Tafsir Ayat Menghadap Arah Ka’bah
I.
Pendahuluan
Artinya: (115) Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Pada ayat tersebut telah difirmankan dengan
jelas, bahwasanya baik timur ataupun barat, baik jurusan yang mana saja,
semuanya itu adalah kepunyaan Allah, dan ke mana sajapun menghadap, di sana
akan diterima juga oleh wajah Allah. Hal ini dikarenakan Allah tidak menempati sesuatu, bahkan Dia Maha Luas dan Maha
Mengetahui. Oleh sebab itu, pada pokoknya ke mana sajapun kita menghadapkan
muka di kala shalat, yang kita hadapi tetaplah wajah Allah, asal kita kerjakan
dengan khusyu'.
Tetapi agama bukanlah semata-mata urusan peribadi. Agamapun adalah
kesatuan seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan amal
shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat. Kalau sekiranya semua orang
menghadap ke mana saja tempat yang disukainya, meskipun yang disembah hanya
satu, di saat itu juga mulailah ada perpecahan ummat tadi. Maka dalam Islam
bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya yang
tertentu, dengan rukun dan syaratnya yang tertentu, tempat menghadapkan mukapun
diatur jadi satu.
II.
Pembahasan Surah Al-Baqarah Ayat 142-145
Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu : Apakah
yang memalingkan mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada mereka padanya ?
Katakanlah :Kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk siapa yang
Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.
143) Dan
demikianlah , telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di tengah, supaya kamu
menjadi saksi-saksi atas manusia, dan adalah Rasul menjadi saksi(pula) atas
kamu. Dan tidaklah Kami jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya, melainkan
supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa yang berpaling atas
dua tumitnya. Dan memanglah
berat itu kecuali atas orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan
tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah terhadap
manusia adalah Penyantun lagi Penyayang.
144. sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja
kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
145. dan Sesungguhnya jika kamu
mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun
tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. dan Sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, Sesungguhnya kamu
-kalau begitu- Termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Ø
السُّفَهَاءُ : makna asal dari kata
tersebut adalah ringan, tidak berbobot, tipis, tidak bernilai, dan dapat pula
diartikan dengan bodoh dan lemah serta kurang akal pikirannya. Mengenai
orang-orang bodoh yang dikhitab dalam ayat di atas, sebagaimana dinyatakan Imam
Ibn Katsir bahwa terdapat beberapa pendapat para ahli tafsir yang menafsiri
kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang musyrik Arab, para pendeta Yahudi,
dan orang-orang munafik.[2]
Namun Sayyid Quthb secara tegas menafsiri kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang
Yahudi.[3]
Ø وَلاهُمْ : yaitu memalingkan mereka. Ungkapan ini merupakan
pertanyaan yang mengandung arti ejekan/celaan ang mengandung keheranaan dan ketakjuban.
Ø القِبْلَة : berasal dari kata “المقابلة” yang berarti
bertatap muka, berhadap-hadapan,kemudian kata ini di khususkan untuk menyebut
arah yang dihadapi/dituju oleh manusia dalam melakukan shalat.
Ø وَسَطًا : Adil lagi pilihan atau orang yang paling
baik di antara mereka. Karena orang yang berlebih-lebihan dan yang mengurangi
sama-sama tercelanya. Zamakhsyari (1:148) menyatakan bahwa yang baik itu yang
tengah-tengah karena ujung-ujungnya cepat rusak, sedang tengah-tengahnya
terpelihara.
Ø عَقِبَيهِ : merupakan bentuk mutsanna/ganda dari kata “عقب” yang
artinya ujung kaki. Namun dapat pula diartikan dengan berbalik atau kembali.
Dengan demikian, maka pengertiannya adalah :supaya kami mengetahui siapa yang
imannya tetap/teguh dan orang yang murtada dari agama Allah
Ø الشَّطْرُ : menurut bahasa, ia berarti arah atau bagian
dan dapat pula diartikan dengan bagian. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat ini
adalah arah atau bagian dari Masjidil Haram.
Ø
تَقَلُّبُ الوَجْهِ : berulang kali
menengadah ke langit. Al-Zajjaj, mengartikan ungkapan ayat ini dengan berulang
kali matanya memandang/menengadah kelangit (fath Al-Bayan 1:243)
Ø
وَجْهَكَ : yaitu arah, dapat
juga diartikan dengan separuh atau sebagian daripada sesuatu.
IV.
Asbab Al-Nuzul
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan pendapat
para ulama mufassir yang menyatakan bahwa ayat 144 dari surah al-Baqarah di
atas merupakan ayat yang turun terlebih dahulu dari pada ayat sebelumnya. Ayat
khusus di sini berkaitan dengan pemindahan kiblat shalat dari Baitul Maqdis ke
Ka’bah. Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa:
قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس: كان أوَّل ما نُسخَ من القرآن
القبلة، وذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هاجرَ إلى المدينة، وكان أكثر
أهلها اليهود، فأمره الله أن يستقبل بيت المقدس، ففرحت اليهود، فاستقبلها رسول
الله صلى الله عليه وسلم بضْعَةَ عَشَرَ شهرًا.[4]
Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan
hukum pertama yang dinasakh dalam Al-Quran. Ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah,
karena pada waktu itu mayoritaas penduduk kota Madinah masih beragama Yahudi, Allah
SWT memerintahkan beliau untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis untuk menarik
simpati penduduk Madinah yang merasa senang dengan hal tersebut. Maka,
awal-awal di Madinah Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis selama beberapa
puluh bulan.
Adapun sebab yang melatarbelakangi turunnya
ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassirin. Akan
tetapi kebanyakan mereka berpendapat bahwa turunnya ayat 144 surah al-Baqarah
di atas berawal dari penantian Rasulullah akan turunnya perintah untuk memindah
arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam
al-Razi dalam tafsirnya dengan beberapa alasan yang di antaranya bahwa
rasulullah lebih senang menghadap Ka’bah dari pada Baitul Maqdis.
Kecondongan Rasulullah ini bukannya tanpa
alasan, Imam al-Razi menyebut beberapa di antaranya karena kesombongan orang-orang
Yahudi yang berkata bahwa Rasulullah menyalahi agama mereka, akan tetapi
mengikuti kiblat mereka. Selain itu, kecenderungan rasulullah pada Ka’bah
dikarenakan pula Ka’bah merupakan kiblatnya Nabi Ibrahim.[5]
Maka, Nabi Muhammad SAW menengadahkan wajahnya
ke langit untuk menghadap dan berharap akan turunnya perintah memindahkan arah
kiblat. Dan pada akhirnya, setelah melalui kurun waktu antara enam belas atau
tujuh belas bulan sejak hijrahnya beliau ke Madinah, perintah itu pun turun
berupa ayat 144 dari surah al-Baqarah.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari sahabat Bara’ Ibn ‘Azib:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ
اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ...الأية}[6]
Atas dasar ayat ini maka berubahlah arah
shalat kaum muslimin ke Ka’bah, yang sebelumnya menghadap ke Baitul Maqdis
(yang merupakan kiblatnya ahli kitab dari kaum yahudi dan Nasrani). Dan ternyata,
berubahnya arah kiblat oleh ummat Islam ini menjadikan kaum Yahudi lebih
sombong dan enggan untuk masuk Islam. Karena itu, mereka di Madinah berkata
dengan lisan mereka:
"أن اتجاه محمد ومن معه إلى
قبلتهم في الصلاة دليل على أن دينهم هو الدين ، وقبلتهم هي القبلة؛ وأنهم هم الأصل
، فأولى بمحمد ومن معه أن يفيئوا إلى دينهم لا أن يدعوهم إلى الدخول في
الإسلام!"[7]
Bahwa sesungguhnya menghadapnya Muhammad saw.
dan orang-orang yang bersamanya ke arah kiblatnya orang Yahudi di dalam shalat,
menunjukkan bahwa agama dan kiblat mereka adalah agama dan kiblat yang benar,
serta sesungguhnya orang-orang Yahudi dan agamanya adalah yang asli. Maka,
Muhammad saw. dan orang yang bersamanya justru yang harus memeluk agama
orang-orang Yahudi, bukannya menyeru orang Yahudi untuk masuk Islam.
Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga menyebarkan
kebohongan dan kebatilan agar kiblat Nabi Muhammad saw. dan kaum muslimin
kembali ke Baitul Maqdis. Kaum Yahudi berusaha keras melenyapkan argumen yang
dikeluarkan kaum muslimin berkaitan dengan pemindahan kiblat shalat. Dengan
berlindung dan bersandar di balik keagungan agama Yahudi dan pada keraguan yang
mereka ciptakan kepada umat Islam akan kebesaran nilai agama Islam itu sendiri,
mereka berkata pada barisan kaum muslimin:
" إن كان التوجه
- فيما مضى - إلى بيت المقدس باطلاً فقد ضاعت صلاتكم طوال هذه الفترة؛ وإن كانت
حقاً فالتوجه الجديد إلى المسجد الحرام باطل ، وضائعة صلاتكم إليه كلها . . وعلى
أية حال فإن هذا النسخ والتغيير للأوامر - أو للآيات - لا يصدر من الله ، فهو دليل
على أن محمداً لا يتلقى الوحي من الله![8]
Jika menghadap Baitul Muqaddas adalah batil, maka
sungguh telah hilang tanpa berpahala shalatmu selama waktu yang telah berlalu.
Dan jika menghadap Baitul Maqdis adalah benar, maka apa yang telah kalian
lakukan dengan menghadap kiblat yang baru (Ka’bah) adalah batil, dan shalat
yang kalian lakukan dengan menghadap kiblat adalah sia-sia tanpa pahala. Maka,
atas dasar keterangan tadi, nasakh dan perubahan arah shalat yang dilakukan
Muhammad adalah perintah yang bukan dari Allah SWT, dan hal ini juga menunjukkan
bahwa Muhammad tidak menerima wahyu dari Allah SWT. Untuk mengantisipasi hal
tersebut dan memberikan kesiapan terhadap Nabi Muhammad dalam menghadapi fitnah
mereka, Allah SWT menurunkan wahyunya berupa ayat 142-143 dan ayat 145 surah
al-Baqarah.
V.
Munasabah Ayat
Pembicaraan dalam ayat-ayat ini berkisar dan
teringkas pada masalah pemindahan arah kiblat dan masalah-masalah lain yang
berkaitan dengan pemindahan arah kiblat, serta tipu daya yang dilancarkan
orang-orang bodoh kepada barisan kaum muslimin dan perkataan-perkataan yang
dilontarkan mereka seputar masalah tersebut.
Terkait perpindahan arah kiblat pada ayat 142,
Allah menjadikan kaum muslimin sebagai umat pilihan dan pertengahan (adil). Hal
ini merupakan penegasan tentang kaum muslimin sebagai umat yang terbaik
sebaimana dinyatakan oleh Allah SWT:
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya: [110]
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat 142-145 surah al-Baqarah di atas juga
dapat dipahami bahwa Allah SWT mengadakan ujian kepada kaum beriman, siapakah
di antara mereka yang benar-benar beriman, dan siapa yang masih ragu-ragu. Bagi
siapa saja yang mengerti dan memahami hikmah peristiwa perpindahan kiblat,
sudah barang tentu iman aka semakin tertanam. Tetapi bagi orang yang masih
merasa ragu-ragu dan terombang-ambing oleh kebimbangan, atau hanya ikut-ikutan
dalam beragama, tanpa pengetahuan dan penghayatan, tentu iman mereka akan
semakin luntur.
Demikianlah cara Allah SWT menguji iman
manusia dengan memunculkan fitnah. Dengan begitu, dapat diketahui siapa yang
benar-benar beriman, tidak berpura-pura dan sungguh-sungguh, sebagaimana firman
Allah SWT:
$O!9#
ÇÊÈ |=Å¡ymr&
â¨$¨Z9$#
br&
(#þqä.uøIã
br&
(#þqä9qà)t
$¨YtB#uä
öNèdur
w
tbqãZtFøÿã
ÇËÈ ôs)s9ur
$¨ZtFsù
tûïÏ%©!$#
`ÏB
öNÎgÎ=ö6s%
(
£`yJn=÷èun=sù
ª!$#
úïÏ%©!$#
(#qè%y|¹
£`yJn=÷èus9ur
tûüÎ/É»s3ø9$#
ÇÌÈ
Artinya: [1] Alif laam miim.
[2] Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang
mereka tidak diuji lagi?
[3] Dan
Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka
Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.
Dan ketika dalam ayat 143 di atas disebutkan
kata li na’lama, yang artinya agar Kami mengetahui. Padahal pengetahuan
Allah itu adalah qadim dan tidak pernah berubah. Hal inilah yang
mendorong para mufassir mengatakan, bahwa yang dimaksud ilmu di sini ialah saat
munculnya pengetahuan tersebut, atau terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan
ilmu Tuhan. Sebab pada dasarnya Allah telah mengetahui seluruh kejadian yang
akan terjadi. Allah pun mengetahui kepastian kejadian yang akan terjadi, di
samping akibat dari peristiwa tersebut, apakah diberi pahala atau tidak.[9]
VI.
Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa
tatkala Rasulullah Saw masih berdomisli di mekkah, beliau dalam shalatnya
senantiasa menghadap ke baitul maqdis, sebagaimana dilakukan oleh Nabi-nabi
bani Israil. Tetapi sebenarnya beliau senang menghadap ka’bah, karena bangunan
tersebut merupakan kiblat nenek moyangnya Ibrahim as sedangkan beliau datang
untuk menghidupkan agama nenek moyangnya itu dan untuk memperbaharui dakwahnya,
serta ka’bah juga merupakan bangunan yang ada lebih dahulu diantara dua kiblat
tersebut.
Sementara orang-orang yahudi mengatakan : “
Muhammad itu menyalahi agama kita. Seandainya tidak ada agama kita, tentu dia
tidak tau harus kemana menghadap dalam shalatnya”. Oleh karena itu, Nabi SAW
enggan untuk tetap mengikuti kiblat mereka. Bahkan diriwayatkan, beliau pernah
berkata kepada malaikat jibril : “seandainya di perkenankan, aku ingin Allah
mengalihkan aku dari kiblay orang-orang yahudi kekiblat yang lain”. Maka sejak
saat itu beliau senantiasa mengarahkan pandangannya kelangit, dengan harapan
beliau akan menerima wahyu dari Allah SWT, yang menetapkan pemindahan kiblat ke
ka’bah (al-Dur al-Ma’tsur : 1: 147).
Ungkapan ayat tersebut diatas menyatakan bahwa
sebelum kiblat dipindahkan, Allah Swt telah memberitahu tentang apa yang akan
diucapkan oleh orang-orang yang dungu dari kalangan yahudi. Padahal peristiwa
tersebut belum terjadi. Pemberitahuan semacam ini merupakan mukjizat bagi
Rasulullah Saw yang menunjukkan bukti kebenaran risalah yang beliau bawa,
karena pemberitahuan ini berkenaan dengan sesuatu yang gaib. Di samping itu, dalam pemberitahuan ini
terkandung jawaban yang dapat mematahkan argumentasi lawan.[10]
Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf telah
mengemukakan faidah dan kegunaan suatu berita yang kasusnya belum terjadi.
Beliau menyatakan :
فائدته
أن مفاجأة المكروه أشدّ ، والعلم به قبل وقوعه أبعد من الاضطراب إذا وقع لما
يتقدّمه من توطين النفس ، وأنّ الجواب العتيد قبل الحاجة إليه أقطع للخصم وأرد
لشغبه ، وقبل الرمي يراش السهم.[11]
Faidahnya, datangnya secara tiba-tiba sesuatu yang tidak disukai akan
mendatangkan kegoncangan yang hebat.
Sedangkan mengetahuinya sebelum terjadi akan mengurangi kegoncangan dalam
jiwanya, apabila ksus tersebut terjadi, karena mentalnya telah dipersiapkan.
Sedangkan jawaban yang diperlukan, akan lebih dapat mematahkan argumentasi
lawan dan dapat menolak bencana yang mungkin timbul.
Tidak hanya itu, Musthafa al-Maraghy menjelaskan
bahwa sebelum lahirnya Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok. Pertama,
ialah orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia dan
kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, orang-orang
yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan
ruhaniah secara total, sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat
duniawiah, termasuk kebutuhan jasmaniah mereka. Di antara mereka adalah kaum
Nasrani dan Shabi’in, di samping beberapa pengikut sekte agama Hindu
penyembah berhala, yakni kelompok yang populer dengan olahraga yoga.
Kemudian, lahirlah Islam yang berupaya memadu
antara dua kebutuhan tersebut, yakni kebutuhan ruhaniah dan duniawiah
(jasmaniah), di samping memberikan hak-hak secara manusiawi. Islam berpandangan
bahwa manusia itu terdiri dari ruh dan jasmani. Atau, jika anda suka,
katakanlah bahwa manusia itu terdiri dari unsur “hewan” dan “malaikat”. Jadi,
agar seseorang menjadi manusia dalam pengertian yang sempurna, maka harus memenuhi
dua kebutuhan tersebut secara seimbang dan terpadu.[12] Demikianlah
kiranya maksud yang ingin disampaikan oleh Allah SWT melalui ayat 142 surah
al-Baqarah di atas.
Artinya, agar kaum muslimin menjadi saksi bagi
setiap orang yang berpaham materialis, dan orang-orang yang berlebih-lebihan
dalam hal agama dan sama sekali tidak memperdulikan kepentingan jasmaniah
dengan cara menyiksa diri dan menutup diri dari hak-hak kemanusiaannya yang
wajar. Kaum muslimin juga sebagai umat yang berada pada posisi depan karena
mempunyai sikap pertengahan di dalam segala bentuk urusan. Kenyataan ini
sekaligus merupakan tanda kesempurnaan yang tidak dapat dibandingkan lantaran
bersikap memberikan hak secara proporsional, dan tidak ada satu hak pun yang
umat Islam lewatkan. Kewajiban terhadap tuhan, terhadap diri sendiri, terhadap
sanak famili dan orang lain, semuanya dipenuhi oleh umat Islam.
Sebab, Rasulullah adalah teladan yang paling
baik bagi umat manusia. Kita akan dikatakan sebagai umat pertengahan jika
mengikuti jejak ajarannya. Sehingga, perintah Allah SWT untuk mengganti arah
kiblat tidak lain untuk mengetahui sejauh mana umat manusia yang tetap beriman
dan yang tidak beriman (orang-orang yang hatinya terombang-ambing oleh arus dan
berpendirian tak menentu).[13]
Perpindahan kiblat ini tentu sangat berat
dirasakan oleh orang-orang yang sudah terbiasa dengan kiblat sebelumnya. Sebab,
manusia memang cenderung kepada kebiasaan yang sudah lama dilakukan, dan sangat
keberatan mengenal sesuatu yang baru. Dalam hal ini, yakni perpindahan arah
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Terkecuali bagi orang yang sudah berbekal
hidayah dari Allah SWT.
VII.
Kandungan Hukum
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya,
bahwa ayat tentang perpindahan arah kiblat ini merupakan hukum pertama yang dinasakh
dalam syari’at. Ayat ini pula yang dibuat landasan oleh para ahli fiqh yang menyatakan
bahwa syari’at Islam mengakui adanya suatu hukum yang mengganti dan yang
diganti (nasikh-mansukh). Terkait kewajiban menghadap arah Ka’bah pada
ayat 142 surah al-Baqarah di atas, Imam al-Qurthubi menyebutkan setidaknya ada
4 persoalan hukum di dalamnya.[14]
Pertama, kata شطر المسجد الحرام yang ditafsiri dengan arah
Ka’bah (ناحية الكعبة) para ulama berbeda pendapat tentang obyek konkret
dari arah Ka’bah tersebut. Dalam kasus ini Imam al-Qurthubi meriwatkan sebuah
hadits Rasul dari Ibn Abbas:
قد روى ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال: "البيت قبلة لأهل المسجد والمسجد قبلة لأهل الحرم
والحرم قبلة لأهل الأرض في مشارقها ومغاربها من أمتي" .
Kedua, tidak ada perbedaan pendapat di antara para
ulama bahwa Ka’bah adalah arah kiblat dari segala penjuru. Para ulama juga
sepakat bahwa bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, maka ia wajib menghadap ke
Ka’bah secara langsung.
Ketiga, ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban
menghadap kiblat bagi orang yang tidak dapat melihat langsung Ka’bah. Di antara
ulama berpendapat wajib menghadap ‘ain Ka’bah. Namun pendapat ini
dibantah oleh Imam Ibn al-Arabi dan dianggap pendapat yang lemah. Karena hal
ini akan berdampak pada taklif (paksaan) bagi orang yang tidak mampu.
Keempat, ayat ini menjadi hujjah yang terang
bagi pendapatnya Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya, bahwa hukum
bagi seorang mushalli adalah melihat ke depan dan bukan ke tempat sujud.
Bangunan Ka’bah (Al-Baitul Atiq) yang dahulu
di bangun oleh para abul anbiya (bapak para nabi), Ibrahim a.s. merupakan
kiblat seluruh umat islam di muka bumi sebagaimana al-Baitul Ma’mur yang
menjadi kiblat bagi penghuni langit, di mana mereka bertawaf dan bertasbih
dengan memuji Allah sambil mengelilinginya.
Adalah kebijaksanaan Allah telah menentukan
satu kiblat bagi umat islam, yang kemudian Allah memerintahkan kekasih-Nya
Ibrahim a.s. untuk mendirikan ka’bah sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin
yang aman, sebagai sumber bagi sinar, cahaya ketuhanan dan tempat bagi manusia
dari segala penjuru bumi untuk menunaikan ibadah haji yang agung. Dalam hal ini Allah berfirman,
(#rßygô±uÏj9 yìÏÿ»oYtB öNßgs9 (#rãà2õtur zNó$# «!$# þÎû 5Q$r& BM»tBqè=÷è¨B
Artinya: “supaya mereka menyaksikan pelbagai manfaat bagi mereka
dan supaya mereka menyebut asma Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Q.S.
Al-Hajj:28)
Dan Allah juga telah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya menghadap
ke Baitullah dalam shalat sebagai ganti menghadap Baitul Maqdis selama kurang
lebih enam belas atau tujuh belas bulan. Ini dilakukan tidak lain adalah untuk
menguji keimanan dan kepercayaan mereka untuk menjaring siapa saja di antara
mereka yang mukmin shadiq (yang benar) dan munafiq kadzib (yang berdusta).
Selain itu juga untuk mengembalikan peran umat sebagai anutan sebagaimana
firman-Nya dalam Al- Qur’an surat Al-hajj ayat 78 yang kurang lebih artinya, ”Dia
(Allah) telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dan Dia
(Allah) menyebut kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu dan (begitu pula)
dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya
kamu semuan menjadi saksi atas segenap manusia…”
Maka Ka’bah adalah perlambang jiwa tauhid dan aspek keimanan serta
kiblat bapak para Nabi yang disekelilingnya saling bertemu hati orang-orang
muslim dari pelbagai penjuru dunia. Semua ini mensinyalemen bahwa Ka’bah adalah
lambang kesatuan mereka dan inti kesatuan kalimat mereka. Maka tidak
mengherankan jika Allah memerintahkan mereka menghadapnya dalam shalat di
manapun mereka berada, baik di Timur maupun di Barat, sebagaimana telah
difirmankan Allah, “Palingkanlah mukamu ke arah
masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…”
(Q.S. Al-Baqarah:144).
Sedangkan bagi Al-Imam Fahrur Razi, dialihkannya kiblat ke masjidil
haram memuat beberapa hikmah, yaitu:
1.
Bahwa
sesungguhnya seorang hamba yang lemah apabila menghadap kepada Majlis Raja yang
agung, ia akan menghadapkan mukanya kepada Raja tanpa berpaling dengan
memujinya dengan merendahkan diri dan
berkhidmat. Begitu pula dengan hakikat menghadap kiblat, tidak akan berpaling
darinya dengan disertai bacaan-bacaan dan tasbih-tasbih sebagai pujian,
sedangkan ruku’ dan sujud merupakan cermin dari pengkhidmatan kepadanya.
2.
Maksud
shalat adalah hadirnya hati (ke hadapan Allah), sedang kehadiran ini tak akan
berhasil tanpa sikap yang tenang, tidak bergerak-gerak, dan tidak menoleh
kemana-mana. Hal ini tentu tidak akan terlaksana dengan baik kecuali hanya
dengan menghadap ke satu arah saja. Maka apabila ditentukan satu arah sebagai
hadapan tentu menambah kemuliaan dan lebih utama.
3.
Allah
SWT telah meyukai kelembutan hati di antara kaum mukminin. Oleh karena itu,
jika seandainya masing-masing orang islam ketika shalat menghadap arah yang
berbeda-beda, tentu hal itu justru akan memperjelas perbedaan. Sehingga,
perintah Allah kepada umat islam untuk menghadap satu arah ini tidak lain
adalah untuk mewujudkan persatuan umat.
4.
Allah
SWT mengistimewakan Ka’bah dengan menyandarkannya kepada-Nya sebagaimana firman
Allah, “Dan sucikanlah rumah-Ku” (Q.S. Al-Hajj:26). Pengistimewaan ini
juga dilakukan oleh Allah kepada orang-orang mukmin dengan mengidhafatkan
mereka kepada Diri-Nya seperti panggilan Ibadi (hamba-hamba-Ku). Maka
kedua macam idhafat ini berarti adalah untuk mengistimewakan dan menghormati.
DAFTAR PUSTAKA
Bukhari, Muhammad Ibn Ismail Al-, Shahih al-Bukhari, al-Maktabah
al-Syamilah.
Dimsyiqi, Ismail Ibn Umar Ibn Katsir Al-, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, al-Maktabah
al-Syamilah.
Maraghy, Ahmad Muthafa Al-, Tafsir al-Maraghy, diterjemah oleh
Bahrun Abu Bakar, Semarang: Toha Putra, 1984.
Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad Al-, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Maktabah
al-Syamilah.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Dhilal al-Quran, al-Maktabah al-Syamilah.
Razi, Abu Abdillah Muhammad Ibn umar Al-, Tafsir al-Fakhri al-Razi, al-Maktabah
al-Syamilah.
Shabuni, Muhammad
Ali Al-, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, diterjemah
oleh Mu’ammal Hamid dan Imron Manan, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Syarjaya, H. E. Syibli, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud Al-, al-Kasysyaf, al-Maktabah
al-Syamilah.
[1] H. E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008, hlm. 119-121.
[2] Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Dimsyiqi, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, al-Maktabah
al-Syamilah, juz 1, hlm. 452.
[5] Abu Abdillah Muhammad Ibn umar al-Razi, Tafsir al-Fakhri al-Razi, al-Maktabah
al-Syamilah, juz 2, hlm. 403.
[9] Ahmad Muthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, diterjemah oleh Bahrun
Abu Bakar, Semarang: Toha Putra, 1984, juz 2, hlm. 8-9.
[11] Abu al-Qasim Mahmud al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, al-Maktabah
al-Syamilah, juz 1, hlm. 142.
[13] Ibid, hlm. 7-8.
[14] Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Maktabah
al-Syamilah, juz 2, hlm. 159-160.
[15]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, diterjemah
oleh Mu’ammal Hamid dan Imron Manan, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hal. 88.
Subhanallah Syukron atas Ilmunya. Sangat bermanfaat.
BalasHapusSubhanallah Syukron atas Ilmunya. Sangat bermanfaat.
BalasHapus