BAB I
PENDAHULUAN
Membangun masyarakat peradaban merupakan salah
satu langkah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau
membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa
kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat
ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut
semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Ali Imran:146). Inilah
hablun min Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia,
salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.
Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia
itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society".
Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang
sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan
tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri
wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan
prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang
modern seperti dirintis Nabi (RN Bellah Ed. Beyond Belief {New York : Harper
& Row, edisi paperback, 1976} hh. 150-151).
Wacana masyarakat madani merupakan konsep dari penerjemahan
istilah konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato
Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum
ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta yang
menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang
memiliki peradaban. Masyarakat madani merupakan suatu sistem sosial yang subur yang diazaskan kepada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Oleh karena itu konsep ini mencakup komponen-komponen negara, pasar, sektor voluntir atau
gerakan baru masyarakat serta individu dan keluarga. Semua komponen tersebut
dituntut mengembangkan etos kerja dan kualitas pelayanan lebih baik dan
memiliki sikap dan perilaku yang berintikan pengabdian yang utuh bagi
masyarakat. Inilah harapan masyarakat madani yaitu masyarakat yang
maju, mandiri, sejahtera dalam suasana berkeadilan dilandasi oleh iman dan
taqwa
Menurut Quraish Shihab, masyarakat madani telah
dicerminkan oleh masyarakat Muslim awal yang disebut sebagai khoiru ummah karena sifat-sifat yang
menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang al-ma’ruf dan mencegah mungkar.
Maka, kita seharusnya mampu meneladani sikap kaum Muslim awal yang
tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam artian mereka bersikap seimbang,
tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk
dunianya. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah (masyarakat madani
oleh masyarakat muslim awal) mampu diteladani umat Islam saat ini, maka
kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Akhir kata, Konsep civil society adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat dengan
peradaban yang mengacu pada nila-nilai dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan
demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wacana tentang
masyarakat madani[1]
di indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namun memiliki
karakter dan peran yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan merujuk
sejarah perkembangan masyarakat sipil yang umumnya memiliki peran dan fungsi
yang berbeda dengan lembaga negara yang dikenal dewasa ini. Di bawah ini
beberapa istilah dan penggagas yang mengacu pada pengertian masyarakat sipil, sebagaimana yang dirumuskan oleh Dawam
rahardjo[2]:
Asing
|
Indonesia
|
||
Koinonea politike
(aristoteles)
Societas civilis
(cicero)
Comonitas civilis
Societe civile
Comonitas politica
(tocquiville)
Burgerlishe gesellschaft
(hegel)
Civil society
(adam ferguson)
Civitas etat
|
Masyarakat sipil
(mansour fakih)
Masyarakat warga
(soetandyo wignyosubroto)
Masyarakat kewarganegaraan
(franz-magnis suseno dan M. Ryas
rasyid)
Masyarakat madani
(anwar ibrahim,nurcholis madjid,
M. Dawam rahardjo)
Civil society(tidak ditejemahkan)
(M.AS. hikam)
|
||
Untuk pertama kali
istilah masyarakat madani
dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, sebagaimana dikutip oleh Dawam Rahardjo,
masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan
masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni,
pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau
keinginan individu.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani
sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan
bersama.menurutnya, dalam masyarakat madani, warga negara bekerja sama membangun ikatan sosial,
jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara.
Menurut Azyumardi azra masyarakat madani lebih dari
sekedar gerakan pro-demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan
masyarakat berkualitas dan bertamaddun (civility). Sejalan dengan pandangan
diatas, Nurcholis Madjid menegaskan bahwa makna masyarakat madani berakar dari
kata “civility” yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi
untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.
Selain itu, salah satu definisi yang populer
dikemukakan oleh ST. Augustine. Menurutnya, masyarakat madani adalah sekumpulan
orang yang disatukan oleh sebuah pertanyaan umum tentang hak atau keadilan dan
sebuah komunitas kepentingan.[3]
Muhammad Syahrur juga memberikan definisi tentang
masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang didalamnya menyimpan budaya umat dan
teladan luhur dalam bentyukj yang alamiyah tanpa ada suatu paksaan, penyerahan
suatu tugas dilaksanakan atas dasar kecakapan dan keterpercayaan, serta
penjagaan atas kebebasan dan kemaslahatan setiap kelompok yang saling
bertentangan.[4]
B.
Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani
Wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa
Aristoteles (384-322 SM) yang memandang civil society sebagai suatu sistem kenegaraan yang identik
dengan negara itu sendiri.
Masyarakat madani juga dapat dipahami sebagai sistem kenegaraan yang
diistilahkan dengan koinonia politike[5].
Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society.
Madzhab pandangan Aristoteles kemudian dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero(106-43
SM), Thomas Hobbes (1588-1679 SM), dan John Locke (1632-1704 SM).
Fase kedua, pada tahun
1767 adam ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan
politik di skotlandia. Menurut ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme
harus dihhilangkan. Ia yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit
solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya kembali
despotisme. Kekhawatiran Ferguson atas semakin menguatnya sikap individualisme
dan berkurangnya tanggungjawab sosial masyarakat mewarnai pandangannya tentang
civil society pada fase ini.
Fase ketiga, berbeda dengan
pendahulunya, pada 1792 Thomas Paine
memulai wacana civil society sebagai sesuatu
yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai
antitesa negara. Dengan demikian,
negara harus dibatasi sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari
delegasi keluasaan yang diberikan oleh
masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Karena ini adalah ruang
dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Fase keempat, wacana
civil society selanjutnya dikembangkan oleh GWF. Hegel (1770-1831 SM), Karl
Marx(1818-1883 SM), dan Antonio Gramsci (1891-1837 SM). Dalam pandangan
ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Menurut
hegel civil society sebagai kelompok subordinatif dengan negara, lebih lanjut
hegel menjelaskan bahwa dalam struktur civil society terdapat tiga entitas
sosial: keluarga, masyarakat sipil dan negara.[6] Berbeda
dengan hegel, Karl Marx memandangnya sebagai borjuis. Dalam konteks hubungan
produksi kapitalis keberadaan civil society sebagai kendala besar bagi upaya
pembebasan manusia dari penindasan kelas
pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus
dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Menurut gramsci,
civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan
negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam
masyarakat.
Fase kelima, wacana
civil society sebagai reaksi terhadap madzhab Hegelian yang dikembangkan oleh
Alexis de Tocqueivelle (1805-1859 M). Bersumber dari pengalamannya mengamati
budaya demokrasi amerika, pemikiran Tocqueville tentang civil society sebgai
kelompok penyeimbang kekuatn negara. Menurut Tocqueille, kekuatan politik dan
masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi rakyat
amerika yang bercirikan plural, mandiri dan kedewasaan berpolitik, menurutnya
warga negara dimana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan
negara.
C. Karakteristik Masyarakat Madani
Berikut ini adalah beberapa karakteristik masyarakat madani[7]:
µ Free
public sphere (ruang publik yang bebas)[8], yaitu
masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
µ Demokratisasi (Sistem Demokrasi), yaitu
proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga
muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi
dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan,
dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain
dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokrasi secara umum adalah
suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari dan warga
Negara. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi
yang meliputi:
Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)
Pers yang bebas
Supremasi hukum
Perguruan
Tinggi, termasuk didalamnya Mahasiswa
Partai politik
µ Toleransi, merupakan sikap saling menghormati
dan menghargai perbedaan
pendapat.[9] Atau dalam artian kesediaan individu untuk
menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam
masyarakat.
µ Pluralisme, berarti sikap mengakui dan
menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa
kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha
Kuasa.[10]
µ Keadilan
sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan
kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
µ Partisipasi
sosial, yaitu
partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi,
ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan
dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
Berdasarkan
kriteria-kriteria tersebut maka dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya
menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dimana pemerintahannya memberikan
peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan
program-program pembangunan di wilayahnya. Maka, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang
sekali jadi, taken for granted. Akan tetapi masyarakat madani adalah konsep yang dinamis yang dibentuk dari proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang
istiqomah.
D.
Mayarakat Madani di
Indonesia
Potret sejarah Indonesia menunjukkan bahwa negeri
Indonesia telah memiliki tradisi kuat civil society bahkan sebelum
negara ini berdiri. Ini di motori oleh organisasi-organisasi Islam seperti
Sarekat Islam, Nadhlatul Ulama' serta Muhammadiyah yang banyak berkiprah dalam
memperjuangkan penegakan HAM dan perlawanan terhadap penjajah. Ormas-ormas itu
telah menunjukkan perannya sebagai komponen civil society yang penting
dalam perjalanan sejarah civil society di Indonesia.
Kalangan ahli memandang ada beberapa strategi
untuk membangun masyarakat madani di Indonesia bias terwujud. Pertama,
pandangan integrasi nasional dan politik. Kedua, pandangan reformasi system
politik demokrasi dan ketiga, paradigm membangun masyarakat madani sebagai
basis utama pembangun demokrasi.
Sementara menurut Dawam Raharjo, masyarakat
madani di Indonesia di hasilkan dari system politik represif dimana sifat
kritisnya lebih menonjol adri pada sifat konstruktifnya. Tidak heran apabila
masyarakat lebih banyak menuntut dari pada ikut berperan terhadap pemecahan masalah,
lebih banyak protes dari pada menawarkan solusi. Senada pula oleh As. Hikam, ia
menyatakan bahwa konteks pengembangan demokrasi kenyataan ini merupakan
tantangan mendesak untuk memperlancar proses demokratisasi.
Maka, tantangan masa depan demokrasi di negeri ini sekarang ialah bagaimana mendorong berlangsungnya
proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai peradaban dan
kemanusiaan universal. Kita semua harus bahu membahu agar jiwa dan semangat
kemanusiaan universal itu merasuk ke dalam jiwa setiap anak bangsa sehingga
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid,
terdapat beberapa pokok pikiran penting dalam pandangan hidup demokrasi, yaitu: (1) pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme, (2) makna dan
semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan
kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah
suara”, (3) mengurangi dominasi kepemimpinan sehingga terbiasa membuat
keputusan sendiri dan mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif,
(4) menjunjung tinggi moral dalam berdemokrasi (5) pemufakatan yang jujur dan
sehat adalah hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat, (6) terpenuhinya
kebutuhan pokok; sandang, pangan, dan papan, dan (7) menjalin kerjasama dan
sikap yang baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik
masing-masing.
E.
Masyarakat Madani Dalam Islam
Masyarakat
Madani menurut Islam adalah masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
atau nila-nilai kehidupan bermasyarakat, yakni: al-amanah, al-adalah,
al-ukhuwah, al-ta’addudiyah, al-musawah, al-syura, al-silm, dan amr bi
al-ma’ruf wa nahy ‘an al-mungkar. Di samping itu, sebuah masyarakat ideal
adalah masyarakat yang menjadikan syariah Islam sebagai pedoman dasar dalam
hidup bermasyarakat.
Dalam sudut pandang Islam, tugas ini adalah
menjadi tugas bersama, kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk
melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial dan norma yang telah disepakati bersama.
Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya adalah sikap
tolong-menolong, saling menanggung dan memiliki solidaritas, sebagaimana dijelaskan dalam alqur’an
yang berarti:
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran: 110)
Tidaklah berlebihan apabila setiap muslim bahkan
setiap orang bercita-cita demikian, asumsinya bahwa Tuhan yang Maha Tahu telah
menjelaskan dasar-dasar pembentukan masyarakat ideal. Masyarakat ideal dalam pandangan Qur’an sebagai
kalam Tuhan akan tercapai apabila persaudaraan dalam sesame warganya dapat
tercapai. Persaudaraan yang dimaksud disini bukanlah hanya sebatas persaudaraan
antar sesama muslim akan tetapi lebih jauh lagi adalah
persaudaraan antar sesama umat beragama. Maka, sebuah
ungkapan Ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai lebih mendalam. Artinya,
persaudaraan tidak sebatas dengan sesame muslim, akan tetapi juga Ukhuwah
‘Ubudiyah (hubungan dengan Tuhan), Ukhuwah Insaniah (persaudaraan
sesama manusia), Ukhuwah Wathaniyah wa al-Nasab (persaudaran sebangsa
dan seketurunan) serta Ukhuwah fi Din Islam (persaudaraan antar
sesame muslim).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat
madani yang kadang disamakan dengan masyarakat sipil (civil society),
adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan
kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya
pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang
transparan.Dalam konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat madani
sebagai terjemahan dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata ini
secara etimologis mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata ‘madani’
berasal dari kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan banyaknya
aktivitas, dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat peradaban,
karena kata ‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang
berarti ‘peradaban’. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai peradaban.
F.
Term Al-Quran yang menunjuk arti Masyarakat Madani.
1.
Ummatan Wahidah
Sebagaimana
yang dijelaskan di antaranya pada QS. al-Baqarah/2: 213, Yunus/10: 19 dan
Al-Maidah/5: 48 bahwasanya manusia dari dahulu merupakan Ummatan Wahidah, umat
yang satu. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk social yang selalu
membutuhkan orang lain sehingga harus selalu berinteraksi antar satu dengan
yang lain untuk saling melengkapi.[11]
Akan
tetapi, manusia kerap kali tidak bisa mengetahui bagaimana mereka memenuhi
kemashlahatan mereka, ataupun mengatur hubungan dan menyelesaikan masalah di
antara mereka. Maka, kedatangan Islam selain mengembalikan bangsa yang terpecah
kepada kepercayaan yang murni juga membawa misi mempersatukan indivudu-individu
dalam satu kesatuan masyarakat yang lebih besar atau di sebut dengan Ummatan
Wahidah.
2.
Ummatan Wasathan
Dalam
QS. Al-Baqarah/2: 143 Al-Quran menjelaskan bahwasanya kualifikasi umat yang
baik adalah Ummatan Wasathan.[12]
Ummatan Wasathan berarti umat yang berada pada posisi pertengahan atau
moderat. Posisi moderat menjadikan masyarakat itu bersifat netral, tidak berat
sebelah atau memiliki kecenderungan terhadap sesuatu, yang berarti ini
mengajarkan manusia untuk bersifat adil. Allah menjadikan umat Islam pada
posisi pertengahan adalah untuk dapat menyaksikan dan menjadi saksi siapapun
yakni umat lain.
3.
Ummatan Muqtashidah
Makna Ummatan
Muqtashidah yang hanya disebutkan pada QS. Al-Maidah/5: 66 kurang lebih
adalah sebagaimana makna dari Ummatan Wasathan yaitu umat yang bersifat
moderat, bersifat pertengahan dalam melakukan agamanya. Tidak melebihkan serta
tidak melalaikan.
Artinya, tidak berpihak ke kiri dan ke kanan. Sehingga dapat mengantarkan
manusia berlaku adil.[13]
4.
Khaira Ummah
Istilah
Khoira Ummah berarti umat yang baik atau umat yang unggul. Kriterianya
adalah pertama, menyeru kepada ma’ruf.
kedua, mencegah dari mungkar. Ketiga, beriman kepada Allah
SWT. Istilah yang hanya disebutkan sekali dalam QS. Ali Imran/3: 10 tersebut
oleh sebagian ulama ditafsirkanbahwa yang dimaksud umat pilihan adalah umat
Islam.[14]
Istilah amar ma’ruf nahi mungkar
menjadi sangat populer dan sering dijadikan slogan politik. Istilah itu
sekarang memiliki arti khusus. Misalnya, berjuang melawan perjudian, korupsi,
kolusi, dan nepotisme atau narkoba. Sehingga hal ini sangat dibutuhkan dalam
membangun masyarakat madani.
Baldatun Thayyibatun
Istilah
Baldatun Thayyibatun[15]
dalam QS. Saba’/34: 15 diartikan dengan negeri yang baik. Criteria mengenai
Baldatun Thayyibatun tidak diuraikan secara tegas dalam Quran, akan
tetapi untuk mendapatkan gambaran mengenai Baldatun Thayyibatun dapat
diperoleh dari kisah sejarah negeri Saba’ yang mendapat gelar Baldatun
Thayyibatun.
Poin-poin penting yang menyebabkan saba’
disebut sebagai negeri yang baik karena negeri tersebut sangat terkenal dengan
musyawarah dan anti kekerasan.[16]
KESIMPULAN
Masyarakat madani lebih dari sekesar
sekedar gerakan-gerakan pro-demokrasi. Namun, masyarakat madani juga mengacu
pada kehidupan masyarakat yang bderkualitas dan bertamaddun. Yakni kesediaan
individu-individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial
yang berbeda.
Sebab itu, seluruh sektor masyarakat
terutama gerakan, kelompok, dan juga individu-individu independen mempunyai
komitmen untuk lebih mudah terciptanya masyarakat madani.
PENUTUP
Demikian pemaparan makalah
ini. Mungkin masih banyak kekurangan yang perlu adanya paparan lebih
lanjut agar konsep tentang masyarakat madani ini bisa dipahami secara lebih
mendalam dan mudah.
Daftar Bacaan
v
Azizi, A Qodri
Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian
Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
v Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung
Mas Inti.
v Fanani, muhyar,
Fiqh Madani, (LkiS : Yogyakarta, 2010) cetakan
pertama, hal. 312
v
Hidayat, Komarudin dan
Ahmad Agus, Editor. 2005. Islam, Negara dan Civil Society dan Pemikiran
Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina
v
Nurdin, Ali. 2006. Quranic
Society, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Islam. Jakarta: Erlangga
v
Rozak, Abdul dan A.
Ubaedillan ed. 2007. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:
ICCE UIN Jakarta
[1] Secara bahasa berasal dari kata madinat , yaitu dari akar
kata yang sama dengan madaniyat dan tamaddun, yang artinya peradaban. Maka,
secara harfiah madinat adalah tempat peradaban atau suatu lingkungan hidup yang
beradap, yakni tidak liar (tertata). Lihat Nurcholos Madjid, islam doktrin dan
peradaban,(jakarta: yayasan wakaf
paramadina, 1995), cet. Ke-3, hal. 312.
[2] Komaruddin Hidayat dkk. Demokrasi
hak asasi manusia dan masyarakat madani, (ICCE UIN Syarif Hidayatullah :
Jakarta,2007) cetakan ketiga Edisi
revisi, hal.302
[5]
Dede Rosada, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
( ICCE UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta,2003), hal. 243
[8] Bebas disini dapat diartikan sebagai
keinginan manusia yang sadar untuk menerima atau menolak sesuatu. Karena
kebebasan itu merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat madani.
[12] Kata wasathan terdiri dari
huruf wau, sin, dan tha’
yang bermakna dasar pertengahan atau moderat yang memang menunjuk pada kata
adil. Alroghib mengartikan sebagai sesuatu yang berada dipertengahan yang
keduanya berada pada posisi yang sama.
[14] Ibid. Hal. 111
[15] Dalam
kamus Hans Wehr kata tersebut diterjemahkan dengan country, town,
place, community, village.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar