POLA IJTIHAD ULAMA FIQH TENTANG PENENTUAN AWAL
BULAN QAMARIYAH SISTEM IJTIMA’
A. Pendahuluan
Persoalan
hisab rukyat yang ada di Indonesia merupakan suatu persoalan yang unik dan
sangat menarik dikaji. Hal tersebut dikarenakan adanya suatu polemik yang
selalu muncul yang kemunculan polemik tersebut merupakan dampak dari
permasalahan hisab dan rukyah yang masih belum bisa dipadukan. Antara golongan
yang satu dengan yang lain saling menggugat terhadap metode yang mereka pakai
dan juga hasil keputusan yang telah mereka sepakati.
Dikatakan
unik karena munculnya polemik tersebut hanya terjadi pada saat-saat tertentu,
yakni pada saat penentuan bulan-bulan yang berkaitan erat dengan taklif ibadah.
Selain itu, persoalan ini dikatakan sangat menarik dikarenakan adanya perbedaan
dalam masalah ibadah terutama dalam memulai dan mengakhiri ibadah Puasa maupun
ibadah Haji.
Ahmad
Izzuddin mengatakan dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak Praktis “Berbeda
dengan persoalan hisab ru’yah lain, persoalan dalam hal
penentuan awal Bulan Qomariyah , terutama bulan
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah,
yang sering kali
memunculkan adanya perbedaan,
yang mengakibatkan adanya
permusuhan”[1]. Karena
kaitannya dengan masalah
memulai dan mengakhiri puasa
Ramadhan, dan ibadah Haji, kiranya
wajar jika persoalan
hisab ru’yah ini
mendapat perhatian lebih dibanding dengan
persoalan hisab ru’yah
yang lain. Sehingga persoalan ini selalu
muncul ke permukaan
wacana perbincangan dan
perdebatan dalam kalangan
ulama’ di saat
menjelang awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah[2].
Persoalan
hisab ru’yah awal bulan qomariyah ini pada dasarnya sumber pijakannya adalah
hadist-hadist hisab ru’yah[3].seperti:
Para
ulama’ berbeda pendapat dalam memahami zahir hadis-hadis tersebut, ada yang
berpendapat bahwa penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dhulhijjah harus
didasarkan pada ru’yah atau melihat hilal yang dilakukan pada tanggal
29-nya.
Apabila ru’yah
tidak berhasil dilihat, baik karena hilal belum bisa dilihat atau mendung, maka
penentuan awal bulan qamariyah harus berdasarkan istikmal, yakni
menggenapkan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30 hari.
Ada juga
yang berbeda pendapat bahwa ru’yah dalam hadis-hadis hisab ru’yah
tersebut termasuk ta’aqquli ma’qul al
ma’na. Jadi kata ru’yah dapat diartikan dengan mengetahui sekalipun
bersifat zanni tentang adanya hilal,
kendatipun tidak mungkin dilihat misalnya berdasarkan hisab falaki. Inilah yang
dipakai Madzhab Hisab[4].
Disamping
ada juga pendapat yang berupaya menjembatani kedua madzhab tersebut, dalam hal
ini seperti pendapat al-Qolyubi yang mengartikan ru’yah dengan “imkanurru’yah” (posisi hilal mungkin dilihat). Dengan kata lain
yang dimaksud dengan ru’yah adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan
kuat(zanni) bahwa hilal telah ada di atas ufuk dan mungkin dapat dilihat[5].
Disamping
hadist-hadist hisab ru’yah tersebut, ikhtilaf yang timbul itu juga dikarenakan
adanya perbedaan metode atau system yang dipakai,salah satunya yaitu system Ijtima’.
Untuk
lebih mempermudah dalam mengkaji masalah ini, maka akan dijelaskan lebih lanjut
pada pembahasan berikut.
B. Pembahasan
1. Sistem Penentuan Awal Bulan Qamariyah
Penentuan
awal bulan qamariyah sangat penting artinya bagi segenap kaum muslimin, sebab
banyak macam ibadah dalam islam yang pelaksanaannya dikaitkan dengan
perhitungan bulan Qamariyah. Di antara ibadah-ibadah itu adalah shalat Dua Hari
Raya, Puasa Ramadhan, Haji dan sebagainya[6].
Untuk itu
syara’ telah memberikan pedoman dalam menentukan perhitungan waktu (penentuan
awal bulan Qamariyah), seperti kita lihat dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Pedoman
tersebut dalam garis besarnya terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a.
Sistem Ru’yah
Ru’yah secara harfiah adalah melihat. Artinya paling
umum adalah melihat dengan mata kepala[7].Sedangkan
ru’yah al-hilal adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di
lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan; apabila
ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan tanggal 30
bulan baru atas dasar ru’yah al-hilal;
tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tangal 30 bulan
yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan
baru atas dasar istikmal.Berdasarkan Hadits:
Hadits
Nabi :
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي
عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين (متفق عليه)
Artinya:
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Apabila hilal tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga
puluh hari”(Muttafuq Alaih)
فإن غم عليكم فاكملوا
عدة شعبان ثلاثين
Jika terhalang oleh mendung, maka
sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari
b.
Sistem Hisab
Hisab
menurut bahasa yaitu mengihtung, mengira, dan membilang, sedangkan menurut
istilah yaitu perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada
suatu saat yang diinginan. Apabila hisab ini dalam penggunaannya dikhususkan
pada hisab waktu atau hisab awal bulan, maka yang dimaksudkan adalah menentukan
kedudukan matahari atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan
tersebut pada bola langit pada saat-saat tertentu.
Adapun
ibadah yang berhubungan dengan waktu, tentunya kita juga tidak bisa lepas dari
ilmu hisab. Kita menggunakan Ilmu Hisab untuk mengetahui bagaimana kita harus
beribadah, dengan mencari arah kiblat untuk ibadah sholat, sejauh mana awal
bulan itu berlaku ( matla’), darimana
saja gerhana dapat dilihat dan lain sebagainya.Tentunya untuk mengetahui itu
semua kita harus menggunakan hisab terlebih dahulu.
Dari
konsep itulah kami dapat mengambil kesimpulan bahwa ayat-ayat dan hadist yang
ada adalah sebagai dalil atau anjuran kepada kita untuk melakukan hisab.
Penentuan
awal bulan qomariyah dalam system hisab ini didasarkan pada perhitungan
peredaran bulan mengelilingi matahari.
2.
Sistem Ijtima’[8] dalam Penentuan Awal
Bulan Qomariyah
Disamping
sistem Hisab dan Ru’yah, dalam penentuan awal bulan Qomariyah juga dapat
didasarkan pada kapan terjadinya Ijtima’.Berikut penjelasannya;
Mungkin
orang akan beraggapan bahwa setiap ijtima’ atau awal bulan qomariyah pasti akan
selalu terjadi gerhana matahari, sebab sinar yang datang dari matahari
kepermukaan bumi akan terhalang oleh bulan. Keadaan sebenarnya tidaklah
demikian, sebab pada posisi ijtima’, matahari, bumi dan bulan tidak selalu
pada satu garis lurus. Pada saat Ijtima’
matahari, bumi dan bulan berada pada satu bidang astronomis yang tegak lurus
terhadap bidang orbit bumi[9]
3.
Pola Ijtihad Ulama’
Fiqh tentang Penentuan Awal Bulan Qomariyah Sistem Ijtima’
Dalam
penentuan awal bulan qomariyah pola ijtihad ulama’ fiqih adalah sebagai
berikut:
a.
Golongan yang Berpedoman
pada Ijtima’ Qobla Ghurub
Golongan ini
menggunakan kriteria ijtima’ qobla ghurub
sebagai dasar penentuan masuknya bulan baru. Mereka menetapkan bahwa jika
ijtima’ terjadi sebelum saat matahari terbenam, maka sejak matahari terbenam
itulah awal bulan baru sudah mulai masuk tanpa mempertimbangkan apakah hilal
sudah di atas ufuk atau belum[10]. Pendapat
mereka ini didasarkan pada Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Yasin
ayat 39 yang berbunyi:
والقمر قدرنىه منازل
حتى عاد كالعرجون القديم
Artinya: Dan telah kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan urjun yang tua.
Atas
dasar ini, para penganut madzhab ini mengaggap bahwa batas hari adalah
terjadinya ijtima’, bukan fajar dan bukan pula terlihatnya bulan di saat
matahari tenggelam pada akhir bulan yang sedang berjalan[11]. Namun demikian, harus dipahami bahwa surat
yasin: 39 di atas hanya memberikan
indikasi bahwa pada saat akhir Bulan Qomariyah, bulan akan berbentuk bulan
sabit lagi[12]
Sedangkan
jika terjadi setelah matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya
ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. System ini sama
sekali tidak mempersoalkan rukyah. Juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari
ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi Ijtima’ walaupun hilal masih
dibawah ufuk, maka malam itu sudah masuk bulan baru. System ini lebih
menitikberatkan penggunaan astronomi murni.
Dalam
astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak matahari dan bulan dalam
keadaan konjungsi ( Ijtima’ ) system
ini menghubungkan Ijtima’ dengan saat terbenam matahari. Sebab ada anggapan
bahwa dalam islam hari dimulai dari terbenam matahari sampai terbenam matahari
berikutnya, jadi logikanya menurut system ini bahwa Ijtima’ adalah pemisah
diantara dua bulan Qomariyah, namun karena menurut islam hari dimulai
terbenamnya matahari maka kalau terjadi Ijtima’ sebelum matahari terbenam,
malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau Ijtima’ terjadi setelah
terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian dari bulan yang sedang
berlangsung.
Jadi, tolok
ukurnya adalah apakah Ijtima’ itu terjadi sebelum tibanya batas hari (saat
matahari terbenam) atau sesudahnya.
b.
Golongan yang Berpedoman
pada Ijtima’ Qobla Al-Fajri
Golongan
ini menghendaki adanya permulaan bulan qomariyah ditentukan oleh kejadian
Ijtima’ sebelum terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ljtima’ tidak ada
sangkut pautnya dengan kejadian matahari terbenam dan tidak ada dalil yang kuat
bahwa batas hari adalah saat matahari terbenam. Menurut system ini jika ijtima’
terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan baru,
walaupun saat matahari pada malam itu belum terjadi ijtima’. Nampaknya saat ini
di Indonesia belum ada para ahli yang berpegang pada Ijtima’ Qobla Al-Fajri
ini. Mereka bari mensinyalir adanya pendapat ini yang didasarkan pada
peristiwa-peristiwa yang sering terjadi akibat penentuan Hari Raya Haji yang
dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia[13]. Yang
membedakan madzhab ini dari Madzhab pertama yaitu Ijtima’ Qobla Al-Ghurub
adalah: Bila ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar pada akhir bulan yang sedang
berjalan, maka sisa malam itu sudah dianggap masuk tanggal 1 bulan berikutnya.
Ketentuan ini dianut oleh para penganut Madzhab Hisab Ijtima’ Qobla Al-Fajr,
karena angapan bahwa batas hari adalah fajar seperti yang ditafsirkan dari
surah Al-Baqoroh: 187 yang berbunyi:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض
من الخيط الأسود من الفجر
Artinya: ........dan makanlah minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Seperti
Madzhab sebelumnya, pengertian Madzhab ini akan kacau dan tidak cocok dengan
hadist Rasulallah.
Para ahli
di Indonesia menilai bahwa jika didasarkan pada perhiatungan hisab, maka system
Ijtima’ Qobla Al-Fajriyah yang dijadikan pedoman.
c.
Golongan yang Berpedoman
pada Ijtima’ dan Tengah Malam
Kriteria
awal bulan menurut aliran ini adalah bila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam
maka mulai tengah malam itu sudah masuk awal bulan, akan tetapi bila ijtima’ terjadi sesudah tengah
malam, maka malam itu masih termasuk
bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan (new moon) dan awal bulan
ditetapkan mulai tengah malam berikutnya[14].
KESIMPULAN
¶ Dalam
masalah hisab dan rukyat, Al-Qur’an dan Hadist Nabi. menggarisbesarkan kepada
dua bagian, yaitu: Sistem Ru’yah dan
juga Sistem Hisab
¶ Ru’yah
al-hilal adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di lapangan pada
hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan;
¶ Apabila
ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan tanggal 30
bulan baru atas dasar ru’yah al-hilal;
¶ Apabila
tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tangal 30 bulan yang sedang
berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas
dasar istikmal.
¶ Hisab
yaitu perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu
saat yang diinginan.
¶ Dalam
penentuan awal bulan qomariyah pola ijtihad ulama’ fiqih adalah sebagai
berikut: Golongan yang berpedoman pada Ijtima’ qobla ghurub, Golongan yang
berpedoman pada Ijtima’ Qobla Al-Fajri dan Golongan yang berpedoman pada
ijtima’ dan tengah malam
¶ Golongan
pertama yang menggunakan kriteria ijtima’
qobla ghurub sebagai dasar penentuan masuknya bulan baru, mereka menetapkan
bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum saat matahari terbenam, maka sejak matahari
terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk tanpa mempertimbangkan apakah
hilal sudah di atas ufuk atau belum
¶ Golongan kedua
menghendaki adanya permulaan bulan qomariyah ditentukan oleh kejadian Ijtima’
sebelum terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ljtima’ tidak ada sangkut
pautnya dengan kejadian matahari terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa
batas hari adalah saat matahari terbenam.
¶ Menurut
system ini jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah
masuk awal bulan baru, walaupun saat matahari pada malam itu belum terjadi
ijtima’.
¶ Kriteria
awal bulan menurut aliran ketiga adalah bila ijtima’ terjadi sebelum tengah
malam maka mulai tengah malam itu sudah masuk awal bulan, akan tetapi bila ijtima’ terjadi sesudah tengah
malam, maka malam itu masih termasuk
bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan (new moon) dan awal bulan
ditetapkan mulai tengah malam berikutnya
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami buat. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, namun
tidak ada satu manusia pun yang mencapai derajat kesempurnaan. Manusia hanya
berusaha untuk bisa lebih sempurna dari sebelumnya, namun Tuhanlah yang
menentukan tingkat keberhasilannya. penulis yakin mempunyai banyak kesalahan,
tetapi penulis lebih yakin pada kekuasaan Tuhan karena Tuhan tidak akan
menyia-nyiakan usaha hambanya menuju arah yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Azhari , Susiknan, Ilmu falak (Penjumlahan Khazanah Islam dan Sains Modern, . 2007. Cet II,
Yogyakarta :Suara Muhammadiyah
______________
Ensiklopedi Hisab Ru’yah cet II. 2008.,Yogyakarta : Pustaka Belajar
Depag RI.. Almanak Hisab Rukyah, 1981, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam
Izzuddin, Ahmad. Fiqih Hisab Ru’yah, 2007. Jakarta:Erlangga
_______________Ilmu
Falak Praktis, . 2006. Semarang: Komala Grafika
Kazin, Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, 2005, Yogyakarta:
Pustaka Buana
Maskufa., Ilmu Falaq, 2009. Jakarta:
GP Press
Saksono, Tono. Mengkompromikan Ru’yah dan Hisab, 2007.Jakarta: Amythas Publicita
Pedoman
Perhitungan Awal Bulan Qomariyah dengan Ilmu Ukur Bola, 1983, Bagian Proyek
Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama:
[1] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala
Grafika, 2006, hlm. 65.
[2] Ibid 67-68
[3] Ibid 65-66
[4] Ahmad Izzuddin,Fiqih Hisab Ru’yah, (Jakarta:Erlangga,
2007), hlm 4.
[5] Ahmad Izzuddin, Op.
Cit, hlm 66-67.
[6] Depag RI, Almanak
Hisab Ru’yah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
1981), hlm 98.
[7] Susknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Ru’yah cet II ,(Yogyakarta
: Pustaka Belajar, 2008), hlm 183.
[8] Ijtima’ adalah suatu
keadaan di mana posisi bumi, bulan dan matahari berada dalam satu garis lurus
(bujur astronomi), lihat dalam Muhyiddin Khazin, Kmus Ilmu Falak.
(Yogyakarta: buana pustaka, 2005) hlm. 32
.
[9] Depag RI. Almanak
Hisab Rukyah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam). hlm.
101.
[10] Dra. Maskufa, MA, Ilmu Falaq, (Jakarta: GP Press,
2009),hlm 163
[11] Tono Saksono, Ph.D, Mengkompromikan Ru’yah dan Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita,
2007), hlm 146.
[12] Yaitu bulan sabit tua, dan ini tidak dinamakan
hilal, bahkan tidak ada rujukan dalam al-Qur’an maupun Hadist yang member nama
buan sabit tua ini.
[13] Lihat pedoman
perhitungan Awal Bulan Qomariyah dengan ilmu ukur bola yang diterbitkan oleh
bagian proyek pembinaan administrasi hukum dan peradilan agama: 1983.
[14] Susiknan Azhari, Ilmu falak (Penjumlahan Khazanah Islam dan Sains Modern Cet II, (Yogyakarta :Suara Muhammadiyah,
2007), hlm 108.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar