PERNIKAHAN
A. Pendahuluan
Fitrah
makhluk hidup didunia ini adalah ketidakmampuannya untuk hidup sendiri. Untuk
itu Allah SWT. menciptakan setiap makhluknya saling berpasang-pasangan, begitu
pula dengan manusia. Setiap manusia oleh Allah SWT. dikarunia perasaan
kecenderungan terhadap lawan jenisnya.
Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan
cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber
dari fitrah yang diciptakan Allah SWT di dalam jiwa manusia, yaitu
kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran
dan fisiknya.
Sebagaimana
firman Allah SWT.:
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.” (Qs.
Ar. Ruum (30) : 21).
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh
Allah SWT. sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di dunia ini telah mengatur
dengan sebaik-baiknya hubungan antara manusia. Demikian pula hubungan antar
lawan jenisnya, semuanya telah diatur dengan seksama agar perasaan cinta dan
kecenderungan terhadap lawan jenis tidak menjerumuskan manusia kedalam jurang kenistaan.
Jalinan pernikahan merupakan jalan
keluar yang menghalalkan hubungan lawan jenis dalam Islam. Bahkan Rasulullah
saw. sendiri melarang keras seorang muslim untuk hidup membujang. Sebaliknya, beliau menganjurkan
dengan sangat pernikahan bagi seorang muslim yang telah mampu melaksanakannya.
Berdasarkan alasan diatas, kami
-penulis- didalam makalah ini akan berusaha memaparkan beberapa hadis yang
mengandung perintah dan petunjuk bagi setiap muslim dalam melaksanakan
pernikahan.
B. Pengertian nikah
Nikah menurut bahasa adalah ad dhommu
wa al wath’u yakni bersenggama atau bercampur[1].
Sedangkan menurut istilah yaitu suatu akad yang mengandung kebolehan
untuk melakukan wath’I dengan lafadh inkah atau tazwij.[2]
Djaman Nur mengatakan bahwa Abdurrahman
al Jarizi dalam kitabnya al fiqh ‘ala Mazhibil Arba’ah[3]
menerangkan bahwa nikah memiliki 3 arti:
1) Menurut
bahasa nikah adalah bersenggama atau bercampur
2) Menurut
ma’na ushuliyah dan ma’na syar’I, terdapat perbedaan dikalangan para ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa nikah adalah
bersenggama dan dalam arti majaz adalah akad.
Pendapat kedua mengatakan bahwa nikah adalah akad,
sedangkan ma’na majaznya adalah senggama.
Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa
nikah adalah musytarak atau gabungan dari akad dan bersenggma.
3) Menurut
ahli Fiqh perkawinan adalah akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang
suami dapat bersenang-senang dengan istrinya. Jika masing-masing ulama diteliti
lebih mendalam, maka kita akan menemukan perbedaan diantaranya. Golongan Hanafiyah mengatakan nikah adalah
akad yang menfaedahkan memliki, bersenang-senang dengan sengaja. Golongan
Syafi’iyah mengatakan nikah adalah akad
yang mengandung ketentuan hukum kebolehan bersenggama dengan lafadz nikan atau tazwij
atau yang sema’na dengan keduanya. Golongan Malikiyah mengatakan bahwa
nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum yang semata-mata untuk
membolehkan bersenggama, bersenang-senang, dan menikmati apa yang ada pada diri
seorang wanita yang boleh menikah dengannya.
Dari
pengertian diatas, memberikan pemahaman bagi kita bahwa kebanyakan para ulama
terdahulu mendefinisikan nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan suami
istri tanpa ada penjelasan mengenai tujuan dan akibat dan pengaruh yang
ditimbulkannya.
C. Anjuran Untuk Menikah
Hadits
Abdullah bin Mas'ud tentang anjuran untuk menikah
حدثنا
أبو بكر بن شيبة, و أبوكريب قالا حدثنا معاوية, عن الأعمش عن عمارة بن عمير عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ [4]
Diberitahukan
dari Abu Bakar bin Syaibah dan Abu Kuraib mereka berkata kami diberitahu sebuah
hadis oleh muawiyah dari al-A’mas dari Umaroh bin Umair dari Abdurahman bin
Yazid dari Abdullah ia berkata: bersabda kepada kami Rasulullah saw.:”Wahai
para pemuda,barang siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan dari segi
“al-baah” hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan
pandangan (dari penglihatan yang tidak baik) dan lebih menjaga kemaluan (dari
berbuat zina). Dan barang siapa yang belum mampu untuk menikah hendaklah ia
berpuasa; karena berpuasa itu baginya adalah pengekang hawa nafsu.” (H.R. Muslim)
الشباب, ialah pemuda yang belum berumur
tiga puluh tahun. Tapi menurut Ibnu Syas, belum berumur genap empat puluh
tahun.[5]
Nabi menandaskan bahwa siapa saja
diantara para pemuda yang mempunyai kesanggupan untuk nikah dan mempunyai
penghasilan untuk membelanjai rumah tangga serta berkeinginan hidup berumah
tangga hendaklah menikah, tidak boleh hidup membujang. Mereka yang tidak
sanggup memelihara rumah tangga, atau tidak
mempunyai kemampuan untuk menikah hendaklah dia berpuasa, karena
berpuasa baginya sama dengan mensterilkan diri.
Kata-kata “الباءة” pada hadits di atas mengandung arti kemampuan
untuk melakukan hubungan kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup perkawinan.
Kedua hal ini merupakan persyaratan suatu perkawinan. Pembicaraan tentang
hukum asal dari suatu perkawinan yang diperbincangkan dikalangan
ulama berkaitan dengan telah dipenuhinya persyaratan tersebut.[6]
Oleh karena itu berdasarkan dengan term
“al-ba’ah” dalam matan hadits diatas para mujtahid menyimpulkan bahwa
hukum melakukan pernikahan adalah bisa wajib, sunnah, haram mubah atau makruh.[7]
1. Wajib
Bagi
yang sudah mampu menikah dan nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus kedalam
perzinaan, maka hukumnya wajib.
2. Sunnat
Orang
yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah tetapi kalau tidak
menikah tidak dikhawatirkan untuk berbuat zina, maka hukum menikah bagi orang
tersebut adalah sunnat.
3. Haram
Bagi
orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan dan tanggung jawab
untuk melaksanakan kewajiban dalam dalam rumah tangga, sehingga akan
menelantarkan dirinya serta isterinya maka hukum menikah bagi orang tersebut
adalah haram.
4. Makruh
Bagi
orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja kepada isterinya maka
hukum menikah baginya adalah makruh.
5. Mubah
Bagi
seorang laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan atau
mengharamkan dia untuk menikah maka hukum menikah baginya adalah mubah.
Selain
berisi anjuran untuk menikah bagi yang telah memenuhi syarat, matan hadis
diatas juga mencantumkan jalan keluar bagi orang yang mempunyai keinginan untuk
menikah namun belum mampu atau belum memenuhi syarat untuk menikah. Jalan
keluar yang diberikan bagi mereka menurut hadis diatas yaitu dengan berpuasa.
Berdasarkan matan hadis diatas fungsi
puasa bagi orang yang sudah berkeinginan menikah namun belum mampu adalah
sebagai “al-Wijaa’ “.
Al-Wijaa’
secara bahasa berarti mengebiri yaitu memotong testis agar hilang syahwatnya.[8]
Sedang maksud dari matan hadis yang artinya “puasa itu adalah pengebirian baginya”
yaitu bahwa puasa adalah salah satu cara untuk mengurangi sahwat birahi. Hal
ini dikarenakan syahwat birahi
berbanding lurus dengan syahwat (nafsu) untuk makan, bertambah ketika
nafsu makan bertambah dan berkurang ketika nafsu makan berkurang.[9]
Oleh karena itu dapat kita pahami,
penyamaan puasa dengan pengebirian adalah sebuah majaz yang mana
mengambil persamaan dari keduanya (puasa dan pengebirian) yaitu sama-sama
bertujuan untuk memotong nafsu birahi.[10]
D. Hadits ‘Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah Nabi
حدثنا
أحمد الأزهر, حدثنا أدم, حدثنا عيسى بن ميمون, عن القاسم, عَنْ عَائِشَةَ رَضِي
اللَّه عَنها قَالَتْ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي
فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي
مُكَاثِرٌ بِكُمُ الامَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ [11]
Diberitahukan
dari Ahmad al-Azhar dari Adam dari Isa bin Maimun dari al-Qosim dari Aisyah,
dia berkata Rasulullah saw. Bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang
tidak mau mengamalkan sunnahku,maka dia bukan termasuk golonganku !,
sesungguhnya aku (senang) kalian memperbanyak umatku, dan barang siapa
(diantara kalian) telah memiliki kemampuan/kesiapan (untuk menikah, maka
menikahlah, dan barang yang belum mendapati (pada dirinya kemampuan/kesiapan)
maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa merupakan (seperti) pemotongan
hawa nafsu (pengebirian) baginya " (HR. Ibnu Majah)
Hadis
diatas diriwayatkan dengan sanad dhaif. Namun hadis tersebut dapat dipakai
karena dapat diperkuat oleh riwayat lain yang senada dengannya.
Hadis-hadis
lain yang memperkuat riwayat diatas antara lain:
1.
Hadis tentang
anjuran menikah yang diriwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya. Hadis ini diriwayatkan dengan sanad shahih dan
substansinya sama dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Aisyah rah.
2.
Hadis diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi dari Abu Ayub ra. yang artinya:[12]
Rasulullah Saw bersabda: "Ada empat
hal yang termasuk sunnah para Nabi: Malu, memakai, wangi-wangian, bersiwak dan
menikah"
Pernikahan
yang mana merupakan jalan yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan
perempuan didalam Islam, mendapat kedudukkan yang istimewa di dalam Islam yaitu
sebagai sunnah nabi saw. Bahkan didalam hadis lain disebutklan bahwa pernikahan
adalah sunnah para nabi terdahulu. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw.
sendiri dalam sebuah hadis yang diriwayat oleh Tirmidzi dari Abu Ayyub ra. yang
kurang lebih artinya:
Rasulullah Saw bersabda: "Ada empat
hal yang termasuk sunnah para Nabi: Malu, memakai, wangi-wangian, bersiwak dan
menikah"
Kedudukan
pernikah sebagai sunnah nabi menunjukkan betapa pentingnya pernikahan itu.
Bahkan nabi sendiri melarang keras seorang muslim untuk hidup membujang,
sebagaimana sabda beliau ketika ada laki-laki yang memilih membujang agar bisa
memaksimalkan hidupnya untuk ibadah yang kurang lebih artinya:
“Saya adalah
orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepadaNya, namun saya
melakukan qiyamul lail, kadang pula juga tidak, saya berpuasa, dan saya juga
berbuka, dan saya juga menikahi perempuan. maka barangsiapa tidak suka kepada
sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR Bukhari)
Al-Bukhari
meriwayatkan pula sebuah hadis yang menerangkan bahwa buruk-buruknya seorang
muslim adalah yang hidup membujang:
Rasulullah SAW.
bersabda : "Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan
sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah" (HR. Bukhari)
Dan juga hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Tabrani yang artinya kurang lebih:
Diantara kamu
semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua
yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang (HR. Abu Ya’la dan Thabrani)
Kedudukan nikah
sebagai sunnah yang sangat ditekankan Rasulullah sebenarnya tidak lain adalah
bertujuan untuk memelihara setiap muslim dalam menjalin hubungan antara lawan
jenis. Menjaga mereka agar tidak jatuh kelembah kenistaan dikarenakan melakukan
hubungan bebas tanpa ikatan serta menjaga garis keturunannya agar keturunannya
kelak dapat lahir dengan terhormat.
Selain tujuan
tersebut, didalam matan hadis diatas disebutkan pula bahwa Rasulullah senang jika kita membantunya untuk
memperbanyak umatnya. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa tujuan yang lain
dari pernikahan sesama muslim adalah untuk memperbanyak umat muslim itu
sendiri. Pernyataan ini senada dengan hadis Rasulullah yang lain yang kurang
lebih artinya:
Rasulullah
Saw bersabda: "Nikahilah wanita-wanita yang subur dan penyayang, karena
aku berlomba dengan para nabi (untuk menjadi) nabi paling banyak ummatnya kelak
pada hari Kiamat" (HR. Abu Dawud).
E. Kategori Pemilihan Jodoh
Hadits Abu Hurairah tentang
kategori pemilihan jodoh
حدثنا
مسدّد, حدثنا يحي, عن عبيدالله قال حدثني سعيد بن أبي سعيد عن أبيه عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لارْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا
وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ [13]
Diberitahukan
dari Musaddad dari Yahya dari Ubaidillah dia berkata Sa’id bin Abi Sa’id
memberitahukan saya sebuah hadis dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. dari nabi
saw. beliau bersabda “ wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya,
karena derajat kedudukannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka
menangkanlah (carilah) yang mempunyai agama, (yang demikian itu) yang
dibutuhkan oleh kedua tanganmu (yang dapat menolongmu)” (HR. Bukhari)
“tunkahul mar’ah li arba’ ” bukan
berarti bahwa empat criteria yang disebutkan didalam hadis diatas merupakan
empat criteria yang dianjurkan Rasulullah kepada seorang muslim ketika akan
memilih jodohnya. Namun maksud dari lafadz diatas adalah Rasulullah
memberitahukan bahwa empat hal yang menjadi kebiasaan laki-laki ketika memilih
perempuan.[14]
“Hasab”
artinya derajat wanita tersebut. Yang dimaksud yakni garis keturunan yang
dimuliakan oleh orang-orang (keturunan bangsawan).[15]
“Taribat yadaaka” sebagian
mufassir hadis mengartikan “iftaqarat yadaaka”, artinya membutuhkan.
Yakni bahwa wanita yang memiliki agama (akhlak) yang baiklah yang kelak akan
kita butuhkan,[16]
karena wanita shalihah selalu senantiasa bersedia menemani dan menjaga
kehormatan sang suami bagaimanapun keadaannya.
Namun ada keterangan yang menafsiri taribat
yadaak adalah seabuah majaz yang berarti “puas” yakni berdasarkan
pemaknaan kata taribat berasal dari kata “turaab” yang artinya
debu. Sehingga logikanya bahwa orang yang tangan berdebu setelah bekerja akan
menepuk-nepukkan tangannya ketika pekerjaan tersebut telah selesai. Kebiasaan
seseoarang pekerja yang menepuk-nepukkan tangannya setelah selesai bekerja
biasanya merupakan ungkapan kepuasaannya atas keberhasilnya dalam bekerja.
Sehingga dalam hal ini pengibaratan kepuasan orang yang dapat menikahi seorang
wanita karena agamanya dapat diibaratkan
sebagaimana seorang pekerja yang puas karena telah berhasil menyelesaikan
tugasnya.
Dari hadis diatas dapat kita pahami
bahwa sudah menjadi rumusan bagi seorang laki-laki memilih wanita adalah
berdasarkan salah satu dari empat hal, yaitu:
1. Hartanya
Berkaitan
dengan criteria ini nabi saw. pernah bersabda yang artinya:
“Barang
siapa menikahi wanita karena hartanya maka tidak akan bertambah baginya kecuali
kefakiran”[17]
2. Derajat
(kemuliaan) keluarganya.
Lelaki
yang menikahi seorang perempuan berdasarkan kemuliaan saja ini pun dihinakan oleh nabi sebagaimana sabdanya:
“barang
siapa menikah wanita karena kemuliaannya maka tidak akan bertambah baginya
kecuali kehinaan”[18]
3. Kecantikannya
Kecantikan
yang dimiliki oleh perempuan kadangkala malah menjadi boomerang bagi si suami.
Karena kadang kebagusan rupa seorang istri dapat menimbulkan fitnah bagi si
suami apabila si istri tidak dapat menjaga dirinya. Berkitan dengan hal ini
rasulullah pernah bersabda:[19]
“Janganlah
kamu menikahi perempuan karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan
menimbulkan kerusakan atas dirinya sendiri. Dan jangan kamu menikahi perempuan
karena hartanya, bisa jadi hartanya akan membuatnya sombong. Akan tetapi
nikahilah mereka karena agamanya. Sesungguhnya hamba sahaya hitam yang baik
agamanya adalah lebih baik” (HR. Baehaqi)
4. Agamanya
(akhlaknya)
Dari
keempat kriteria diatas, memilih perempuan untuk dinikahi berdasar agamanya
adalah yang dianjurkan oleh nabi saw. Hal ini senada dengan tujuan pernikahan
yakni untuk menghasilkan keturunan yang baik pula, yang mana kelak akan menjadi
penerus perjuangan agama Islam. Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud
oleh rasulullah sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena
itu, buah yang akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula.
Al
Ghazali dalam Ihya’ berkata “nabi menyuruh kita mencari yang beragama
bukan maknanya Nabi melarang kita untuk mencari yang cantik, tetapi yang
dilarang yaitu mengutamakan yang cantik daripada yang beragama”[20]
F.
Tujuan Pernikahan
Dari
uraian ketiga hadis diatas setidaknya kami selaku pemakalah dapat menyimpulkan bahwa diantara tujuan
pernikahan didalam Islam yaitu:
1.
Melaksanakan perintah Allah dan
Sunnah Rasul.
2.
Ketenangan Jiwa dengan memelihara
kehormatan diri (menghindarkan diri dari perbuatan maksiat / perilaku hina
lainnya).
3.
Melanjutkan generasi muslim
sebagai pengemban risalah Islam.
4.
Mewujudkan keluarga Muslim menuju
masyarakat Muslim.
5.
Agar kaya (sebaik-baik kekayaan
adalah isteri yang shalihat).
G. Penutup
Demikianlah makalah penjelasan tentang hadis-hadis pernikahan, Tentunya
banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
kritik serta saran yang konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan, terutama dosen pengampu mata kuliah
ini, untuk membenahi kesalahan yang kami
lakukan sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia
merupakan tempat salah dan lupa, karena semua kebaikan datangnya dari Allah, maka
kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para
pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua dimasa
mendatang.
Daftar
Pustaka
Abdurrahaman, Jarizi al-, al fiqh ‘Ala
Madzahibil Arba’ah, juz IV, Mesir, 1969.
Bukhari, Abu Abdullah Muhamad bin Ismail al-,
Shahih Bukhari (E-book
tar_iEz@collection), Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software
Darusmanwiati, Aep Syaifullah, Serial Fiqh
Munakahat (E-Book Makalah Pengajian Hari Sabtu Sekolah Indonesia Cairo)
ibnu Hajaj, Abu Husain Muslim, Shahih Muslim
(E-book tar_iEz@collection), Natata
eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright
2002-2003 Natata Software
ibnu Hajaj, Abu Husain Muslim, Shahih Muslim bi
syarhihi al-Musamma Ikmal al-ikmal al-mu’allim juz 5, Dar al-Kitab
al-Ilmiyah: Beirut, 1993
ibnu Majah, Abu Abdullah Muhamad, Sunan
ibnu Majah (E-book tar_iEz@collection),
Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright
2002-2003 Natata Software
Khazraji, Abu Yahya Zakaria al-, Fatkh al-Alam,
Da al-Kitab: Beirut, tt
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina
Utama Semarang, 1993
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi As-, Mutiara
Hadits 5, Semarang: PT. Pustaka rizki Putra, 2003
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia cet III, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009
[1] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang:
Dina Utama Semarang, 1993), hal 1
[2]
Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia cet III, (Jakarta:Kencana
Prenada Media Group, 2009), hal 37
[3] Jarizi Al Abdurrahaman, al fiqh ‘Ala
Madzahibil Arba’ah, juz IV, Mesir, 1969. Hlm. 1-3
[4]
Abu Husain Muslim ibnu Hajaj, Shahih Muslim (E-book tar_iEz@collection), Natata eBook
Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software,
no. 3466
[5] Teungku
Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, Mutiara Hadits 5, (Semarang: PT. Pustaka
rizki Putra, 2003), hal 5
[6]
Amir syarifuddin, op. cit hal. 44
[7]Ibid
[8]
Abu Husain Muslim ibnu Hajaj, Shahih Muslim bi syarhihi al-Musamma Ikmal
al-ikmal al-mu’allim juz 5, Dar al-Kitab al-Ilmiyah: Beirut, 1993, hlm. 9
[9]
Abu Yahya Zakaria al-Khazraji, Fatkh al-Alam, Da al-Kitab: Beirut, tt,
hlm. 511
[10] Ibid,
hlm. 150
[11]
Abu Abdullah Muhamad ibnu Majah, Sunan ibnu Majah (E-book tar_iEz@collection), Natata eBook
Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software,
no. 1919
[12]
Aep Syaifullah Darusmanwiati, Serial Fiqh Munakahat (E-Book Makalah
Pengajian Hari Sabtu Sekolah Indonesia Cairo), hlm. 2
[13]
Abu Abdullah Muhamad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (E-book tar_iEz@collection), Natata eBook
Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software,
no. 5146
[14]
Abu Yahya Zakaria al-Khazraji, Op.Cit, hlm. 513
[15] Ibid
[16] Ibid
[17]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta : al Thahiriyah, 1976), hlm.
357
[18] Ibid,
hlm. 358
[19] Ibid
[20]
Teungku Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 486
Tidak ada komentar:
Posting Komentar