FARIDHAT AL-SHIYAM
(Tafsir surat al-Baqarah ayat 183-187)
(Tafsir surat al-Baqarah ayat 183-187)
I.
Pendahuluan
Puasa
bulan ramadhan termasuk salah satu dari lima rukun islam. Dalam bahasa arab
disebut shiyam atau shaum, yang pokok artinya ialah menahan.
Didalam peraturan syara’ dijelaskan bahwasaanya shiyam menahan makan dan
minum dan bersetubuh suami istri waktu fajar sampai waktu magrib, karena
menjunjung tinggi perintah Allah. Maka setelah nenek moyang kita memeluk agama
islam kita pakailah kata puasa buat menjadi arti dari pada shiyam itu.
Karena memang sejak agama yang dipeluk terlebih dahulu, peraturan puasa itu
telah ada juga.
Perintah kewajiban puasa bagi umat muslim di dalam kitab
suci Al-Qur’an setidaknya telah tertulis secara jelas pada dua ayat dari surat
Al-Baqarah yaitu ayat 183 sampai dengan ayat 187.
Al-Baqarah ayat 183 menjelaskan secara gamblang bahwa
diwajibkan bagi setiap muslim yang beriman untuk menjalankan ibadah puasa
sebagaimana telah diwajibkan ibadah puasa tersebut kepada umat-umat nabi
sebelum nabi Muhamad SAW. Namun di dalam ayat ini belum dijelaskan apakah puasa
itu dilakukan selamanya atau pada hari-hari tertentu saja, dan apakah puasa itu
sama persis seperti puasa umat-umat terdahulu atau berbeda.
Barulah di ayat 184 di terangkan bahwa puasa tersebut
dilaksanakan pada beberapa hari khusus dengan pengecualian bagi beberapa orang.
Kemudian pada ayat 185 barulah dijelaskan bahwa beberapa hari khusus yang
dimaksud yaitu bulan Ramadhan. Sehingga jelaslah bagi kita kaum muslimin
mengenai kewajiban puasa Ramadhan.
Pada kesempatan kali ini, kami para pemakalah akan
mencoba membahas mengenai kandungan yang terdapat di dalam surat al-Baqarah
ayat 183-187 khususnya yaitu pada pembahasan “faridhat al-shiyaam” (kewajiban
puasa).
II.
Pembahasan
A.
Ayat-ayat
al Qur’an
ARTINYA:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari
yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu Mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah
Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.[1]
B.
Makna
Lafadh
فُرِضَ
=كُتِب
Artinya: diwajibkan/
difardhukan
الْمَعَاصِي فَإِنَّهُ يَكْسِر
الشَّهْوَة الَّتِي هِيَ مَبْدَؤُهَا = "لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ"
Artinya :( agar
kamu bertaqwa) maksudnya menjaga dirimu dari maksiat, kaena puasa itu dapat
membendung syahwat yang menjadi pangkal dan biang keladi maksiat itu.
"أَيَّامًا"
نُصِبَ بِالصِّيَامِ أَوْ يَصُومُوا مُقَدَّرًا
Artinya :( beberapa
hari) manshub sebagai maf’ul dan fi’il amar yang bunyinya diperkirakan shiyam
atau shaum.
"مَعْدُودَات"
أَيْ قَلَائِل أَوْ مُؤَقَّتَات بِعَدَدٍ مَعْلُوم وَهِيَ رَمَضَان كَمَا
سَيَأْتِي وَقَلَّلَهُ تَسْهِيلًا عَلَى الْمُكَلَّفِين
Artinya : Berbilang
maksudnya yang sedikit atau ditentukan waktunya dengan bilangan yang diketahui,
yakni selama bulan ramadhan. Dikatakannya yang sedikit untuk memudahkan bagi
mukallaf.
"فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ" حِين شُهُوده
(Maka barang siapa
diantara kamu) yakni sewaktu kehadiran hari-hari
itu
"مَرِيضًا
أَوْ عَلَى سَفَر" أَيْ مُسَافِرًا سَفَر الْقَصْر وَأَجْهَدَهُ الصَّوْم فِي
الْحَالَيْنِ فَأَفْطَرَ
(sakit atau dalam
perjalanan) maksudnya perjalanan untuk waktu
singkat, bukan untuk merantau lama, dan sulit baginya untuk mengerjakan puasa
dalam kedua situasi tersebut lalu ia berbuka.
"فَعِدَّة" فَعَلَيْهِ عِدَّة مَا أَفْطَرَ
(maka hendaklah
dihitungnya) berapa hari ia berbuka, lalu
berpuasalah sebagai gantinya.
"وَعَلَى الَّذِينَ" لَا
"يُطِيقُونَهُ" لِكِبَرٍ أَوْ مَرَض لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ
(dan bagi orang-orang
yang tidak sanggup melakukannya) disebabkan usia lanjut
atau penyakit yang tak ada harapan untuk sembuh
"فِدْيَة" هِيَ "طَعَام
مِسْكِين"
(maka hendaklah
membayar fidyah) yaitu (memberi makan orang
miskin) artinya sebanyak makanan seorang miskin tiap hari yaitu satu gantang
(mud) dari makanan pokok penduduk negeri.
"فَمَنْ
شَهِدَ" حَضَرَ "
(maka barang siapa yang
menyaksikan ) artinya hadir
مِنْكُمْ الشَّهْر فَلْيَصُمْهُ
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَر فَعِدَّة مِنْ أَيَّام أُخَر"
تَقَدَّمَ مِثْله وَكُرِّرَ لِئَلَّا يُتَوَهَّم نَسْخه بِتَعْمِيمِ مَنْ شَهِدَ
(barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain) sebagaimana telah
diterangkan terdahulu. Diulang-ulang agar jangan timbul dugaan adanya naskh
dengan diumumkannya “menyaksikan bulan”
"أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَة الصِّيَام الرَّفَث" بِمَعْنَى الْإِفْضَاء
(dihalalkan bagimu pada
malam hari puasa berkencan dengan istri-istrimu)
maksudnya mencampuri mereka.
"هُنَّ
لِبَاس لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاس لَهُنَّ" كِنَايَة عَنْ تَعَانُقهمَا أَوْ
احْتِيَاج كُلّ مِنْهُمَا إلَى صَاحِبه "
(mereka itu pakaian
bagimu dan kamu pakaian bagi mereka) sindiran bahwa kedua
mereka saling membutuhkan dan bergantung.
"وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا" اللَّيْل كُلّه
(makan dan minumlah) sepanjang
malam itu
"حَتَّى يَتَبَيَّن" يَظْهَر
(hingga nyata)
atau jelas
"لَكُمْ الْخَيْط الْأَبْيَض مِنْ الْخَيْط
الْأَسْوَد مِنْ الْفَجْر" أَيْ الصَّادِق بَيَان لِلْخَيْطِ الْأَبْيَض
وَبَيَان الْأَسْوَد مَحْذُوف أَيْ مِنْ اللَّيْل شِبْه مَا يَبْدُو .
(bagimu benang putih
dan benang hitam berupa fajar shadiq), sebagai penjalasan
bagi benang putih, sedangkan penjelasan bagi benang hitam dibuang yaitu malam
hari. Fajar itu tak ubahnya seperti warna putih bercampur warna hitam yang
memanjang dengan dua buah garis berwarna putih dan hitam. [2]
C.
Asbabun Nuzul
Al-Baqarah 184
Diterangkan
oleh ibn sa’ad dalam thabaqatnya, dari Mujahid katanya: ayat ini diturunkan
mengenai majikan dari Qis bin Saib (yang sudah sangat lanjut usia ) “Dan bagi
orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah yaitu memberi makan
seorang miskin”(al-Baqarah : 184). Lalu ia berbuka dan
memberi makan seorang miskin untuk setiap hari Ramadhan yang tidak
dipuasakannya.
Al-Baqarah 186
Ibnu jarir
al-tabbari dan ulama lain mengeluarkan hadits dari muawiyyah bin haidah dari
bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: seorang arab badui datang kepada Nabi
SAW, kemudian dia bertanya: dekatkah tuhan kita? Kalau dekat, Maka kita hendak
berbisik dengan-Nya, ataukah jauh? Maka kita hendak memanggil-Nya, kemudian
Nabi diam sejenak, lalu turun ayat[3]
“wa idza saalaka ‘ibadi ‘anni fa inni qarib...
Diriwayatkan
seorang Baduwi bertanya, “Ya Rasulullah, Tuhan itu dekat sehingga dapat
berbisik kepada-Nya atau jauh sehingga harus kita panggil?” Nabi
SAW, diam sejenak, tiba-tiba Allah menurunkan ayat ini. (HR Inbu Abi Hatim)[4]
Sengaja Allah meletakkan ayat ini (Ayat 186) di
tengah-tengah ayat puasa, sebagai tuntunan anjuran supaya rajin berdoa ketika
selesai bilangan puasa bahkan pada tiap berbuka puasa, sebagaimana riwayat dari
Abdullah bin Amr RA. Yang mengatakan, “ saya mendengar Rasulullah bersabda :’Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa
ketika berbuka tersedia doa yang tidak akan ditolak.’(HR Ibnu Majah dan Abu
Dawud).[5]
Al-Baqarah 187
Ahmad bin
Hanbal, Abu Dawud, dan Hakim, mengeluarkan hadits dari Mu’adz bin Jabal, dia
berkata: mereka (para sahabat Nabi) makan, minum dan berhubungan intim dengan
istri-istrinya sebelum tidur, ketika telah tidur mereka mencegahnya, kemudian
ada yang bilang kepada seorang laki-laki dari kaum anshor: qais bin shirmah
telah shalat isya, kemudian dia tidur, belum makan, belum pula minum hingga
subuh, kemudian dia merasa payah, dan Umar berhubungan intim dengan istrinya
setelah ia tidur, kemudian datang kepada Nabi SAW lalu menceritakan kejadian
tersebut, lalu Allah menurunkan ayat[6]” uhilla lakum lailata al-shiyami al-rofatsu....
Ayat ini
menunjukkan bahwa ketika diwajibkan berpuasa, lalu mengalami permasalahan, maka
para sahabat berijtihad dengan pendapatnya secara lebih hati-hati dan lebih
dekat kepada ketakwaan, sehingga turunlah ayat ini.
D.
Wujuh Al-Qiraat
1. Qiraah jumhur
ulama (وَعَلَى
الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَه), sedangkan menurut qiraah Ibnu
Abbas adalah (يُطَوَّقُوْنه)
padanan kata dari (يُكَلَّفونه) yang artinya “yang dibebani/yang
kenai kewajiban suatu hukum”.[7]
2. Qiraah jumhur
ulama (فدية طعامُ
مسكين), sedangkan menurut qiraah Nafi’ bin Amir adalah (فدية طعامِ مساكين) yaitu dengan membaca jamak kata
(مسكين), dan dengan menjadikan idhofah
kata (فدية) dengan kata (طعامِ).[8]
3. Qiraah jumhur
ulama (فمَنْ
تَطَوَّعَ), sedangkan menurut qiraah Hamzah dan Kisa’i adalah (فمَنْ تَطَوَّعْ) yaitu kata تَطَوَّعْ dibaca Jazm, dan dibaca (فمَنَّ يطَوَّعَ) sehingga kata يطَوَّعَ adalah Mudhari’.[9]
4. Qiraah jumhur
ulama (وَلِتُكْمِلُوْا
العدّةَ), sedangkan menurut qiraah Abu Bakar dari Asim yaitu (ولِتُكَمِّلُوْا)[10]
E.
Wujuh al-I’rab
1.
Al-Baqarah 183
Huruf “kaf” berfungsi sebagai tasbih (permisalan) dan
merupakan sifat dari masdar makhduf (masdar yang dihilangkan), dan
huruf “maa” adalah maa masdariyah sehingga taqdir jumlah diatas
yaitu diwajibkan atas kalian (orang-orang mukmin) sebagai kewajiban sebagaimana
yang telah kewajiban puasa orang-orang (umat) sebelum kalian.[11]
2.
Al-Baqarah 184
Menurut Zujaj: “mansubnya dharf dalam jumlah
diatas seakan mengatakan bahwa diwajibkan bagi kalian di dalam hari-hari
tersebut menunaikan ibadah puasa”.
Sedangkan menurut al-Akbiri : “tidak diperkenankan memansubkan
dharf, kecuali kedudukannya sebagai maf’ul bih, karena masdar
apabila disifati maka tidak akan berfungsi. Sehingga hendaknya takdir
amil adalah makhduf ”.[12]
3.
Al-Baqarah 184
Kata “an tasuumu” berada di posisi raf’ul
mubtada’ dan kata “khaira” merupakan khabarnya. Taqdirnya
yaitu puasamu adalah lebih baik bagimu. Dan kata “wa in kuntum ta’malun”
merupakan syart yang dihilangkan darinya jawab sebagai dalalah
kata sebelumnya.[13]
4.
Al-Baqarah 185
Kata “as-Syahru” dibaca nasb, dan begitu pula huruf “ha”
dalam jumlah “falyasumhu”. Sehingga musafir yang menyaksikan datangnya
bulan tetap dimasukkan ke dalam arti kata “man”.[14]
F.
Makna Ijmali
1.
Pengertian
Puasa
menurut pengertian bahasa adalah menahan diri, meninggalkan, menutup diri dari
segala sesuatu, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, dari makanan atau
minuman.[15]
Puasa
Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan atas setiap muslim, baik
laki-laki maupun perempuan. Puasa ini diwajibkan sekali setahun selama sebulan,
pada bulan Ramadhan.
2.
Sejarah Puasa
Puasa
itu pada mulanya diwajibkan sebagaimana umat-umat yang dahulu pada tiap bulan
selama tiga hari sejak zaman Nabi Nuh AS sehingga dimansukhkan oleh Allah
dengan puasa bulan Ramadhan.[16]
Puasa
Ramadhan mulai diwajibkan pada hari Senin, tanggal 2 Sya’ban tahun ke-2
Hijriah. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan mulai diwajibkan setelah Nabi
berhijrah ke Madinah. Sebelum diturunkan kewajiban berpuasa itu tidak berarti
bahwa mereka tidak pernah melakukan puasa. Ketika baru tiba di Madinah,
Rasulullah memerintahkan kaum Muslilmin untuk berpuasa 3 hari dalam sebulan.
Namun setelah turunnya kewajiban berpuasa Ramadhan, maka yang diwajibkan atas
orang beriman hanyalah puasa Ramadhan.[17]
G.
Ahkam Syariah
Pada
hadits Thalhah bin Ubaidillah disebutkan bhwa seorang lelaki bertanya kepada
Nabi Muhammad SAW.[18]
:
“Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku puasa yang diwajibkan Allah atas
diriku, Nabi SAW. Bersabda : ‘Puasa Ramadhan.’ Tanya lelaki itu lagi, ‘apakah
ada lagi yang wajib atasku ?’ Rasulullah bersabda, ‘Tidak, kecuali engkau
berpuasa sunnah.”
1)
Rukun Puasa[19]
Ada dua rukun puasa
yang merupakan unsur terpenting, yaitu :
a)
Menahan diri dari
segala hal yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
b)
Berpuasa pada waktunya
(bulan Ramadhan)
c)
Berniat, seperti sabda
rasulullah SAW, ‘Barang siapa yang tidak
membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya”.(HR
Ahmad dan ash-habus Sunan, dan dinyatakan sah oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban.
2)
Syarat Puasa[20]
Syarat wajib puasa ; Islam, balig, berakal, mampu
berpuasa, mengetahui wajibnya puasa, sehat, muqim. Sedangkan syarat sahnya
adalah orang yang waras, bersih dari haid dan nifas, sesuai dengan waktu yang
ditentukan untuk berpuasa, niat.
H.
Tafsir Ayat
1)
Ayat 183-184
Dalam
ayat ini Allah memanggil umat beriman untuk berpuasa. Kewajiban ini juga telah
diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu guna mencapai takwa yang
sesungguhnya. Dalam puasa ada tuntunan untuk mempersempit pengaruh setan. Sabda
Nabi SAW.
Abdullah
bin Umar mengatakan bahwa Rasulullah SAW, bersabda : “Berpuasa bulan Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah kepada umat-umat
sebelummu (Ahlul kitab).” (HR Ibnu Abi Hatim).[21]
Kemudian
diterangkan hukum puasa pada permulaannya, siapa yang dalam keadaan sakit atau
musafir, mereka tidak berpuasa, hanya saja hars qadha menurut bilangan hari
yang ia tidak puasa.
Adapun perubahan puasa
yaitu ketika Nabi hijrah ke Madinah, awalnya tiap bulan 3 hari, berpuasa Asyura
juga. Kemudian turunlah ayat yang mewajibkan puasa.
Wa’alalladzina
yuthiqunahu, dalam tafsir jalalain,
mengira-ngirakan la pada lafadz yuthiqunahu, yakni ay la
yuthiqunahu[22] (bagi orang yang tak
mampu puasa). Tidak ada kepastian pembuangan la pada lafadz tersebut,
sebab sebenarnya makna yuthiqunahu adalah orang yang mampu berpuasa
namun disertai dengan sangat kepayahan/kesusahan, seperti orang tua yang pikun,
ibu hamil, menyusui, mereka sebenarnya mampu berpuasa namun terasa berat lagi
menambah beban. al-Thoqoh merupakan sebutan bagi orang yang mampu
melaksanakan sesuatu dengan disertai kepayahan dan keberatan[23]
Ulama sepakat bahwa
musafir dengan tujuan ta’at (bukan maksiyat) seperti haji, jihad, silaturrahmi,
mencari kebutuhan kewajiban hidup, berdagang, dan hal-hal lain yang
diperbolehkan, baginya boleh tidak
berpuasa. Namun menurut madzhab hanafi bepergian tujuan maksiyat pun boleh
tidak berpuasa, sebab hakikat safar itu sendiri bukan perbuatan maksiyat, akan
tetapi maksiyat itu terjadi setelah bepergian(sampai tujuan) atau ketika dalam
perjalanannya, maka dari itu tidak menimbulkan efek apapun jika mendapat
rukhsah qashar. Sebab orang tersebut sedikit bertobat ketika
mengingat nikmat Allah yang tercurah padanya yakni kemurahan-Nya memperbolehkan
ifthor, qashar, dan lain-lain.[24]
Jika seseorang meninggalkan puasa karena
‘udzur/tidak, kemudian ia tidak segera mengganti puasa tersebut di hari lain
hingga datang ramadlan berikutnya, maka menurut pendapat mayoritas ulama ia
terkena kafarat yakni memberi makanan terhadap orang miskin/fakir, 1
hari 1 mud.
Menurut imam Abu hanifah tidak ada kafarat
baginya, karena mengamalkan secara tekstual ayat “ fa’iddatun min
ayyamin ukhar. Sedangkan dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama
ialah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Daruqutni dengan sanad shahih, dari
abi hurairah mengenai orang yang tidak mempedulikan ( jawa-sembrono) dalam
mengqadla puasa ramadlan hingga datang ramadlan berikutnya, kemudian bersabda;
orang tersebut sekarang (bulan ramadlan ini) berpuasa bersama-sama dengan orang
lain, dan nanti berpuasa mengganti puasa yang pernah ia tinggalkan, dan memberi makanan pada fakir
miskin tiap 1 hari 1 mud.[25]
2)
Ayat 185
Ketetapan
wajib puasa bagi orang mukim, yang sehat, sedang tidak berpuasa hanya bagi
orang sakit dan musafir, dan memberi makan itu hanya bagi orang tua yang
benar-benar tidak kuat berpuasa baru ia memberi makan untuk tiap harinya kepada
orang miskin.
Ibnu
Umar juga menyatakan bahwa ayat 184 dimansukhkan oleh ayat 185, Ibnu Abi Laila
berkata : “ saya masuk ke tempat Atha’ di bulan Ramadhan sedang ia makan, lalu
Ibnu Abbas berkata, ‘Ayat 185 memansukhkan ayat 185 kecuali bagi orang tua yang
tidak sanggup lagi berpuasa maka boleh membayar fidyah untuk tiap hari memberi
makan seorang miskin.’[26]
Kesimpulannya
ayat 184 tetap mansukh terhadap orang sehat kuat dan tidak musafir, adapun
terhadap orang tua yang tidak kuat puasa boleh mebayar fidyah memberi makan
tiap hari pada seoarng miskin. Sebab baginya tidak ada harapan untuk bisa kuat
kembali.
Dalam
ayat 185, Allah memuji bulan ramadhan yang terpilih untuk turunnya Al-Qur’an,
bahkan kita-kitab Allah yang diturunkan pada Nabi-nabi juga diturunkan di bulan
Ramadhan.[27]
Perintah
berbuka dalam bepergian itu sukarela. Hamzah bin Amr al-Islami berkata, “Ya
Rasulullah aku sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam bepergian ?”
jawab Nabi SAW. “ Terserah kepadamu, jika suka boleh berpuasa, jika tidak suka
boleh berbuka”. ( Bukhari, Muslim).[28]
3)
Ayat 187
Allah ta’ala telah
menjadikan fajar batas bolehnya makan, minum dan jimak bagi orang yang
berpuasa, maka dijadikan dalil bahwa seorang yang pada saat fajar itu
berjanabat maka dia harus mandi dan meneruskan puasanya, tanpa dosa,
demikianlah pendapat dari empat mazhab dan jumhurul ulama’, berdasarkan hadis
riwayat Aisyah dan Ummu Salamah RA, yang kedua-keduanya berkata, “Adanya Nabi
SAW berpagi-pagi janabat karena telah berjimak bukan ihtilam, kemudian langsung
mandi dan berpuasa. (HR Bukhari, Muslim)[29]
III.
Penutup
Demikian Makalah kami yang membahas tentang tafsir surat al-Baqarah
ayat 183-187 mengenai Faridhat al-Shiyaam. Tentunya masih banyak
kekurangan dalam makalah kami ini. Oleh karena itu, koreksi dan saran dari
pembaca sekalian sangatlah kami harapkan sebagai modal perbaikan makalah kami
selanjutnya dikemudian hari.
Semoga makalah kami ini sedikit banyak dapat membawa
manfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wallahu ’alamu bis-Shawaab
IV.
Daftar Pustaka
Bahreisy,
Salim dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987
Hamka, Tafsir al- Azhar juz II, Jakarta
: Panji Masyarakat, 1982
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta : Panji Masyarakat, 1982
Khawarizmi, Abi
al-Qasim jarullah mahmud bin umar al-Zamahsyari al-, al-kassyaf an haqaiqi al-tanzil wa ‘uyun
al-aqawil fi wujuhi al-ta’wil, beirut: dar al-fikr
Mahalli,
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abi Bakr
al-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim “Tafsir Jalalain”,
Surabaya: Dar-al ‘Abidin
Mahally, Imam Jalaludin al- dan imam
Jalaludin as-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul ,
Bandung : Penerbit Sinar Baru
Raya, Ahmad Thib dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta
: Prenada Media, 2003
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007
Shabuni, Ali
al-, Shofwat al-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 1
____________, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an,
Beirut: Dar Ibnu Abbud, 2004
Zuhaili,
Wahbah, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, Jilid 1
[1] Hamka, Tafsir al- Azhar juz II, Jakarta
: Panji Masyarakat, 1982, hal 126-140
[2]
Imam Jalaludin al-Mahally dan imam Jalaludin as-Suyuthi, Terjemah Tafsir
Jalalain Berikut Asbabun Nuzul , Bandung : Penerbit Sinar Baru, hal
96-100
[3] Abi al-Qasim jarullah mahmud bin umar
al-Zamahsyari al-khawarizmi, al-kassyaf
an haqaiqi al-tanzil wa ‘uyun al-aqawil fi wujuhi al-ta’wil, beirut: dar al-fikr,
hlm. 515
[4]
Ibid. Hlm. 320
[5] Ibid. Hlm.
323
[6]
ibid
[7]
Muhamad Ali Al-Shabuni, Tafsir
Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an, Beirut: Dar Ibnu Abbud, 2004, hlm. 137
[8]
Ibid
[9]
Ibid
[10]
Ibid
[11]
Ibid
[13]
Ibid
[14]
Ibid
[15]
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami
Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media, 2003, hlm. 211
[16]
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987, hlm. 313
[17] Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Op. Cit. hlm. 212
[18]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta :
Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 29
[19]
Ibid, hlm. 34
[20]
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Op.
Cit. hlm. 216
[21]
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op.
Cit. hlm. 313
[22] Jalaluddin Muhammad bin
Ahmad al-Mahalli, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tafsir
al-Qur’an al-Adzim “Tafsir Jalalain”, Surabaya: Dar-al ‘Abidin,
Hlm. 26.
[23] Ali al-Shabuni, Shofwat al-Tafasir,
Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 1,
Hlm. 123
[24]Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Beirut: Dar
al-Fikr, 2005, Jilid 1, Hlm. 504
[25] Ibid, Hlm. 505
[26]
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op.
Cit. hlm..316
[27]
Ibid. Hlm. 318
[28]
Log. cit
[29]
Ibid. Hlm. 328
Terima kasih, pekerjaan bagus kawan.
BalasHapusalhamdulillah sedikit membantu
BalasHapuskalo mau nanya-nanya dan konsultasi lewat apa ya kx,?
BalasHapus