PROBLEMATIKA HUKUM PEMBUKTIAN
Latar
Belakang
Masalah
hukum adalah maslah pembuktian di pengadilan. Demikian yang sering dikatakan
orang. Oleh karena itu, peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di
pengadilan sangatlah penting. Banyak cerita ataupun sejarah hukum yang menunjukan
kepada kita betapa karena salah dalam
menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong, maka pihak yang sebenarnya
tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan bersalah oleh
hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah dalam menilai alat bukti, atau
tidak cukup kuat alat bukti, orang yang sebenarnya bajingan dan telah melakukan
kejahatan, bisa diputuskan bebas oleh pengadilan. Kisah – kisah peradilan sesat
seperti itu, selalu saja terjadi dan akan terus terjadi karena keterbatasan
hakim, advokat, jaksa, utamanya hukum acara dan hukum pembuktian. Dengan
demikian, untuk menghindari atau setidak – tidaknya meminimalkan putusan –
putusan pengadilan yang tersesat tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti
di pengadilan sangat diharapkan, baik dalam kasus pidana maupun kasus perdata.
Hukum
pembuktian ( law of evidence ) dalam berperkara merupakan bagian yang
sangat kompleks dalam proses ligitasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit,
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu ( past event ) sebagai suatu kebenaran ( truth ).
Meskipun kebenaran yang di cari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata,
bukan kebenaran yang bersifat absolut ( ultimate truth ), tetapi
bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan ( probable
), namun untuk mencari kebenaran yang demikian pun, tetap menghadapi
kesulitan.[1]
Kesulitan
menemukan dan mewujudkan kebenaran, terutama disebabkan beberapa faktor :
1)
Faktor
sistem adversarial
Sistem ini mengharuskan memberi hak
yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling mengajukan kebenaran
masing – masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang
diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial.
2)
Kedudukan
hakim dalam proses pembuktian, sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah
dan pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran diluar apa yang diajukan
dan disampaikan para pihak dalam persidangan. Hakim perdata dalam menjalankan
fungsi mencari kebenaran, dihalangi oleh berbagai tembok pembatasan. Misalnya,
tidak bebas memilih sesuatu apabila hakim dihadapkan dengan alat bukti yang
sempurna dan mengikat ( akta otentik, pengakuan dan sumpah ). Dalam hal itu,
sekalipun kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk
menilainya.[2]
3)
Mencari
dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit, disebabkan fakta dan bukti
yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli ( not
analyzed and appraised by experts ).
Terkadang bukti keterangan yang
disampaikan saksi penuh emosi atau prasangka yang berlebihan. Bahkan dalam
kenyataan, kebenaran yang dikemukakan dalam alat bukti, sering mengandung dan
melekat unsur :
a)
Dugaan
dan prasangka
b)
Faktor
kebohongan
c)
Unsur
kepalsuan
Akibat keadaan ini,
dalam putusan yang dijatuhkan hakim tidak tergantung kebenaran hakiki, tetapi
kebenaran yang mengandung prasangka, kebohongan, dan kepalsuan.
Banyak
orang bertanya, kenapa hukum tidak mengambil dan menganut sistem pembuktian
yang lebih efisien, yaitu mencari kebenaran berdasarkan perkembangan modern
dibidang kesehatan, ilmu pengetahuan dan rekayasa ( engineering ).
Kenapa tidak dicari kebenaran itu melalui ahli pengetahuan ( scientific
experts ), hipnotis melalui psikoanalisis, atau dengan teknik yang relevan
dengan ilmu pengetahuan ? Namun hal itu pada umumnya, baru berupa wacana.
2.
Pembahasan
Dalam pembahasan
materi hukum pembuktian ini, kami akan mencoba merumuskan masalah ke dalam
berbagai bagian, yaitu :
a)
Pengertian
dan Sifat Pembuktian
b)
Teori
Pembuktian
c)
Beban
Pembuktian
d)
Teori
– Teori Beban Pembuktian
e)
Alat
– Alat Bukti
A ) Pengertian dan
Sifat Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah
seperangkatkaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian.[3]
Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil – dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa
pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan dan perkara di
muka Hakim atau pengadilan. Sehingga pembuktian itu hanya diperlukan, apabila
timbul suatu perselisihan. Semua perselisihan mengenai hak milik, utang piutang
atau warisan atau perselisihan mengenai hak – hak perdata ( artinya : hak – hak
yang berdasarkan hukum perdata atau hukum sipil ) adalah semata – mata termasuk
kekuasaan atau wewenang hakim atau pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal
ini Hakim atau pengadilan perdata.[4]
Sedangkan yang di maksud dengan
pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata maupun
pidana, dimana dengan menggunakan alat – alat bukti yang sah, dilakukan
tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataan,
khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang
diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar
atau tidak seperti dinyatakan itu.[5]
Pasal
1865 B.W. mengatakan bahwa : barang siapa mengajukan peristiwa – peristiwa atas
mana ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa – peristiwa itu;
sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa – peristiwa guna pembantahan hak
orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa – peristiwa itu.[6] Misalnya
adalah : seorang suami menggugat cerai istrinya ke pengadilan agama karena
menurutnya istrinya itu telah melakukan perzinahan dengan orang lain. Apabila
istri sebagai tergugat ini menyangkalnya, maka suami itu harus bisa membuktikan
tuduhannya itu kepada hakim dengan alat – alat bukti yang akan di jelaskan pada
bagian selanjutnya. Sehingga banyak perkara gugatan yang gagal di depan Hakim
oleh karena pihak penggugat tidak berhasil dalam usahanya untuk membuktikan
pendiriannya yang disangkal oleh pihak tergugat.
Ada
suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara perdata dan
pembuktian dalam hukum acara pidana. Disamping perbedaan tentang jenis alat
bukti, terdapat juga perbedaan tentang sistem pembuktian. Sistem pembuktian
dalam hukum acara pidana dikenal dengan “ sistem negatif “ ( negatief
wettelijk bewijsleer ), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang
materil, sedangkan dalam huum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif (
positief wettelijk bewijsleer ), dimana yang di cari oleh hakim adalah
kebenaran yang formal.[7]
Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus
mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata
tidak berperan.
Sebenarnya soal pembuktian itu
termasuk hukum acara ( procesrecht )
dan tidak pada tempatnya dimasukan dalam
B.W yang pada asasnya hanya mengatur hal – hal yang termasuk hukum materil.
Tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat di bagi lagi
dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat – alat
pembuktian, termasuk dalam bagian yang pertama yang dapat juga di masukan dalam
kitab Undang – undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya
dianut oleh pembuat undang –undang pada waktu B.W dilahirkan. Untuk bangsa
Indonesia peraturan perihal pembuktian ini telah dimasukan dalam H.I.R yang
memuat hukum acara yang berlaku di pengadilan negeri.[8]
B ) Teori-Teori Pembuktian
Sekalipun
untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun
pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim
dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi
saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg,
1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan
alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg,
1870 BW)].
Terdapat
3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif
dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang,
yaitu :
1) Teori
Pembuktian Bebas
Teori
ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga
penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini
dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran
wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
2) Teori
Pembuktian Negatif
Teori
ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan
kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi
hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
3) Teori
Pembuktian Positif
Disamping
adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini
hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
C) Beban
Pembuktian
Beban pembuktian adalah suatu penentuan oleh
hukum tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di
pengadilan, untuk membuktikan dan meyakinkan pihak manapun bahwa fakta tersebut
memang benar – benar terjadi seperti yang di ungkapkannya, dengan konsekuensi
hukum bahwa jka tidak dapat dibuktikan oleh pihak yang di bebani pembuktian,
fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi seperti yang di ungkapkan oleh
pihak yang mengajukan fakta tersebut di pengadilan.[9]
Hukum pembuktian harus menentukan dengan
tegas ke pundak siapa beban pembuktian harus diletakan. Hal ini akan menentukan
secara langsung bagaimana akhir dari suatu proses hukum di pengadilan, misalnya
dalam kasus perdata dimana para pihak sama –sama tidak dapat membuktikan
perkaranya. Dengan demikian, jika beban pembuktian diletakan di pundak
penggugat, kemudian penggugat tidak dapat membuktikannya, penggugat akan
dianggap kalah perkara meskipun pihak tergugat belum tentu juga dapat
membuktikannya. Oleh karena itu, dalam menentukan ke pundak siapa beban
pembuktian harus diletakan, hukum haruslah cukup hati – hati dan adil dalam
penerapannya. Selain itu, hakim juga harus cukup arif.[10]
D) Teori-Teori
Tentang Beban Pembuktian
Seperti
telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian),
maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang
memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Dalam ilmu
pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi
pedoman bagi hakim, antara lain:
a) Teori hukum subyektif
Menurut
teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif
atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau
mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
b) Teori hukum
obyektif
Menurut
teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta
kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap
pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran
daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk
diterapkan pada peristiwa itu.
c) Teori hukum
publik
Menurut
teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan
kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih
besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang
sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti.
Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
d) Teori hukum
acara
Asas
audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama
daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian
menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan
kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah
sama.[11]
D) Alat – Alat
Bukti
Menurut
pasal 1866 KUH Perdata atau pasal 164
RIB ( pasal 283 RDS ) alat – alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari atas
:
1.
Bukti
Tulisan
2.
Bukti
Dengan Saksi – Saksi
3.
Persangkaan
– Persangkaan
4.
Pengakuan
5.
Sumpah
Dalam
halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB hanya diakui sebagai alat
– alat bukti yang sah :
1.
Kesaksian
2.
Surat
– Surat
3.
Pengakuan
Dari
apa yang disebutkan diatas, dapat dilihat bahwa dalam suatu perkara perdata
alat bukti yang utama adalah tulisan, sedangkan dalam suatu perkara
pidana adalah kesaksian. Keadaan yang demikian dapat dimengerti, seorang
yang melakukan suatu tindak pidana mengingkari adanya suatu bukti sehingga
bukti harus di cari dari keterangan orang – orang yang secara kebetulan melihat
atau mengalami kejadian – kejadian yang merupakan tindak pidana tersebut.
Sebaliknya dalam lalu lintas keperdataan, yaitu dalam jual – beli, utang –
piutang, sewa – menyewa dsb, orang – orang itu memang dengan sengaja membuat
alat – alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti –bukti itu
dikemudian hari.
Jika
dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan
dibuktikannya, terdapat dua macam alat bukti, yaitu :
1.
Alat
bukti Langsung
Adalah alat bukti
dimana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan, sehingga fakta
tersebut terbukti langsung. Contoh saksi melihat langsung pelaku kejahatan
mencabut pistolnya dan menembak kearah korban, saksi mendengar bunyi letusan,
dan kemudian melihat langsung korban terkapar.
2.
Alat
bukti tidak langsung
Adalah suatu alat bukti
dimana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat
hubungannya setelah ditarik kesimpulan – kesimpulan tertentu. Contoh saksi
melihat korban tersungkur dengan darah di perutnya, dan didekatnya terlihat
tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, kemudian pelaku melarikan diri.
Jadi sebenarnya, saksi tidak melihat proses terjadinya pembunuhan tersebut.
Selanjutnya jika dilihat dari segi
fisik dari alat bukti, terbagi kedalam dua macam, yaitu :
1.
Alat
bukti testimonial
Adalah pembuktian yang diucapkan
yang diberikan oleh saksi di pengadilan.
2.
Alat
bukti yang berwujud
Adalah model – model alat bukti
yang dapat dilihat bentuknya, yang terdiri dua macam, yaitu 1) alat bukti riil
2) alat bukti demonstratif.
3.
Alat
bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial.
Adalah bentuk campuran antara alat bukti
testimonial dan alat bukti berwujud.[14]
Adapun
penjelasan mengenai alat – alat bukti tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Surat
– Surat ( Bukti Tulisan )
Menurut
Undang – Undang, surat – surat dapat di bagi dalam surat – surat akte dan surat
– surat lain. Surat akte adalah suatu tulisan yang semata –mata di
buat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus
selalu di tanda tangani. Surat – surat akte terdiri dari surat akte resmi (
authentiek ) dan surat akte di bawah tangan ( onderhands ).[15]
Akte otentik adalah suatu akte yang bentuknya di tentukan oleh Undang –
undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk
itu di tempat dimana akte itu dibuatnya ( pasal 1868 KUHP, pasal 165 RIB
atau pasal 285 RDS ).[16]
Pegawai umum itu adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, pegawai
pencatatan sipil, dsb.
Adapun
akte di bawah tangan adalah setiap akte yang tidak di buat oleh atatu dengan
perantaraan seorang pejabat umum, seperti surat perjanjian jual beli yang di
buat dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Sehingga jika pihak yang
menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tanda
tangannya, maka akte di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan
pembuktian yang samadengan suatu akte resmi.[17] Demikianlah
diterangkan oleh pasal 1875 KUHP ( pasal 1b ordonansi tahun1876 No.29, pasal
288 RDS ).[18]
Yang
Dibuat Oleh Pegawai Umum ( Akta
Berita acara )
|
Akta
Otentik
|
Surat
– Surat
|
Akta
|
Akta
Dibawah Tangan
|
Surat
Bukan Akta
|
Yang
Dibuat di Hadapan Pegawai Umum ( Akta Para Pihak )
|
- Kesaksian
Kesaksian
adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa
yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.[20]
Suatu kesaksian harus mengenai peristiwa – peristiwa yang di lihat dengan
mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh
saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.[21]
Pasal 171 HIR ( Pasal 1907 KUH Perdata ) berbunyi :
1)
Dalam
tiap – tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi
2)
Perasaan
atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak di pandang sebagai
penyaksian.
saksi
–saksi itu ada yang kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa
yang harus di buktikan di muka Hakim tadi, adapula yang memang dengan sengaja
diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan, seperti
jual beli tanah yang sedang dilangsungkan.[22]
Saksi
yang dipanggil ke muka sidang pengadilan mempunyai kewajiban – kewajiban
menurut hukum, yaitu :
1)
Kewajiban
untuk menghadap / datang memenuhi panggilan di persidangan. Dengan catatan,
setelah dipanggil dengan patut dan sah menurut hukum ( pasal 139, 140, 141 HIR
)
2)
Kewajiban
untuk bersumpah sebelum mengemukakan keterangan. Sumpah tersebut dilakukan
menurut agamanya dan bagi suatu agama yang melarang bersumpah dapat diganti
dengan mengucapkan janji ( pasal 147, 148 HIR )
3)
Kewajiban
untuk memberikan keterangan yang benar ( pasal 148 HIR )[23]
Pada
asasnya semua orang cakap dapat bertindak sebagai saksi. Dan apabila telah
dipanggil dengan sah dan patut menurut hukum, wajiblah ia mengemukakan
kesaksiannya di muka pengadilan.[24]
Bahkan apabila tidak mau datang atau datang tetapi tidak mau memberikan
kesaksian, ia dapat dikenakan sanksi – sanksi. Adapun golongan yang secara
mutlak dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi, yaitu Keluarga sedarah
dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. (
pasal 145 (1) sub 1e HIR, pasal 1910 (1) KUH Perdata ). Sedangkan golongan yang
secara relatif dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi yaitu : [1] Anak –
anak yang belum mencapai umur 15 tahun ( pasal 145 (1) sub 3e jo (4) HIR, pasal
1912 (1) KUH Perdata ). [2] Orang gila ( sakit ingatan ) sekalipun kadang –
kadang ingatannya terang ( pasal 145 (1) sub 4e HIR, pasal 1912 (1) KUH
Perdata.[25]
- Persangkaan
Persangkaan
– persangkaan ialah kesimpulan –kesimpulan yang oleh undang – undang atau oleh
hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal kearah suatu peristiwa yang
tidak terkenal.[26]
Prof.
Mr. A. Pitlo memberikan pendapat bahwa : persangkaan adalah uraian hakim,
dengan mana hakim dari fakta yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak
terbukti.[27] Walaupun
telah ditegaskan dalam undang – undang bahwa persangkaan itu adalah alat
pembuktian, para ahli hukum tidak puas dengan ketentuan tersebut, maka
dikemukakanlah berbagai dalih untuk menggugurkan ketentuan tersebut, antara
lain yang dikemukakan oleh Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. sebagai
berikut : oleh karena persangkaan adalah kesimpulan belaka, maka dalam hal
ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan
alat bukti – bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat – surat atau
pengakuan suatu pihak, yang membuktikan, bahwa suatu peristiwa adalah terang
ternyata ( peristiwa )
Dalam
Kamus Hukum alat bukti ini disebut vermoedem yang berarti dugaan atau presumptie,
berupa kesimpulan yang ditarik oleh undang – undang atau oleh hakim dari suatu
hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum
diketahui.[28]
Menurut KUH Perdata pasal 1915 (2)
menerangkan ada dua macam persangkaan,
yaitu :
1)
Persangkaan
menurut undang – undang
yaitu
: persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang – undang,
dihubungkan dengan perbuatan – perbuatan tertentu atau peristiwa – peristiwa
tertentu. Contoh : kekuatan yang oleh undang undang diberikan kepada pengakuan
atau kepada sumpah salah satu pihak. Sedangkan jika kita tengok pasal 164 HIR (
pasal 1866 KUH Perdata ) pengakuan dan sumpah itu merupakan alat pembuktian
yang berdiri sendiri. Seolah – olah pengakuan atau sumpah itu merupakan
sub-bagian dari persangkaan dan adanya pengakuan atau sumpah itu karena adanya
persangkaan.[29]
2)
Persangkaan
yang tidak berdasarkan undang – undang ( menurut kenyataan )
Persangkaan
menurut kenyataan ditentukan dalam pasal 173 HIR, 1922 KUH Perdata yang
berbunyi : persangkaan – persangkaan yang tidak berdasarkan undang – undang
sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim, yang namun itu
tidak boleh memperhatikan persangkaan – persangkaan lain selainnya yang
penting, teliti dan teretntu dan sesuai satu sama lain. persangkaan –
persangkaan yang demikian hanyalah boleh dianggap dalam hal – hal dimana undang
– undang mengizinkan pembuktian dengan saksi – saksi, begitupula apabila
dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan
alasan adanya itikad buruk atau penipuan.
Yang
Dapat Dibuktikan Kebalikannya
|
Persangkaan
|
Berdasarkan
Undang – Undang
|
Berdasarkan
Kenyataan
|
Yang
Tidak Dapat Dibuktikan Kebalikannya
|
- Pengakuan
Pengertian
pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut pasal 1923 KUH Perdata,
pasal 174 HIR, adalah :
Ø Pernyataan atau keterangan yang
dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu
perkara.
Ø Pernyataan atau keterangan itu dilakukan
di muka hakim atau dalam sidang pengadilan.
Ø Keterangan itu merupakan pengakuan bahwa
apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar umtuk keseluruhan
atau sebagian.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan pengakuan Prof. Mr. A. Pitlo memberikan
batasan sebagai berikut :
“
pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa
yang dikemukakan oleh pihak lawan “.[30]
Mengenai
pengakuan yang telah dikemukakan itu dapat ditarik kembali atau tidak, hal ini
dapat kita jumpai ketentuannya dalam undang – undang yaitu pasal 1926 KUH
Perdata yang menyatakan : suatu pengakuan yang dilakukan dimuka hakim tidak
dapat ditarik kembali, kecuali apabila dibuktikan bahwa pengakuan itu adalah
akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal – hal yang terjadi.
Didalam
kepustakaan terdapat 3 jenis pengakuan, yaitu :
1)
Pengakuan
murni ( tergugat mengakui isi gugatan seluruhnya )
2)
Pengakuan
dengan klausula ( tergugat mengakui gugatan, tetapi menambah dengan suatu
jawaban yang berisi fakta yang langsung meniadakan dasar dari gugatan itu ).
Contoh : tergugat mengakui mempunyai hutang dari penggugat, tapi ia menambah
pengakuan itu dengan pernyataan, ia telah membayar ( lunas atau ia memberi
tambahan bahwa sesungguhnya penggugat juga mempunyai hutang dari ia ).
3)
Pengakuan
dengan kualifikasi ( tergugat mengakui gugatan tapi menambah dengan pernyataan
yang berisi hal yang memberi ciri khas
dari gugatan itu ). Contoh : tergugat mengakui gugatan, tapi mengatakan bahwa
waktunya belum tiba untuk memenuhi gugatan itu, dalam soal pinjam – meminjam yang
belum waktunya untuk dibayar.[31]
Pasal
176 HIR ( pasal 1924 KUH Perdata ) memerintahkan kepada Hakim untuk menerima
pengakuan segenapnya ( secara bulat ) dan tidak berwenang menerima pengakuan
itu sebagian – sebagian, sehingga merugikan pihak yang mengemukakan pengakuan.
Memisah – misahkan pengakuan itu hanya di izinkan apabila orang yang berhutang,
dengan maksud untuk membebaskan dirinya, menyebutkan peristiwa – peristiwa yang
terbukti tidak benar. Jadi pasal 176 HIR telah dengan tegas menentukan bahwa
pengakuan tidak boleh dipecah – pecah, melainkan harus diterima secara
keseluruhan yang merupakan satu kesatuan.[32]
Secara
Lisan
|
Di
Depan Sidang Pengadilan
|
Pengakuan
j
hkhdhh
|
Di
Luar Sidang Pengadilan
|
Secara
Tertulis
|
- Sumpah
Pengertian
sumpah sebagai alat bukti yaitu suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan
atas nama Tuhan,[35]
dengan tujuan :
a.
Agar
orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu, takut atas
murka Tuhan, apabila dia berbohong.
b.
Takut
kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang
bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.[36]
Adapun
syarat formil sumpah itu adalah :
a.
Ikrar
diucapkan dengan lisan
b.
Diucapkan
dimuka Hakim dalam persidangan[37]
Sedangkan
sumpah itu mempunyai beberapa macam, diantaranya yaitu :
1)
Sumpah
pemutus
Yaitu
sumpah yang dilakukan oleh salah satu pihak atas dasar perintah dari pihak
lawannya adalah suatu sumpah yang dapat menjadi titik tolak pemutusan sengketa
yang lazim disebut dengan sumpah pemutus. Sumpah pemutus diatur dalam pasal 156
HIR, 1930 KUH Perdata.
Sumpah
pemutus harus dilakukan secara lisan dihadapan lawan dan didepan hakim dalam
persidangan yang sedang berlangsung, keculai kalau undang – undang menentukan
dengan cara lain, demikian pasal 158 HIR, 1944, 1945 KUH Perdata. Pengecualian
itu misalnya karena pihak yang harus melakukan sumpah sedang sakit. Sumpah
pemutus yang pelaksanaannya merupakan pengecualian dari aturan pasal 158 HIR,
1944, 1945 KUH Perdata misalnya seperti sumpah pocong, sumpah mimbar, sumpah
klenteng.
2)
Sumpah
tambahan
Yaitu
: sumpah yang di perintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu
pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya.[38] Ada
lagi yang memberi definisi bahwa sumpah tambahan adalah sumpah yang di
perintahkan oleh Hakim kepada salah satu pihak.[39]
Pasal
1945 KUH Perdata menentukan :
Hakim dapat,
karena jabatan, memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara,
untuk menggantungkan pemutusan perkara pada penyumpahan itu, atau untuk
menetapkan jumlah yang akan dikabulkan.
Hakim dalam memerintahkan sumpah
tambahan hanya dapat dilakukan apabila tuntutan atau tangkisan tidak terbukti
dengan sempurna, atau bahkan tidak sama sekali tak terbukti, demikian maksud
pasal 1941 KUH Perdata. Dalam hal ini “Hakim
berwenang, bukan berkewajiban untuk membebankan sumpah pelengkap”.[40]
Titik perbedaan yang pokok antara
sumpah pemutus dan sumpah tambahan adalah :
- Sumpah yang menentukan dibebankan oleh hakim atas inisiatif pihak dalam perkara, sumpah pelengkap atas inisiatif hakim sendiri.
- Sumpah yang menentukan mesti dibebankan oleh hakim, sumpah tambahan dapat ia membebankannya
- Sumpah pelengkap hanya diperbolehkan apabila ada sesuatu bukti yang lain
- Sumpah palsu tidak mempengaruhi akibat dari sumpah yang menentukan, tetapi mempengaruhi akibat dari sumpah pelengkap
- Sumpah yang menentukan dapat dikembalikan, sumpah pelengkap tidak
- Sumpah yang menentukan memberikan bukti yang menentukan, sumpah pelengkap hanya memberikan bukti wajib.[41]
E)
Sumpah
Penaksiran
Yaitu
: salah satu jenis sumpah yang diperintahkan oleh hakim, karena jabatannya,
sedangkan satu jenis lainnya yaitu sumpah tambahan, kekuatan pembuktiannya
wajib dan memungkinkan pembuktian dari pihak lawan, maka untuk sumpah
penaksiran juga mempunyai kekuatan pembuktian sama dengan sumpah tambahan.[42]
Sumpah
Tambahan ( suppletoir eed
)
|
Sumpah
Sumpah
|
Sumpah
Pihak
|
Sumpah
Atas Perintah Hakim
|
Sumpah
Penaksiran (
aestimatoir eed )
|
F)
Kesimpulan
Pembuktian
adalah sesuatu yang sangat penting dalam hal hukum acara perdata maupun pidana.
Karena kesalahan yang terjadi saat pembuktian itu akan menentukan pula siapa
pihak yang akan menang dan kalah dalam berperkara di muka pengadilan. Namun
selama ini, kelemahan yang terjadi dalam hukum acara perdata mengenai
pembuktian ini adalah, hakim bersifat pasif. Sehingga banyak yang merasa
ketidakadilan ketika menerima keputusan yang di ambil oleh seorang hakim.
G)
Penutup
Demikianlah
makalah kami tentang problematika hukum pembuktian. Semoga bisa memberikan
manfaat bagi kita semua. Namun, kami meminta maaf, apabila dalam penyusunan
makalah ini banyak kesalahan dan kurang dari kesempurnaan.
DAFTAR
BACAAN
Afandi,
Ali, Prof., S.H., Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum
Pembuktian, cet. III ( Jakarta; Bina Aksara. 1986 )
Cound,
John J. Dkk. Civil Procedure; Cases &
Material, west publishing, st. Paul Minn,
1985
Fockema,
Andreae, Kamus istilah hukum Fochema Andreae ( terj ) , ( Bandung; Bina
Cipta, 1983 )
Fuady,
Munir, Teori Hukum Pembuktian,
Cet I (bandung; PT Citra Aditya
Bakti. 2006)
Harahap,
M., Yahya, S.H., Hukum Acara Perdata, Cet VIII ( Jakarta; Sinar Grafika,
2008)
http//teorihukumpembuktian.blogspot.html.co.id/07-10-10 pkl 16.00
wib.
Mertokusumo, Sudikno, DR., S.H., hukum acara perdata indonesia, Cet
I ( Yogyakarta ; Liberty. 1977)
Pitlo A, hukum pembuktian, ( alih
bahasa, M. Isa Arief ) Cet I (Jakarta; Intermasa, 1978)
R
Subekti, Prof., S.H., Hukum Pembuktian,
Cet III ( jakarta; Pradnya Paramita. 1987 )
Samudera,
Teguh, S.H., Hukum Pembuktian dalam
Acara Perdata, Cet I (
Bandung: Alumni. 1992 )
Soimin, Soedaryo, S.H., KUH Perdata, Cet VII ( Jakarta; Sinar
Grafika, 2007 )
[1] John J. Cound,
cs. Civil Procedure; cases & material, west publishing, st.
Paul Minn, 1985, hl 867
[2] Subekti, Hukum
Pembuktian, ( jakarta; Pradnya Paramita. 1987 ), hal 9
[6] Ibid, hal 177
[8] Subekti, Op.
Cit. hal 176
[12] Menurut pasal
184 KUHAP alat bukti yang sah ialah : a) keterangan saksi; b) keterangan ahli;
c) surat; d) petunjuk; e) keterangan terdakwa
[13] Subekti, Op. Cit. hal 19
[15] Subekti, Op.
Cit. hal 178
[16] Subekti, Op. Cit. hal 26
[27] A. Pitlo, hukum
pembuktian, (Jakarta; Intermasa, 1978 ) Cet I, hal 27 ( alih bahasa, M. Isa Arief )
[28] Andreae
Fockema, Kamus istilah hukum Fochema Andreae ( terj ) , ( Bandung; Bina
Cipta, 1983 ) hal 626
[29] Teguh
samudera. Op. Cit. hal 78
[30] A. Pitlo, Op.
Cit. hal 150
[31] Ali affandi,
Op.Cit hal 216
[32] A. Pitlo,
Op.Cit, hal 87
[34] Sudikno, Op.
Cit, hal 129
[35] Sudikno, Op.
Cit, hal 147
[36] M. Yahya
harahap, Hukum Acara Perdata, ( Jakarta; Sinar Grafika, 2008 ) Cet VIII,
hal 745
[37] M. Yahya
harahap, Op. Cit, hal 746.
[39] Supomo, Op.
Cit. hal 74
[40] Pitlo, Op.
Cit. hal 205
[42] Teguh
samudera, Op. Cit. hal 108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar