Global Variables

Rabu, 25 April 2012

MASYARAKAT MADANI

BAB I
PENDAHULUAN
Membangun masyarakat peradaban merupakan salah satu langkah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Ali Imran:146). Inilah hablun min Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.
Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi (RN Bellah Ed. Beyond Belief {New York : Harper & Row, edisi paperback, 1976} hh. 150-151).
Wacana masyarakat madani merupakan konsep dari penerjemahan istilah konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta yang menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban. Masyarakat madani merupakan suatu sistem sosial yang subur yang diazaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Oleh karena itu konsep ini mencakup komponen-komponen negara, pasar, sektor voluntir atau gerakan baru masyarakat serta individu dan keluarga. Semua komponen tersebut dituntut mengembangkan etos kerja dan kualitas pelayanan lebih baik dan memiliki sikap dan perilaku yang berintikan pengabdian yang utuh bagi masyarakat. Inilah harapan masyarakat madani yaitu masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera dalam suasana berkeadilan dilandasi oleh iman dan taqwa
Menurut Quraish Shihab, masyarakat madani telah dicerminkan oleh masyarakat Muslim awal yang disebut sebagai khoiru ummah karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang al-ma’ruf dan mencegah mungkar.
Maka, kita seharusnya mampu meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam artian mereka bersikap seimbang, tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah (masyarakat madani oleh masyarakat muslim awal) mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Akhir kata, Konsep civil society adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat dengan peradaban yang mengacu pada nila-nilai dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Wacana tentang masyarakat madani[1] di indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan merujuk sejarah perkembangan masyarakat sipil yang umumnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan lembaga negara yang dikenal dewasa ini. Di bawah ini beberapa istilah dan penggagas yang mengacu pada pengertian masyarakat sipil, sebagaimana yang dirumuskan oleh Dawam rahardjo[2]:
Asing
Indonesia

Koinonea politike
(aristoteles)
Societas civilis
(cicero)
Comonitas civilis
Societe civile
Comonitas politica
(tocquiville)
Burgerlishe gesellschaft
(hegel)
Civil society
(adam ferguson)
Civitas etat
Masyarakat sipil
(mansour fakih)
Masyarakat warga
(soetandyo wignyosubroto)
Masyarakat kewarganegaraan
(franz-magnis suseno dan M. Ryas rasyid)
Masyarakat madani
(anwar ibrahim,nurcholis madjid, M. Dawam rahardjo)
Civil society(tidak ditejemahkan)
(M.AS. hikam)




Untuk pertama kali istilah masyarakat madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, sebagaimana dikutip oleh Dawam Rahardjo, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama.menurutnya, dalam masyarakat madani, warga negara  bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara.
Menurut Azyumardi azra masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan bertamaddun (civility). Sejalan dengan pandangan diatas, Nurcholis Madjid menegaskan bahwa makna masyarakat madani berakar dari kata “civility” yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.
Selain itu, salah satu definisi yang populer dikemukakan oleh ST. Augustine. Menurutnya, masyarakat madani adalah sekumpulan orang yang disatukan oleh sebuah pertanyaan umum tentang hak atau keadilan dan sebuah komunitas kepentingan.[3]
Muhammad Syahrur juga memberikan definisi tentang masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang didalamnya menyimpan budaya umat dan teladan luhur dalam bentyukj yang alamiyah tanpa ada suatu paksaan, penyerahan suatu tugas dilaksanakan atas dasar kecakapan dan keterpercayaan, serta penjagaan atas kebebasan dan kemaslahatan setiap kelompok yang saling bertentangan.[4]
B.     Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani
Wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles (384-322 SM) yang memandang civil society sebagai suatu sistem kenegaraan yang identik dengan negara itu sendiri. Masyarakat madani juga dapat dipahami sebagai sistem kenegaraan yang diistilahkan dengan koinonia politike[5]. Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society. Madzhab pandangan Aristoteles kemudian dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero(106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 SM), dan John Locke (1632-1704 SM).
Fase kedua, pada tahun 1767 adam ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. Menurut ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihhilangkan. Ia yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme. Kekhawatiran Ferguson atas semakin menguatnya sikap individualisme dan berkurangnya tanggungjawab sosial masyarakat mewarnai pandangannya tentang civil society pada fase ini.
Fase ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada  1792 Thomas Paine memulai wacana civil society sebagai sesuatu  yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesa negara. Dengan demikian, negara harus dibatasi sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi keluasaan yang diberikan oleh  masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Karena ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh GWF. Hegel (1770-1831 SM), Karl Marx(1818-1883 SM), dan Antonio Gramsci (1891-1837 SM). Dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Menurut hegel civil society sebagai kelompok subordinatif dengan negara, lebih lanjut hegel menjelaskan bahwa dalam struktur civil society terdapat tiga entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil dan negara.[6] Berbeda dengan hegel, Karl Marx memandangnya sebagai borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis keberadaan civil society sebagai kendala besar bagi upaya pembebasan manusia  dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Menurut gramsci, civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap madzhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueivelle (1805-1859 M). Bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi amerika, pemikiran Tocqueville tentang civil society sebgai kelompok penyeimbang kekuatn negara. Menurut Tocqueille, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi rakyat amerika yang bercirikan plural, mandiri dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara dimana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.  
C.     Karakteristik Masyarakat Madani 
Berikut ini adalah beberapa karakteristik masyarakat madani[7]:
µ  Free public sphere (ruang publik yang bebas)[8], yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
µ  Demokratisasi (Sistem Demokrasi), yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokrasi secara umum adalah suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari dan warga Negara. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Pers yang bebas
Supremasi hukum
Perguruan Tinggi, termasuk didalamnya Mahasiswa
Partai politik
µ  Toleransi, merupakan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat.[9] Atau dalam artian kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat.
µ  Pluralisme, berarti sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.[10]
µ  Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
µ  Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut maka dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Maka, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, taken for granted. Akan tetapi masyarakat madani adalah konsep yang dinamis yang dibentuk dari proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang istiqomah.
D.    Mayarakat Madani di Indonesia
Potret sejarah Indonesia menunjukkan bahwa negeri Indonesia telah memiliki tradisi kuat civil society bahkan sebelum negara ini berdiri. Ini di motori oleh organisasi-organisasi Islam seperti Sarekat Islam, Nadhlatul Ulama' serta Muhammadiyah yang banyak berkiprah dalam memperjuangkan penegakan HAM dan perlawanan terhadap penjajah. Ormas-ormas itu telah menunjukkan perannya sebagai komponen civil society yang penting dalam perjalanan sejarah civil society di Indonesia.
Kalangan ahli memandang ada beberapa strategi untuk membangun masyarakat madani di Indonesia bias terwujud. Pertama, pandangan integrasi nasional dan politik. Kedua, pandangan reformasi system politik demokrasi dan ketiga, paradigm membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangun demokrasi.
Sementara menurut Dawam Raharjo, masyarakat madani di Indonesia di hasilkan dari system politik represif dimana sifat kritisnya lebih menonjol adri pada sifat konstruktifnya. Tidak heran apabila masyarakat lebih banyak menuntut dari pada ikut berperan terhadap pemecahan masalah, lebih banyak protes dari pada menawarkan solusi. Senada pula oleh As. Hikam, ia menyatakan bahwa konteks pengembangan demokrasi kenyataan ini merupakan tantangan mendesak untuk memperlancar proses demokratisasi.
Maka, tantangan masa depan demokrasi di negeri ini sekarang ialah bagaimana mendorong berlangsungnya proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan universal. Kita semua harus bahu membahu agar jiwa dan semangat kemanusiaan universal itu merasuk ke dalam jiwa setiap anak bangsa sehingga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, terdapat beberapa pokok pikiran penting dalam pandangan hidup demokrasi, yaitu: (1) pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme, (2) makna dan semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”, (3) mengurangi dominasi kepemimpinan sehingga terbiasa membuat keputusan sendiri dan mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif, (4) menjunjung tinggi moral dalam berdemokrasi (5) pemufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat, (6) terpenuhinya kebutuhan pokok; sandang, pangan, dan papan, dan (7) menjalin kerjasama dan sikap yang baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik masing-masing.
E.     Masyarakat Madani Dalam Islam
            Masyarakat Madani menurut Islam adalah masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip atau nila-nilai kehidupan bermasyarakat, yakni: al-amanah, al-adalah, al-ukhuwah, al-ta’addudiyah, al-musawah, al-syura, al-silm, dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-mungkar. Di samping itu, sebuah masyarakat ideal adalah masyarakat yang menjadikan syariah Islam sebagai pedoman dasar dalam hidup bermasyarakat.
Dalam sudut pandang Islam, tugas ini adalah menjadi tugas bersama, kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial  dan norma yang telah disepakati bersama. Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya adalah sikap tolong-menolong, saling menanggung dan memiliki solidaritas, sebagaimana dijelaskan dalam alqur’an yang berarti:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran: 110)
Tidaklah berlebihan apabila setiap muslim bahkan setiap orang bercita-cita demikian, asumsinya bahwa Tuhan yang Maha Tahu telah menjelaskan dasar-dasar pembentukan masyarakat ideal. Masyarakat ideal dalam pandangan Qur’an sebagai kalam Tuhan akan tercapai apabila persaudaraan dalam sesame warganya dapat tercapai. Persaudaraan yang dimaksud disini bukanlah hanya sebatas persaudaraan antar sesama muslim akan tetapi lebih jauh lagi adalah persaudaraan antar sesama umat beragama. Maka, sebuah ungkapan Ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai lebih mendalam. Artinya, persaudaraan tidak sebatas dengan sesame muslim, akan tetapi juga Ukhuwah ‘Ubudiyah (hubungan dengan Tuhan), Ukhuwah Insaniah (persaudaraan sesama manusia), Ukhuwah Wathaniyah wa al-Nasab (persaudaran sebangsa dan seketurunan) serta Ukhuwah fi Din Islam (persaudaraan antar sesame muslim).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani yang kadang disamakan  dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial.  Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.Dalam konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat madani sebagai terjemahan dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata ini secara etimologis mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata ‘madani’ berasal dari kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan banyaknya aktivitas, dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat peradaban, karena kata ‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang berarti ‘peradaban’.  Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
F.     Term Al-Quran yang menunjuk arti Masyarakat Madani.
1.      Ummatan Wahidah
Sebagaimana yang dijelaskan di antaranya pada QS. al-Baqarah/2: 213, Yunus/10: 19 dan Al-Maidah/5: 48 bahwasanya manusia dari dahulu merupakan Ummatan Wahidah, umat yang satu. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk social yang selalu membutuhkan orang lain sehingga harus selalu berinteraksi antar satu dengan yang lain untuk saling melengkapi.[11]
Akan tetapi, manusia kerap kali tidak bisa mengetahui bagaimana mereka memenuhi kemashlahatan mereka, ataupun mengatur hubungan dan menyelesaikan masalah di antara mereka. Maka, kedatangan Islam selain mengembalikan bangsa yang terpecah kepada kepercayaan yang murni juga membawa misi mempersatukan indivudu-individu dalam satu kesatuan masyarakat yang lebih besar atau di sebut dengan Ummatan Wahidah.
2.      Ummatan Wasathan
Dalam QS. Al-Baqarah/2: 143 Al-Quran menjelaskan bahwasanya kualifikasi umat yang baik adalah Ummatan Wasathan.[12] Ummatan Wasathan berarti umat yang berada pada posisi pertengahan atau moderat. Posisi moderat menjadikan masyarakat itu bersifat netral, tidak berat sebelah atau memiliki kecenderungan terhadap sesuatu, yang berarti ini mengajarkan manusia untuk bersifat adil. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan adalah untuk dapat menyaksikan dan menjadi saksi siapapun yakni umat lain.
3.      Ummatan Muqtashidah
Makna Ummatan Muqtashidah yang hanya disebutkan pada QS. Al-Maidah/5: 66 kurang lebih adalah sebagaimana makna dari Ummatan Wasathan yaitu umat yang bersifat moderat, bersifat pertengahan dalam melakukan agamanya. Tidak melebihkan serta tidak melalaikan. Artinya, tidak berpihak ke kiri dan ke kanan. Sehingga dapat mengantarkan manusia berlaku adil.[13]
4.      Khaira Ummah
Istilah Khoira Ummah berarti umat yang baik atau umat yang unggul. Kriterianya adalah pertama, menyeru kepada ma’ruf.  kedua, mencegah dari mungkar. Ketiga, beriman kepada Allah SWT. Istilah yang hanya disebutkan sekali dalam QS. Ali Imran/3: 10 tersebut oleh sebagian ulama ditafsirkanbahwa yang dimaksud umat pilihan adalah umat Islam.[14]
Istilah amar ma’ruf nahi mungkar menjadi sangat populer dan sering dijadikan slogan politik. Istilah itu sekarang memiliki arti khusus. Misalnya, berjuang melawan perjudian, korupsi, kolusi, dan nepotisme atau narkoba. Sehingga hal ini sangat dibutuhkan dalam membangun masyarakat madani. 
Baldatun Thayyibatun
Istilah Baldatun Thayyibatun[15] dalam QS. Saba’/34: 15 diartikan dengan negeri yang baik. Criteria mengenai Baldatun Thayyibatun tidak diuraikan secara tegas dalam Quran, akan tetapi untuk mendapatkan gambaran mengenai Baldatun Thayyibatun dapat diperoleh dari kisah sejarah negeri Saba’ yang mendapat gelar Baldatun Thayyibatun.
Poin-poin penting yang menyebabkan saba’ disebut sebagai negeri yang baik karena negeri tersebut sangat terkenal dengan musyawarah dan anti kekerasan.[16]
KESIMPULAN
Masyarakat madani lebih dari sekesar sekedar gerakan-gerakan pro-demokrasi. Namun, masyarakat madani juga mengacu pada kehidupan masyarakat yang bderkualitas dan bertamaddun. Yakni kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
Sebab itu, seluruh sektor masyarakat terutama gerakan, kelompok, dan juga individu-individu independen mempunyai komitmen untuk lebih mudah terciptanya masyarakat madani.
PENUTUP
Demikian pemaparan makalah ini. Mungkin masih banyak kekurangan yang perlu adanya paparan lebih lanjut agar konsep tentang masyarakat madani ini bisa dipahami secara lebih mendalam dan mudah. 



Daftar Bacaan

v  Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
v  Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti.
v  Fanani, muhyar, Fiqh Madani, (LkiS : Yogyakarta, 2010) cetakan pertama, hal. 312
v  Hidayat, Komarudin dan Ahmad Agus, Editor. 2005. Islam, Negara dan Civil Society dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina
v  Nurdin, Ali. 2006. Quranic Society, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Islam. Jakarta: Erlangga
v  Rozak, Abdul dan A. Ubaedillan ed. 2007. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta



[1] Secara bahasa berasal dari kata madinat , yaitu dari akar kata yang sama dengan madaniyat dan tamaddun, yang artinya peradaban. Maka, secara harfiah madinat adalah tempat peradaban atau suatu lingkungan hidup yang beradap, yakni tidak liar (tertata). Lihat Nurcholos Madjid, islam doktrin dan peradaban,(jakarta: yayasan wakaf  paramadina, 1995), cet. Ke-3, hal. 312.
[2] Komaruddin Hidayat dkk. Demokrasi hak asasi manusia dan masyarakat madani, (ICCE UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta,2007)  cetakan ketiga Edisi revisi, hal.302
[3]  Muhyar Fanani, Fiqh Madani, (LkiS : Yogyakarta, 2010) cetakan pertama, hal. 312
[4]  Ibid, hal.309
[5]  Dede Rosada, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ( ICCE UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta,2003), hal. 243
[6] Op. Cit,  Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hal 244
[7]  Op. Cit.  Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hal. 247-250
[8] Bebas disini dapat diartikan sebagai keinginan manusia yang sadar untuk menerima atau menolak sesuatu. Karena kebebasan itu merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat madani.  
[9] Op. Cit.  Demokrasi hak asasi manusia dan masyarakat madani, hal. 315
[10] Op. Cit.  Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hal. 249
[11] Ali Nurdin, quranic society, (Erlangga:jakarta ,2006) hal. 101
[12] Kata wasathan terdiri dari huruf  wau, sin, dan tha’ yang bermakna dasar pertengahan atau moderat yang memang menunjuk pada kata adil. Alroghib mengartikan sebagai sesuatu yang berada dipertengahan yang keduanya berada pada posisi yang sama.
[13] Op. Cit. quranic society , Hal. 105
[14] Ibid. Hal. 111
[15] Dalam  kamus Hans Wehr kata tersebut diterjemahkan dengan country, town, place, community, village.
[16] Op. Cit,  quranic society, hal. 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar