PERADABAN ISLAM
PADA MASA DAULAH UMAYYAH TIMUR
A.
Pendahuluan
Sejarah
merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, ataupun
pribadi. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri.
Sesungguhnya ia selalu melekat dalam setiap jejak langkah sebuah umat.
Begitupun dengan Islam yang mempunyai peradaban yang patut untuk diketahui oleh
generasi yang tak ikut serta dalam proses sejarah pada masa lampau untuk
kemudian menjadi sebuah media untuk mengambil ibrah.
Islam yang
sekarang sampai kita, sesungguhnya telah melewati beberapa proses sejarah dalam
bentangan waktu yang tak bisa dibilang singkat. Dalam perjalanan itu ia tidak
stagnan begitu saja, melainkan terus berjalan, berdialek dengan berbagai umat
di sepanjang zaman.
Di mulai pada
masa sang pembawa risalah, Muhammad saw, Islam terus mengalami pasang surut,
masa-masa kritis hingga kegemilangan, bahkan tak jarang bersinggungan dengan
masalah politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan tentunya agama yang menjadi
misi utama datangnya Islam itu sendiri.
Selepas
kepergian nabi, khulafa ar-Rasyidin sebagai pemegang tongkat estafet
memimpin umat Islam yang selanjutnya jatuh pada tampuk kekuasaan dinasti
Umayyah. Dari sinilah konversi model pemerintahan dari demokratis menjadi
monarki dimulai.
Pada pembahasan
kali ini kita akan mencoba menengok sejarah bagaimana pemerintahan Umayyah yang
turut menjadi bagian dari sejarah dan peradaban Islam.
B.
Lahirnya Dinasti Umayyah
Pemerintahan
dinasti Umayyah bermula pada peristiwa kekalahan Ali bin Abi Thalib dalam
perang shiffin terhadap Muawiyyah yang di dalamnya juga diwarnai dengan
peristiwa arbitrase atau tahkim yang kemudian peristiwa itu
diketahui merupakan tipu muslihat dari kubu Mu’awiyah. Peristiwa arbitrase tersebut
memunculkan golongan Khawarij yang awalnya berada di pihak Ali kemudian menyatakan
keluar karena kekecewaan mereka terhadap putusan Ali yang menerima tahkim
dari Muawiyyah. Munculnya kelompok Khawarij ini menyebabkan tentara Ali semakin
melemah, sementara posisi Muawiyyah semakin kokoh. Akhirnya, pada tanggal 20
Ramadhan 40 H (660 M) Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.[1]
Jabatan Ali
sebagai khalifah sempat digantikan oleh putranya, Hasan selama beberapa bulan.
Namun, posisi Hasan yang melemah akhirnya disepakatilah sebuah traktat
perdamaian yang menandai kembalinya persatuan umat Islam dibawah pimpinan
Mua’wiyyah bin Abu Sufyan.[2]
Dengan demikian, berakhirlah apa yang disebut masa al khulafa ar-Rasyidin, dan
dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Muawiyyah
dinobatkan sebagai khalifah di Ilya’ (Yerussalem) pada 40 H/660 M.[3]
Dengan penobatannya itu, ibu kota provinsi Suriah, Damaskus, berubah menjadi
ibu kota kerajaan Islam.[4] Muawiyyah
memperoleh kekuasaan, kecuali di Syiria dan Mesir, dia memerintah semata-mata
dengan pedang. Di dalam dirinya digabungkan sifat-sifat penguasa, politikus,
dan administrator. Muawiyyah adalah seorang peneliti sifat manusia yang tekun
dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia. Dia berhasil
memanfaatkan para pemimpin administrator dan politikus paling ahli pada waktu
itu, ia merupakan ahli orator ulung.[5]
C.
Pemerintahan Dinasti Umayyah
Memasuki masa
kekuasaan Muawiyyah yang menjadi awal kekuasaan dinasti Umayyah, pemerintahan
yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan
turun temurun). Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi,
dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi
kepemimpinan secara turun menurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh
rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Model pemerintahan
ini adalah bentuk copy dari monarchi Persia dan Bizantium.[6]
Meskipun demikian, nampaknya sosok pemimpin yang kuat dan cakap seperti
Muawiyyahlah yang dibutuhkan umat pada masa itu. Hal ini terbukti dengan
keberhasilan dalam mengembalikan persatuan kerajaan yang dicapai Muawiyyah
dalam pemerintahannya (661-680 M).
Muawiyyah
dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya
dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam
perang saudara di Shiffin melalui cara yang curang, ia juga dianggap telah
menghianati prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Namun, di sisi lain kita
bisa melihat sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, ia merupakan
seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat.[7]
Dalam
pemerintahannya, Muawiyyah tidak memaksakan pergantian agama dan membangun
negara yang efisien. Islam tetap menjadi agama para elit Arab penakluk wilayah
negara lain. Orang arab yang belum berpengalaman dalam pemerintahan penjajahan
semula mengandalkan keahlian non-Muslim yang pernah mengabdi pada rezim
Byzantium dan Persia, tapi secara bertahap orang Arab mulai menggantikan para dzimmi
dari posisi-posisi puncak.[8]
Pada abad
selanjutnya, khalifah-khalifah Umayyah perlahan-lahan mengubah daerah-daerah yang
ditaklukkan pasukan Muslim menjadi kerajaan kesatuan dengan ideologi bersama.
Ini adalah merupakan prestasi besar, tetapi di lain pihak, istana mulai
mengembangkan budaya dan gaya hidup mewah, sama halnya dengan penguasa lain.[9]
Hal semacam ini nampaknya menjadi suatu pilihan yang sangat dilematis, wajar
jika di kemudian hari pemerintahan Umayyah mendapat kritikan pedas dari
kalangan agamawan pada masanya.
Pada 679,
Muawiyyah menunjuk putranya Yazid untuk menjadi penerusnya, serta memerintahkan
berbagai urusan provinsi. Ketika itulah ia memperkenalkan sistem pemerintahan
turun-temurun yang setelah itu diikuti oleh dinasti-dinasti sesudahnya termasuk
Dinasti Abbasiyyah.[10]
Kekuasaan Bani
Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Khalifah-khalifah besar dinasti Umayyah
adalah Muawiyyah ibn Abu Sufyan (661-680 M), Abdul Malik ibn Marwan (685-705
M), Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abdul Aziz (717-720 M), dan
Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M).[11]
D.
Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
Setelah
berhasil mengalahkan oposisi, Muawiyyah dengan leluasa mengarahkan energinya
untuk menghadapi musuh Islam di sebelah barat laut, Byzantium. Di ‘Akka (Acre),
setelah penaklukkan Suriah, ia berhasil menguasai galangan kapal Byzantium
dengan segala perlengkapannya, sehingga ia bisa memanfaatkannya untuk membangun
angkatan laut Islam. Dalam sejarah maritim Islam, galangan kapal itu merupakan
yang kedua setelah galangan kapal di Mesir.[12]
Pemerintahan
Umayyah tidak hanya ditandai dengan terciptanya konsolidasi internal, tetapi
juga perluasan wilayah Islam. Pada masa pemerintahannya, ekspansi dilakukan ke
Afrika Utara yang dipimpin ‘Uqbah ibn Nafi’. Di sebelah timur, pasukan Islam
berhasil menaklukkan Khurasan (663-671 M) dari arah Bashrah, menyeberangi Oxus,
dan menyerbu Bukhara di Turkistan (674 M).[13] Ekspansi
ke wilayah timur ini kemudian diteruskan di zaman Abdul Malik di bawah pimpinan
al-Hajjaj ibn Yusuf.[14] Jadi
Muawiyyah bukan saja menjadi bapak sebuah dinasti tetapi juga pendiri
kekhalifahan setelah Umar.
Sebagai seorang
prajurit, kualitas Muawiyyah jauh lebih rendah dari Ali, namun sebagai
organisator militer, Muawiyyah adalah yang paling unggul di antara rekan-rekan
sezamannya. Ia mencetak bahan mentah yang terdiri atas pasukan Suriah menjadi
satu kekuatan militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. Ia
menghapus sistem militer yang didasarkan atas organisasi kesukuan, sisa-sisa peninggalan
masa patriarkal kuno.[15]
Ia menghapus berbagai sistem pemerintahan tradisional dan mengadopsi kerangka
pemerintahan Byzantium, ia membangun sebuah negara yang stabil dan terorganisir
dengan baik. Meskipun dari luar terlihat tampak kacau, sebenarnya ia berhasil
membangun sebuah masyarakat muslim yang tertata rapi. Hitti dalam bukunya History
of the Arabs menyebutnya sebagai orang Islam pertama yang membangun kantor
catatan dan layanan pos, yang pada masa Abdul Malik menjadi sebuah institusi
rapi yang menghubungkan berbagai wilayah imperium yang luas.
Menurut Prof.
A. Syalabi,[16]
penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup tiga front penting, yaitu sebagai
berikut:
1.
Front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama
pengepungan ke ibu kota Konstantinopel dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut
Tengah.
2.
Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika pasukan
muslim juga menyeberangi selat Giblartar, lalu masuk ke Spanyol.
3.
Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi
jalur ini melalui dua arah. Yaitu menuju utara ke daerah-daerah di seberang
sungai Jihun (Ammu Darya), sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri
Sind, wilayah India bagian barat.
Ekspansi ke
barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah
Aljazair dan Maroko dapat ditundukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,
dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua
Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dengan cepat dapat dikuasai.
Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang
dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova.[17]
Di zaman Umar
ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Abdurrahman ibn Abdullah al-Ghafiqy. Ia mulai dengan
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam
peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqy terbunuh dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Di samping daerah-daerah tersebut di atas,
pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada masa Bani
Umayyah ini.[18]
E.
Gerakan Religius Dinasti Umayyah
Masa
pemerintahan Dinasti umayyah walaupun tidak berlangsung lama, namun ia
mempunyai keistimewaan dengan adanya sejumlah gerakan-gerakan dalam bidang
pemikiran dan gerakan-gerakan revolusioner, yang tidak mendapat peluang dan
kesempatan yang cukup untuk lahir pada masa-masa sebelumnya ataupun sesudahnya.
Dengan ini, maka masa tersebut merupakan masa yang paling subur bagi bagi
revolusi-revolusi yang terjadi pada alam pikiran dan bidang militer.
Terdapat banyak
spekulasi untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin umat Islam,
apakah ia harus seorang Muslim yang taat, seperti keyakinan kaum Khawarij
ataukah orang yang lahir dari keturunan Ali, seperti keyakinan kaum Syi’ah. Anggapan
seperti itulah yang menjadi pemula dalam bahasan gerakan religius dalam bukunya
Armstrong.
Bersumber dari
diskusi politik muncul agama dan keimanan Islam. Al-Qur’an berbicara tentang tauhid
dari keseluruhan kehidupan manusia, yang berarti bahwa semua tindakan
individual dan institusi negara seharusnya mencerminkan penyerahan diri kepada
kehendak Tuhan. Pada tingkat yang sama, dalam sejarah mereka, orang Kristen
mengadakan diskusi yang sengit tentang sifat dan kepribadian Yesus, yang
membantu mereka mengembangkan pandangan khusus mereka tentang Tuhan,
keselamatan, dan kondisi manusia. Debat
intensif mengenai kepemimpinan politik dalam umat setelah perang saudara
berperan penting dalam Islam, sama halnya ketika terjadi perdebatan sengit
Kristen pada abad ke-4 dan ke-5.[19]
Prototipe dan
contoh sempurna kesalihan Muslim baru adalah Hasan al-Bashri (w. 728 M) yang
dibesarkan di Madinah dalam lingkungan yang dekat dengan keluarga Nabi dan
bertahan hidup setelah wafatnya Ustman. Kemudian dia pindah ke Bashrah, tempat
dia mengembangkan spiritualitas yang mencela barang-barang pemuas keduniaan.
Dia mencontoh gaya hidup zuhud dari Nabi. Hasan menjadi penceramah
paling terkenal di Bashrah, dan gaya hidup sederhananya menyebabkan munculnya
kritik tajam terhadap kemewahan istana.[20]
Hasan
memelopori reformasi agama di Bashrah, mengajarkan para pengikutnya untuk
bermeditasi mendalami al-Qur’an yang mencerminkan perjanjian diri dan
penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan yang merupakan sumber
kebahagiaan sejati.
Hasan mendukung
Umayyah, tetapi ia juga berhak mengkritik bila mereka membuat kesalahan. Dia
memilih teologi yang dikenal sebagai Qodariyah, di mana umat manusia
diberi kebebasan berkehendak dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Karena
itu, para khalifah harus dinilai dari kebaikan mereka dan harus ditindak bila
tak mematuhi ajaran Tuhan.[21]
Kaum Qodariyah
menerima kekuasaan Umayyah karena dipandang mampu mempertahankan kesatuan
umat, karena itu mereka menentang Khawarij yang mengatakan bahwa dinasti
Umayyah ingkar kepeda agama sehingga layak untuk dibunuh.[22]
Selain itu
juga, ditemukan adanya cikal bakal gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang
berusaha menggoyahkan fondasi agama Islam. Pada paruh pertama abad ke-8, di
Bashrah hidup seorang tokoh terkenal bernama Washil ibn Atha’ (w. 748), yang
merupakan murid dari Hasan al-Bashri. Ia merupakan pendiri madzhab rasionalisme
kondang yang disebut Mu’tazilah (pembelot, penentang). Mendapat sebuatan itu
karena mendakwahkan ajaran bahwa siapapun yang melakukan dosa besar dianggap
telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir. Dalam
hal ini orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status
itu.[23]
Kaum Mu’tazilah
selanjutnya mendominasi lingkungan intelektual di Iraq selama satu abad.
Mu’tazilah mengembangkan teologi rasionalistik (kalam) yang menekankan
kesatuan dan kesederhanaan Tuhan yang seharusnya direfleksikan oleh integritas
umat.
Aliran Murji’ah
juga ikut andil dalam penilaian terhadap peristiwa tahkim yang terjadi
antara Muawiyyah dan Ali. Merujuk pada akar kata dari Murji’ah itu sendiri,
yaitu arjaa yang berarti menunda, aliran ini menunda dalam memberi
penilaian terhadap perbuatan manusia. Ini berarti dalam peristiwa tahkim tidak
ada hak untuk memberi penilaian.
Anggota yang
paling terkenal dari aliran Murji’ah ini adalah Abu Hanifah (699-767), seorang
pedagang dari Kufah. Dia telah masuk Islam dan memelopori disiplin baru ilmu
fiqih yang akan berpengaruh besar pada kesalehan islamidan menjadi disiplin
utama pendidikan tinggi di dunia Muslim.[24]
F. Masa Keemasan
Dinasti Umayyah
Terdapat beberapa
bidang yang mampu mengalami kemajuan yang sangat pesat pada masa pemerintahan
dinasti Umyyah dan terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:[25]
1. Dalam bidang pertanian,
Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau
telah memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
2. Dalam bidang industri,
pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi
Umayyah.
3. Dalam bidang
keadministrasian, usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani
Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system
pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan.
Organisasi ini bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan
untuk gaji
pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
4. Biaya orang-orang
hukuman dan tawanan perang
5. Perlengkapan perang
6. Dalam bidang peradilan,
daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang
berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini
membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua
Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara
dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan al-Qur’an dan sunnah
Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik,
sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara
tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
7. Dalam bidang pengembangan
peradaban, daulah Umayyah berhasil mendirikan
dinas pos pada masa Muawiyyah
8. Lambang kerajaan
sebelumnya al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara
baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya.
9. Arsitektur semacam seni
yang permanent pada tahun 691 H, Khalifah Abd Al-Malik membangun sebuah kubah
yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock”
(Gubah As-Sakharah).
10. Pembuatan mata uang
dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri
islam.
11. Pembuatan panti Asuhan
untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang
infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
12. Pengembangan angkatan
laut muawiyah yang terkenal sejak masa Ustman sebagai Amir Al-Bahri
13. Pada masa Umayyah, (Khalifah
Abd Al-Malik) juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam.
14. Dalam bidang militer, secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani
Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.
G.
Runtuhnya Dinasti Umayyah
Ada beberapa
faktoryang menyebabkan inasti Umayyah emah dan membawanya pada kehancuran.
Faktor-faktor itu antara lain:[26]
1.
Sistem pergantian khlaifah melalui garis keturunan
2.
Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut Ali ra pada
khususnya dan kepada Bani Hasyim pada umumnya
3.
Pertentangan etnis antara Bani Qays dan Bani Kalb yang sudah ada
sejak zaman sebelum Islam makin meruncing sulit untuk menggalang persatuan dan
kesatuan, serta memandang rendah kaum muslim yang bukan arab (mawali),
sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan
4.
Lemahnya pemerintahan daulah Umayyah yang disebabkan oleh sikap
hidup mewah di antara para khalifahnya
5.
Adanya kekuatan baru yang dipelopori oleh turunan al-Abbas, yang
mendapat dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, serta kaum mawali yang
merasa dikelasduakan oleh pemerintaha daulah Umayyah
Dari kelima
faktor tersebut, yang secara langsung menyebabkan runtuhnya kekuasaan Bani
Umayyah adalah adanya revolusi besar oleh Abu Muslim. Gerakan ini didukung oleh
Ali dan Utsman dari golongan Syi’ah yang ingin menuntut balas atas tewasnya
al-Karamani oleh Ibnu Sayyar dalam pertempuran merebut ibu kota Merv tahun 129
H/747 M. Gabungan pasukan Abu Muslim dan golongan Syi’ah ini dapat merebut
kembali kota Merv, dan Ibnu Sayyar beserta pasukannya tewas di kota Sawwat
tahun 131 H/749 M.[27]
Kota Merv dan
seluruh kota Khurasan dikuasai oleh Abu Muslim al-Khurasani, sedangkan penduduk
setempat mengangkat sumpah setia, baiat terhadap Abdullah ibn Muhammad yang
dikenal dengan Abu Abbas as-Shaffah, pengganti Ibrahim al-Imam yang wafat dalam
penjara Bani Umayyah. Semula Ali dan Utsman, dua orang putra al-Khurasani
membaiat juga, namun karena terbukti kedua tokoh itu melakukan komplotan
rahasia, maka dijatuhi hukuman mati akhir tahun 131 H/749 M. Berita pembaiatan
itu mengejutkan khalifah Marwan II. Ketika itu Marwan II baru saja selesai
mengamankan pemberontakan di wilayah Armenia dan Georgia, sedangkan ia berada
di benteng Harran. Ia kemudian mengutus 120.000 prajurit menuju ke selatan
lembah Irak. Bala tentara tersebut mendapat perlawanan dari tentara Bani
Abbasiyyah atas inisiatif Abu Oun, kemudian dibantu oleh pasuka besar yang
dipimpin oleh Abdullah ibn Ali ibn Abdillah ibn Abbas, paman as-Saffah.[28]
Abdullah ibn
Ali memerintahkan saudaranya, Shaleh ibn Ali untuk melakukan pengejaran
terhadap Marwan II di Mesir. Pasukan Abbasiyyah tidak mendapat perlawanan yang
berarti dan penduduk setempat menyatak kesetiaannya, baiat terhadap as-Saffah,
khalifah pertama Bani Abbas. Akhirnya, Marwan II bersama pengiringnya ditemukan
di sebuah biara di kota pelabuhan Abusir. Marwan ditangkap dan dibunuh,
kepalanya dikirim ke as-Saffah.[29]
Dengan demikian, maka berakhirlah dinasti Bani Umayyah di Damaskus dan
kekuasaan sepenuhnya di tangan as-Saffah.
H.
Analisis
Terlepas dari
polemik yang mewarnai berdirinya daulah Umayyah yang menjadi catatan hitam
sejarah, di mana kekuasaan diperebutkan dengan jalan kekerasan dan kecurangan,
penulis melihat ada sisi lain dari peristiwa ini. Muawiyyah sebagai pembangun
dinasti Umayyah merupakan tipikal pemimpin yang tepat bagi umat yang sedang
mengalami perpecahan pada masa itu. Dengan berbekal pengalaman politik serta
disokong dengan pribadi pemimpin cakap yang melekat pada dirinya, Muawiyyah
mampu mempersatukan umat. Tidak hanya itu, jiwa militer yang ada dalam dirinya
juga mampu membawa keberhasilan dalam bidang ekspansi wilayah ke Afrika Utara.
Penataan administrasi pemerintahan ditata dengan apik berkat sifat
administratornya dengan mendirikan kantor pos dan percetakan mata uang. Dari
sini, jelaslah bahwa seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki kecakapan
intelejensia semata. Namun lebih dari itu, ia harus memiliki gabungan
sifat-sifat seorang pemimpin, politikus, dan administrator sebagai alat
pembentukan negara yang kokoh.
Namun di sisi
lain, perlu adanya koreksi dalam sistem pemerintahan yang dibentuk oleh
Muawiyyah, sistem monarki yang dibangun jelas menghianati prinsip demokrasi
yang dijunjung Islam. Dan tentu saja akan sangat tidak tepat jika sistem
pemerintahan seperti diterapkan pada masa sekarang.
Kehidupan
istana yang mewah dan terkesan foya-foya mendapat sorotan tersendiri oleh
rakyatnya, terutama dari kalangan agamawan pada waktu itu. Hal ini mendapat
kritikan dari Hasan al-Bashri seorang tokoh aliran Qodariyah.
Dalam kajian
historis, gerakan-gerakan religius juga sempat mewarnai masa kepemimpinan
dinasti ini. Dan hal ini tentu saja berawal dari peristiwa tahkim. Dari
sinilah muncul aliran-aliran dalam Islam yang secara garis besar membincang
persoalan dosa besar dan juga berkaitan dengan orang-orang yang terlibat
peristiwa tahkim. Kemunculan berbagai aliran-aliran ini juga akibat
adanya perdebatan argumentasi antara Kristen dan Islam tentang konsep perbuatan
Tuhan.
I.
Penutup
Demikian
makalah Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Umayyah Timur ini kami susun,
tentunya banyak sekali kekurangan baik dalam penyusunan ataupun penyampaian. Untuk
itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan
guna perbaikan di masa mendatang. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
al-Usairy, Ahmad, 2008. Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarata: Akbar
Armstrong, Karen, 2004. Islam A Short History. Surabaya:
Ikon Teralitera
Ibrahim Hassan, Hassan, 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta:
Penerbit Kota Kembang
Ira M, Lapidus, 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
K. Hitti, Philip, 2010. History of the Arab. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta
Samsul Munir, Amin, 2009. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Syalabi, 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam II. Jakarta:
Pustaka Al-Husna
Syukur, Fatah, 2009. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Yatim, Badri, 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Rajawali Pers
http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-masa-bani-umayyah.
html (diakses
tanggal 15 Oktober 2011)
[1] Lihat Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm 40
[2] Ibid
[3] Philip K.
Hitti, History of the Arabs, Jakart: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hlm
235. Dikutip dari al-Thabari, jilid II, hlm 4; bandingkan dengan al-Mas’udi
jilid V, hlm 14
[4] Philip K.
Hitti, Loc. cit
[5] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm 72
[6] Badri Yatim, op.cit hlm 42
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Philip K.
Hitti, op.cit. hlm 244
[11] Fatah Syukur, Loc.
cit
[12] Philip K.
Hitti, op.cit, hlm 240-241
[13] Ibid, hlm
241
[14] Samsul Munir
Amin, op.cit, hlm 23
[15] Philip K. Hitti, op.cit, hlm 242
[16] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1989, hlm 124-139
[17] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989, hlm 91
[18] Badri Yatim, op.cit, hlm 44
[19] Karen
Armstrong, op.cit. hlm 55
[20] Ibid, hlm
56
[21] Ibid
[22] Ibid, hlm
57
[23] Philip K.
Hitti, op.cit, hlm 306
[24] Ibid, hlm
58
[25] http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-masa-bani-umayyah.html
(diakses tanggal 15 Oktober 2011), Lihat Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam
Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarata: Akbar, 2008, hlm 186-211
[26] Badri Yatim, op.cit, hlm 48-49
[27] Fatah Syukur, op.cit, hlm 83
[28] Ibid
[29] Lihat M. Masyhur Amin, Dinamika Islam, Yogyakarta: LKPSM, 1995,
hlm 89-91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar