Semarang,
dan Makasar.
C. Masa
Pemerintahan Hindia Belanda
Pada
tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan
dalam “Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang
disingkat menjadi Regeerings Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda
1854 No. 129 dan sekaligus dimuat di dalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No.
2. Dalam pasal 75, 78 dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855 : 2
ditegaskan berlakunya undang-undang (hukum) Islam bagi orang Islam Indonesia.
Secara rinci, terjemahan dari bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut
:
1)
Pasal
75 ayat (3) : “Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan UU Agama
(godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia”.
2)
Pasal
75 ayat (4): “UU agama, instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka
oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi, bila terjadi pemeriksaan
banding”.
3)
Pasal
78 (2) : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau
yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama
atau kepala masyarakat mereka menurut UU agama (godsdienstige weeten) atau
ketentuan-ketentuan lama mereka.
4)
Pasal
109 merupakan penjelasan lebih lanjut dari kedua pasal di atas. Pasal ini
berbunyi sebagai berkut : “Ketentuan termaksud dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku
pula bagi mereka yang dipersamakan dengan “inlander”, yaitu orang Arab, orang
Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam dan orang-orang yang
tidak beragama.
D. Masa
Pemerintahan Hindia Belanda II
Theorie
Receptie : Masa itu terjadi perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal RR
tersebut. Antara lain atas anjuran C. van Vollenhoven, dan Snouck Hurgrounje.
Pada tahun 1925 regering reglement diubah namanya menjadi : IS (Wet Op de
Staats Inrichting Van Nederlands Indie). Dengan Stbl 1925 tersebut. Dan dalam
kaitannya dengan lembaga Peradilan Agama, pada tahun 1929 baru diadakan
perubahan mengenai isi dari IS, yaitu dengan Stbl. Tahun 1929 No. 221
Pemerintah Hindia Belanda mengubah pasal 134 ayat (2) IS, sehingga dinyatakan
bahwa : “Dalam hal terjadi perkara peerdata antara sesame orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya
dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.
Sejak
saat itu, bermulalah suatu masa dimana seakan-akan masyarakat Indonesia telah
merasakan sebagai suatu hal yang benar dan biasa saja bahwa hukum Islam itu
bukan hukum di Indonesia dan telah tertanam dalam pikiran orang khususnya
kalangan sarjana hukum bahwa yang berlaku adalah hukum adat. Dan hanyalah kalau
hukum Islam itu menjadi hukum adat barulah menjadi hukum.
E. Masa (Periode)
Penjajahan Jepang
Pada
masa pemerintahan Jepang ini lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada pada masa
penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula.
Perubahan lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja, yaitu
Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah
Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Meninjau
secara ringkas tentang keadaan peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang
adalah sukar sekali, oleh karena daerah kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatera
adalah termasuk daerah Angkatan Darat yang berpusat di Shonanto (Singapura),
Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di
Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkatan Laut
yang berpusat di Makasar.
F. Masa Setelah
Kemerdekaan Indonesia
1. Tahun 1945 – 1957
Pada
tahun 1946 dikeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Indonesia dengan
Undang-undang No. 32 tahun 1954. Namun, peraturan tentang pelaksanaan tugas
Peradilan Agama, seperti yang dimaksud dalam undang-undang Darurat No. 1 Tahun
1951 belum ada sama sekali.
Dalam
pasal 4 ayat 1 PP No. 45 tahun 1957 disebutkan wewenang Pengadilan Agama /
Mahkamah Syari’ah adalah, memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami
isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup
diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan Nikah, thalaq, ruju’,
fasach, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) mut’ah dan
sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal
dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara
perceraian dan mengesahkan bahwa syrat taklik sudah berlaku.
Dalam
pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa, Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah tidak
berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat 1, kalau untuk
perkara-perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam. Uraian lebih
lanjut mengenai pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diluar Jawa dan
Madura dapat dibaca dan dipelajari H.M. Djamil Latif, dalam buku Kedudukan dan
Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Bab I dan II) serta H. Zaini Ahmad
Noeh, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Bab I dan II).
2. Tahun 1957-1974
Pada
masa itu pemerinah sedang menyusun suatu Undang-undang Perkawinan, yang
ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum
agamanya masing-masing. Pasal 2 ayat 2 Perkawinan harus dicatat dalam
undang-undang ini tercakup ketentuan Hukum Perkawinan Islam yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadits. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974
disebutkan enam (6) alasan perceraian, dalam hal ini dicantumkan kembali dalam
pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini.
Dalam
pasal 63 ayat 1 ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pengadilan dalam
undang-undang ini ialah :
a)
Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam
b)
Pengadilan
umum bagi lainnya.
Setelah
berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan setalah berlakunya UU No. 7 tahun 1989,
terdapat 16 hal yang merupakan wewenang Pengadilan Agama. Selanjutnya
dikeluarkan peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 tahun 1975 tentang kewajiban
Pegawai pencatat nikah.
3. Tahun 1974-1989
Dengan
Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980, nama Pengadilan Agama yang
berbeda-beda untuk seluruh Indonesia, di seragamkan dengan sebutan atau istilah
“Pengadilan Agama” untuk Pengadilan Tingkat Pertama, dan “Pengadilan Tinggi
Agama” untuk Pengadilan Tingkat Banding di seluruh Indonesia.
Pada
tahun 1985 dikeluarkan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal
1 ditetapkan bahwa, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi Negara sebagaimana
dimaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia No. III
MPR/1978. Dalam pasal 2 ditetapkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan
Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.
4. Tahun 1989-1999
Setelah
berlakunya UU No. 7 tahun 1989, dikeluarkan tiga peraturan, yaitu :
a)
Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990, tanggal 2 Maret 1990 tentang Petunjuk
Pembuatan Penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 1989.
b)
Surat
Edaran Menteri Agama nomor 2 tahun 1990 tentang petunjuk Pelaksanaan UU no. 7
tahun 1989 dan
c)
Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
5. Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Menurut
UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 Serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Meskipun
ada perubahan terhadap pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa
secara organisatoris, administrative dan finansial Peradilan Agama berada di
bawah Mahkamah Agung, namun baik sebelum atau sesudah lahirnya UU No. 35 Tahun
1999, Peradilan Agama tidak mengalami perubahan seperti yang ditentukan
terhadap lingkungan peradilan yang lain yaitu dalam waktu lima tahun secara
bertahap sudah harus berada di di bawah Mahkamah Agung.
Saat
ini pengaturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan finansial lembaga
Peradilan Agama ke “satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung telah semakin
kokoh dengan keluarnya UU No. 3 tahun 2006 yang mengaturnya lebih lanjut pada
Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989
yang berbunyi “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, dan finansial pengadilan
dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Sedangkan pada pasal 1 angka 6 juga terdapat
penyesuaian terhadap bunyi Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Agama tersebut
sehingga berbunyi : “ Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan
oleh Ketua Mahkamah Agung.”
BAB IV
KERANGKA HISTORIS PEMBENTUKAN UU No. 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
A. Latar
Belakang Penyusunan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Dalam
kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi
kedalam 4 periode penting, yaitu :
1.
Periode
1961 sampai dengan 1971
Pada masa 10 tahun persiapan intern,
dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang
lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan
secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing.
Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua Rancangan undang-undang,
RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.
2.
Periode
1971 sampai dengan 1981
Tahap dimana langka-langkah kongrit telah
dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan
dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi
presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas
landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan
disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam
menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses
persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan
peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum
terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.
3.
Periode
1981 sampai dengan 1988
Berdasarkan tata tertip DPR, maka
pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :
o
Pembicaraan
tingkat
o
Pembicaraan
tingkat 2
o
Pembicaraan
tingkat 3
o
Pembicaraan
tingkat 4
Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan
yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas
mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25
serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi
dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai. Pada tahap ketiga, dibentuknya
pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan
RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat. Kemudian pada tahap ke empat, pada
tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.
B.
Sistematika UU PA
UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7
Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :
1)
BAB I
Tentang ketentuan umum Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan
pengadilan dalam lingkup peradilan agama.
2)
BAB II
Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi.
3)
BAB III
Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama.
4)
BAB IV
Mengatur Hukum Acara
5)
BAB V
menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian
tugas para hakim, panitera dan juru sita.
6)
BAB VI
mengenai peraturan peralihaan
7)
BAB VII
mengenai ketentuan penutup
C. Beberapa Perubahaan
Yang Terjadi Setelah Berlakuknya UU No 7 Tahun1989
Dengan
disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup
peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :
1)
Peradilan
agama menjadi peradilan yang mandiri
2)
Seragamnya
peradilan agama seluruh RI
3)
Perlindungan
terhadap wanita lebih ditingkatkan
4)
Adanya
juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan
Umum
5)
Terlaksananya
ketentuan pokok undang-undang kehakiman
6)
Terlaksananya
pembangunan hokum berwawaskan nusantara.
BAB V
ASAS-ASAS UMUM YANG TERDAPAT DALAM UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA
A. Asas Personal Keislaman
Diantara asas didalam
Peradilan Agama yakni Asas personalita keislaman dimana yang dapat tunduk
dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama yani hanya mereka yang mengakui
pemeluk Agama Islam. Penganut Selain agama Islam atau non Islam tidak tunduk dan
tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Pengadilan Agama.
B. Asas Kebebasan
Dalam
hal ini agar hokum dapat ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan
kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan tetapi terbatas dan
relative.diantaranya:
·
Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain,
·
Bebas dari paksaan
·
Kebebasan melaksanakan wewenang judical (peradilan)
C.
Asas Wajib
Mendamaikan
Asas
mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang dinamakan Ishlah.
Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban
fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seadil-adilnya putusan jauh lebih baik
dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan perdamaian.
D. Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya
Ringan
Sebuah
Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat muslim untuk
mencari keadilan, dengan adanya Asas Sederhana , cepat dan biaya ringan akan
selalu dikehendaki oleh masyarakat. Penyelesain perkara dalam peradilan
yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan tidak berbelit belit yang menyebabkan
proses sampai bertahun-tahun. Biaya ringan artinya biaya yang sederhana
mungikin sehingga dapat terpikul oleh rakyat.
E. Asas Terbuka Untuk Umum
Pelaksanaan
siding terbuka untuk umum berarti setiap pemeriksaan berlangsung disidang
pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung, menghadiri, menyaksikan, dan
mendengarkan jalanya persidangna tidak boleh dihalangi dan dilarang, maka untuk
memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim melakukan pemeriksaan lebih
dahulu menyatakan dan mengumumkan ”persidangan terbuka untuk umum”.
F. Asas Legalitas Dan Persaman
Pengertian
makna legalistis pada prinsipnya sama dengan rule of law yakni pengdilan
mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum. Karena hakim berfungsi dan
berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua
tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan,
mesti menurut hukum
G. Asas Aktif Memberi Bantuan
Dalam
asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara akif dilihat dari tujuan
dari memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan peraktek peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan. Ada berberapa masalah formal yang tercakup
kedalam objek fingfsi memberi bantuan dan nasihat yaitu:
·
Mebuat gugatan bagi yang buta huruf
·
Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
·
Menyarankan penyempurnaan surat kuasa
·
Menganjurkan perbaikan surat gugatan
·
Memberi penjelasan alat bukti yang sah
·
Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban
·
Bantuan memanggil saksi secara resmi
·
Memberi bantuan upaya hukum
·
Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
·
Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian.
BAB VI
SUSUNAN PERADILAN AGAMA DAN
APARATNYA
A. Susunan
Oranisasi Pengadilan Agama
Susunan
Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989
adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan,
hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan
Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
1)
Pimpinan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang
wakil ketua. Sesuai dengan undang-undang untuk menjadi pimpinan Pengadilan
Agama diharuskan mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai hakim
Pengadilan Agama.
2)
Hakim
Anggota
Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi
hakim dan lain sebagainya antara Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan
Agama adalah sama. Perbedannya misalnya syarat-syarat untuk menjadi hakim agama
haruslah beragama Islam sedangkan hakim Pengadilan Negeri tidak harus beragama
Islam. Demikian juga dengan syarat pendidikan yaitu Sarjana Syari’ah atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.
3)
Panitera
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai
susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama
seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam
atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera
tidak harus beragama Islam. Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang
harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah
sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan
persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi
panitera Pengadilan Tinggi.
4)
Sekretaris
Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada
sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil
sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan
melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan
persyaratan untuk menjadi panitera.
5)
Juru
Sita
Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman
minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut
haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah
serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan
Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
BAB VII
WEWENANG ATAU KOMPETENSI
PERADILAN AGAMA
A. Kompetensi
Absolut.
Wewenang
mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,
dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk
mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtmacht. Misalnya
persoalan mengenai perceraian bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan
ketentuan pasal 63 ayat 1) huruf a UU No. 1 Th. 1974 adalah wewenang pengadilan
agama. Sedangkan persoalan warisan, sewa-menyewa, utang-putang, jual-beli,
gadai adalah merupakan wewenang pengadilan negeri. Wewenang mutlak menjawab
pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa
ini ?
B. Kompetensi
Relatif
Kompetensi
Relatif mengatur pembagian kekuasaan
mengadili antara pengadilan Agama yang serupa, tergantung dari tempat tinggal
tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif, yang dalam bahasa Belanda
disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah ”yang berwenang Pengadilan
Agama di tempat tergugat”. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan
”Actor Sequitur orum Rei”.
Apa
itu tempat tinggal ? dan apa pula yang dimaksud dengan tempat kediaman ?
Perbedaan ini perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, oleh karena dalam pasal 118
HIR di samping tempat tinggal menyebut pula tempat kediaman.
Pasal
17 BW menyatakan, bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat dimana seseorang
menempatkan pusat kediamannya, dan juga tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat
kediaman adalah dimana seseorang berdiam, mungkin di rumah peristirahatannya di
Puncak. Sehingga apabila seseorang pindah tanpa meninggalkan alamat barunya,
dan tempat tinggalnya ataupun tempat kediamannya tidak diketaui, maka ia
digugat pada pengadilan tempat tinggalnya yang terakhir dan dalam surat gugatan
disebutkan ”paling akhir bertempat tinggal , umpamanya di Jalan Kramat No. 15
Jakarta, sekarang alamat tidak diketahui”. Sehingga gugatan diajukan ke
Pengadilan Agama di Jakarta.Pusat.
BAB VIII
PROSES ADMINISTRASI DAN PENGAJUAN PERMOHONAN
DI PENGADILAN AGAMA
A. Perkara Cerai Talak
1. Prosedur
a) Langkah yang harus dilakukan
Pemohon (suami / kuasanya) :
1)
Mengajukan
permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU nomor 7 tahun 1989 ).
2)
Pemohon
dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah
tentang tata cara membuat surat permohonan ( pasal 119 HIR 143 Rbg jo pasal 58
UU nomor 7 tahun 1989 ).
3)
Surat
permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika
Termohon telah menjawab surat permohonan tersebut harus atas persetujuan
Termohon.
b) Permohonan tersebut diajukan
kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah :
1)
Yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7
tahun 1989 ).
2)
Bila
Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin
Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (2) UU no
7 tahun 1989 ).
3)
Bila
Termohon berkediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan
Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Pemohon ( pasal 66 ayat (3) UU no 7 tahun 1989 ).
4)
Bila
Pemohon dan Termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan
kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi
tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat (
pasal 66 ayat (4) UU no 7 tahun 1989 ).
c) Permohonan tersebut memuat :
1)
Nama,
umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.
2)
Posita
(fakta kejadian dan fakta hukum).
3)
Petitum
(hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
2. Penyelesaian
Perkara
a)
Penggugat
mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah..
b)
Penggugat
dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk
menghadiri persidangan.
c)
Tahap
persidangan;
d)
Putusan
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
e)
Setelah putusan
memperoleh kekuatan hokum
tetap, maka panitera
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai
surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
B. Perkara
Cerai Gugat
1. Prosedur
Langkah
yang harus dilakukan Penggugat (istri / kuasanya) :
a)
Mengajukan
gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah
( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989 ).
b)
Penggugat
dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah
tentang tata cara membuat surat gugatan ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU
nomor 7 tahun 1989 ).
c)
Surat
gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika
Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
d)
Gugatan
tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah :
2. Penyelesaian
Perkara
a)
Penggugat
mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah..
b)
Penggugat
dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk
menghadiri persidangan.
c)
Tahap
persidangan;
d)
Putusan
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
e)
Setelah putusan
memperoleh kekuatan hokum
tetap, maka panitera
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai
surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
BAB IX
PEMBUKTIAN
DALAM HUKUM ISLAM DAN PRAKTIKNYA
DI PENGADILAN
AGAMA
A. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah
upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran
peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan
alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang.
Tingkatan
keyakinan hakim sebagai berikut:
1. yakin
(terbukti 100%)
2. zhaan
(terbukti 75-99%)
3. syubhat (terbukti
50%)
4, waham
(terbukti < 50%)
B. Alat-Alat Bukti Yang Diakui Dalam Pembuktian Menurut Yang
Digunakan Di Pengadilan Agama
Alat-alat
bukti tersebut sebagai berikut:
1) Ikrar : pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang
bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
2) Syahadah : seseorang yang memberikan keterangan di muka sidang
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan
yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau
keadaan tertentu
3) Yamin : suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha
Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang menberi keterang atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya
4) Riddah : pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari agama
Islam
5) Maktubah : maktubah ada 2 macam yaitu: akta dan surat keterangan
6) Tabayyun : upaya perolehan penjelasan yang dilakukan oleh
pemeriksaan majelis pengadilan yang lain daripada majelis pengadilan yang
sedang memeriksa.
C.
Alat-Alat Bukti Yang Digunakan Di Pengadilan Agama
Alat-alat bukti itu sebagai
berikut:
1. Alat bukti surat – surat (tertulis)
Alat bukti surat adalah segala
sesuatu yang memuat tanda bacaan yang di maksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang
yang di pergunakan sebagai pembuktian.
Surat
sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu: surat akta
otentik dan surat akta tidak otentik (dibawah tangan)
2. Alat bukti saksi
Pada
prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara
obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang
tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara,
karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu
orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :
- Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah
- Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah ada perceraian
- Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
- Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.
3. Alat bukti persangkaan
Oleh
karena persangkaan itu merupakan kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang
dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan
alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat, atau pengakuan
salah satu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang
ternyata, baru kemudian disimpulkan adanya suatu peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan
hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bebas, yaitu terserah kepada
kebijaksanaan hakim, seberapa jauh di akan memberi kekuatan bukti kepada
persengketaan-persengketaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.
4. Alat bukti pengakuan
Ada tiga macam pengakuan yaitu :
a) Pengakuan murni : ialah pengakuan
yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan
b) Pengakuan dengan kualifikasi : ialah
pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.
c) Pengakuan dengan klausula : adalah
suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersipat
membebaskan..
5. Alat bukti sumpah
HIR
menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :
a) Sumpah supletoir diatur dalam pasal
155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang
menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
b) Sumpah penaksir. Kekuatan pembuktian
sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir; bersifat sempurna dan
masih memungkinkan pembuktian lawan.
c) Sumpah decisoir atau pemutus adalah
sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal
156 HIR/Pasal 183 RBg/Pasal 1930 BW} Pihak yang meminta lawannya mengucapkan
sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.
BAB X
PRODUK-PRODUK
PERADILAN AGAMA
DAN PELAKSAANNYA
A. Produk-Produk Peradilan Agama
Ada 3 (tiga) macam
produk Hakim yaitu :
1. Putusan.
2. Penetapan.
3. Akta Perdamaian.
Putusan ialah
pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(kontensius)
Penetapan ialah
pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
permohonan (volunteer)
Akta Perdamaian
ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan antara
para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku
sebagai putusan.
1. Macam dan Jenis Putusan
Dari segi
fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam putusan yaitu :
a)
Putusan
Akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan baik melalui
semua tahapan pemerikasaan maupun yang belum melalui semua tahapan pemeriksaan.
b)
Putusan
sela ialah putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan
perkara dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan, putusan sela tidak
mengakhiri pemerikasaan tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya
pemeriksaan.
Dilihat dari hadir tidaknya para
pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan maka dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
a)
Putusan
gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena
penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut dan
tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya
itu bukan karena halangan yang sah. (Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR)
b)
Putusan
Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir
meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai
wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan
juga tidak mengajukan eksepsi mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125
HIR)
c)
Putusan
Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam
sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam
pemeriksaan penggugat dan tergugat pernah hadir.
Dilihat dari segi
Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu :
a)
Putusan
diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu
yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan tentang gugatan cerai dengan alasan
ta’lik talak.
b)
Putusan
konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru, berbeda
dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan (isbat
nikah)
c)
Putusan
kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada
pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk
menyerahkan seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat.
Dilihat dari
Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu :
a)
Putusan
negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan.
b)
Putusan
Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan.
c)
Putusan
Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak menerima
atau menolak sebagian.
2. Susunan dan Isi Putusan
Putusan Hakim
harus dibuat dengan tertulis dan harus ditanda tangani oleh Hakim/Majelis Hakim
termasuk Panitera/Panitera Pengganti sebagi dokumen resmi. Suatu putusan hakim
terdiri dari :
a. Kepala Putusan
b. Identitas Para Pihak
c. Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang Duduk Perkaranya
dan Pertimbangan Hukum
d. Amar atau dictum putusan
Secara detail suatu putusan harus memuat hal-hal berikut :
a)
Judul
dan Nomor Putusan (Nomor Putusan sama dengan Nomor perkara)
b)
Khusus
putusan/penetapan Pengadilan Agama diawali dengan kalimat :”Bismillahirrahmanir
rahiem” dan “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”
c)
Nama
dan tingkat pengadilan yang memutus.
d)
Identitas
dan kedudukan pihak-pihak berperkara.(termasuk nama kuasa hukum apabila ada)
e)
Tentang
duduk perkara yaitu memuat kronlogis duduk perkara mulai dari usaha perdamaian,
dalil-dalil penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti-bukti dan saksi
serta kesimpulan para pihak.
f)
Tentang
hukumnya yaitu memuat bagaimana Hakim mengkwalifisir fakta atau kejadian dan
mempertimbangkanya secara baik dan dasar-dasar hukum yang dipergunakan dalam
menilai fakta dan memutus perkara.
g)
Amar
putusan yaitu merupakan kesimpulan akhir oleh hakim atas perkara yang
diperiksanya, dalam amar putusan memuat juga pembebanan biaya perkara.
h)
Tanggal
putusan yaitu memuat hari dan tanggal pengucapan putusan dalam sidang yang
dinyatakan dalam akhir putusan.
i)
Hadir
tidaknya para pihak ketika putusan dibacakan.
j)
Nama
Hakim/Majelis Hakim yang memutus perkara termasuk Panitera/PP.
k)
Rincian
biaya perkara.
B.
Pelaksanaan Putusan/Eksekusi
1.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama
Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang
dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah
putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) .
Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin
lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
a)
Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh
Pengadilan Negeri dihapuskan.
b)
Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat
melaksanakan putusan-putusannya
2.
Jenis-Jenis Pelaksanaan Putusan
Terdapat beberapa macam pelaksanaan
putusan,yaitu:
§ Putusan yang menghukum salah satu
untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208
R.Bg
§ Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR,
pasal 259 R.Bg
§ Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi
Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
§ Eskekusi riil dalam bentuk penjualan
lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg
3.
Putusan Yang Dapat Dieksekusi
Putusan
yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi,
yaitu :
Ø
Putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap, kecuali dalam hal:
a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu
b. Pelaksanaan putusan provisionil
c. Pelaksanaan Akta Perdamaian
d. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta
a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu
b. Pelaksanaan putusan provisionil
c. Pelaksanaan Akta Perdamaian
d. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta
Ø Putusan tidak dijalankan oleh pihak
terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh
Ketua Pengadilan Agama
Ø Putusan hakim yang bersifat
kondemnatoir
Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum
Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum
Ø Eksekusi dilakukan atas perintah dan
dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
BAB
XI
UPAYA
BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI
1. Pengajuan Banding
Pengertian
banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi
(dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah
diputus oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau
tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan
sebagai berikut .
a) Permohonan banding diajukan kepada
pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang
memutus perkara.
b) Permohonan banding diajukan melalui
pengadilan yang memutus perkara tersebut.
Syarat-syarat banding;
a) Diajukan oleh pihak-pihak dalam
perkara.
b) Diajukan masih dalam tenggang waktu
banding.
c) Putusan tersebut menurut hukum
diperbolehkan banding.
d) Membayar panjar biaya banding.
e) Membuat akta permohonan banding
dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan.
Masa Pengajuan banding :
a) Bagi pihak berperkara yang berada
dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah selama 14 hari
terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan
kepada yang bersangkutan.
b) Bagi pihak yang berada di luar
wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama
30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang
bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)
2. Pengajuan Kasasi
Pengertian
Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan
yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena
kesalahan dalam penerapan hukum.
Pihak
yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau
pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi
ke Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat kasasi
a) Diajukan oleh yang berhak.
b) Diajukan masih dalam tenggang waktu
kasasi.
c) Putusan yang dijatuhkan oleh
pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d) Membuat memori kasasi.
e) Membayar panjar biaya kasasi.
f) Membuat akta permohonan kasasi di
kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan
Adapun
tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.
Apabila
syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak
dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara
tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak
memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan
kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001)
3. Peninjauan Kembali.
Pengertian
Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang
pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya
dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.
Syarat-syarat permohonan PK
a) Diajukan oleh pihak yang berperkara.
b) Putusan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
c) Membuat permohonan peninjauan
kembali yang memuat alasan-alasannya.
d) Diajukan dalam tenggang waktu
menurut undang-undang.
e) Membayar panjar biaya peninjauan
kembali.
f) Membuat akta permohonan Peninjauan
Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
g) Ada bukti baru yang belum pernah
diajukan pada pemeriksaan terdahulu.
Masa
pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai
ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan
Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan
tentang penemuan novum tersebut.
BAB
XII
BANTUAN
HUKUM
DAN YURISPRUDENSI PERADIALAN AGAMA
A. Bantuan Hukum
1. Pengertian Bantuan Hukum
Istilah bantuan
hukum terkait dengan profesi advokat. Dalam tata hukum Indonesia istilah
bantuan hukum dapat ditemukan dalam Bab I Pasal 1 Poin 9 UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Sedangkan advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang. Adapun
organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum adalah organisasi profesi yang
didirikan berdasarkan undang-undang. Adapun definisi jasa hukum adalah jasa
yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien.
2.
Pemberian Bantuan Oleh Hakim
Ada berberapa masalah formal yang
tercakup kedalam objek fungsi memberi bantuan dan nasihat yaitu:
- Mebuat gugatan bagi yang buta huruf
- Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
- Menyarankan penyempurnaan surat kuasa
- Menganjurkan perbaikan surat gugatan
- Memberi penjelasan alat bukti yang sah
- Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban
- Bantuan memanggil saksi secara resmi
- Memberi bantuan upaya hukum
- Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
- Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian
B. Yurisprudensi
1.
Pengertian Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah keputusan
pengadilan/keputusan hakim yang terdahulu terutama dari mahkamah agung (untuk
Indonesia). Mengapa yurisprudensi menjadi hokum formal?.Menurut pasal 2 AB JU
pasal 14 UU No.14 tahun 1970 yang sudah dirubah dengan UU no.4 tahun 2004
tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman menyebutkan,”Seorang hakim dilarang
menolak jika diminta memutuskan perkara dengan alasan karena tidak ada
hukumnya”.Tetapi justru ia diminta untuk menemukan hukumnya melalui peradilan.
- Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung
- Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya lebih tinggi. Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.
2.
Yurisprudensi Peradilan Agama
Yurisprudensi Peradilan agama sama makna dan
unsurnya dengan yurisprudensi perdialan umum . yang berbeda adalah ruang
lingkupnya. Ruang Lingkup Yurisprudensi Peradilan Agama terbatas pada hukum
yang menjadi wewenangnya dan hukum acara peradilan agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar