HUKUM ISLAM PADA MASA
KEEMASAN/DAULAH BANI ABASIYAH 750-1258 M
I.
Pendahuluan
Manusia
sudah mengenal syari’at (undang-undang ) sejak zaman dahulu kala.Tidak ada satu
komunitas manusiapun yang bias lepas dari kenyataan ini, bahkan sebuah
peradaban juga memerlukan aturan. Ini karena syari’at dengan segala
perangkatnya merupakan perkara penting dan aturan utama yang menjadi kebutuhan
demi keberlangsungan hidup manusia sekaligus menjadi kaidah dasar dalam
mengatur hubungan sesama manusia, menjadi satu keniscayaan untuk mewujudkan
kemaslahatan bersama, menjadi sebuah keharusan untuk menghasilkan pertumbhan
dan kestabilan dalam menjalin berbagai hubungan sesame manusia dalam setiap
aspek kehidupan.
Sejarah
manusia pernah mengenal berbagai bentuk undang-undang yang dimiliki oleh
umat-umat terdahulu. Setelah orang Romawi, orang Arab adalah satu-satunya
bangsa abad pertengahan yang melahirkan ilmu yurisprudensi, dan darinay
berkembang sebuah system yang independen. System tersebut, yang mereka sebut
fiqih, pada prinsipnya didasarkan atas al-Qur’an dan al-Hadis, yang disebut
ushul (akar/prinsip), diantaranya undang-undang (syari’at) pada masa
Daulah Bani Abasiyah yang mana dipengaruhi oleh system Yunani-Romawi.[1]
Pada makalah ini, penulis akan mencoba mengulas tarikh tasyri’ pada masa Daulah
Bani Abasiyah, dimana kondisi pensyari’atan ada pada posisi keemasan dunia
Islam.
II.
Pembahasan
a. Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya
Berdirinya Daulah Bani
Abasiyah setelah runtuhnya Daulah Bani Umayyah, dinasti ini didirikan oleh Abdullah
al-Asaffah,dinamakan khilafah abasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti
ini adalah keturunan Al-abas paman Nabi SAW. Kekuasaannya berlangsung dari
tahun 132 hijriyah sampai 656 H.[2]
Fiqh Islam mencapai
puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini kehidupan,
prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi dan duniawi.[3]
Sumber
perundang-undangan hokum Islam pada masa ini lebih luas dibandingkan dengan
zaman sebelumnya. Ada sumber yang telah disepakati dan ada yang masih menjadi
perdebatan diantara fuqoha’.
Diantara sumber yang
telah disepakati adalah al-Qur’an dan as-Sunah dan tidak ada satu orangpun yang
berbeda pendapat tentang hal ini. Namun, yang menjadi perbedaan diantara mereka
adalah bagaimana memahami dalil yang ada di dalamnya disebabkan banyak faktor,
terutama masalah furu’iyyah yang pernah terjadi diantara para sahabat.
Adapun ijma’ dan Qiyas,
sebagian besar fuqoha’ mengganggapnya sebagai hujjah dalam menentukan hukum
syar’i dan tidak ada yang menentang pendapat ini kecuali sebagian kecil Fuqoha’
saja.[4]
Zaman
ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang
dalam sejarah fiqh Islam, dimana ia sudah mencapai tahap sempurna dalam
keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri
yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha’, selain munculnya para ulama
yang membahas setiap bab, memiliki madzhab ijtihad sendiri yang kemudian diberi
nama sesuai nama para Imamnya.[5]
Faktor-Faktor
Penyebab Kemajuan Fiqh Islam pada Masa Daulah Bani Abasiyah:
1. Perhatian
Khalifah Dinasti Abasiyah terhadap Fiqh dan Fuqoha’
Para
khalifah dinasti abasiyah sangat memberikan perhatian kepada fiqh, berbeda
dengan daulah bani umayyah yang lebih konsentrasi dengan masalah politik
sehingga mereka mampu member corak Islam pada Negara dan menjadikan agama
sebagai poros rotasi semua pemerintahan, hal ini dapat dilihat dari beberapa
aspek:
·
Semua
undang-undang bersumber dari al_Qur’an dan as-Sunah
·
Memberikan
perhatian pada as-sunah sehingga dibukukanlah hadis-hadis
·
Para Khalifah
sangat dekat dan memuliakan ulama’
·
Khalifah meminta
fuqoha’ untuk meletakkan perundang-undangan
2. Perhatian
dan semangat tinggi untuk mendidik para penguasa dan keturunannya dengan
pendidikan Islam
Para
Khalifah mengirimkan putranyya untuk pergi belajar mencari ilmu. Juga terlihat
dari adanya lembaga-lembaga pendidikan, seperti maktab, baitul hikmah dll.[6]
3. Kebebasan
berpendapat
Para
ulama pada zaman ini mempunyai kebebasan menyatakan pendapat dalam melakukan
kajian ilmiah, tidak ada satu penguasapun yang dapat mengikat mereka. Oleh
karena itu, mereka melakukan istinbath hokum dari berbagai sumber, mengamalkan
dan mengajarkan kepada orang banyak tanpa ada perasaan sungkan jika
bertentangan dengan pendapat ahli fiqih lainnya sehingga daklam satu masalah
bias ditemukan banyak pendapat disebabkan banyaknya mujtahid.
4. Maraknya
diskusi dan debat ilmiah diantara Fuqoha’
Perdebatan
fiqih secara meluas diantara fuqoha’ pada zaman ini telah melahirkan dua
fenomena:
·
Kecenderungan
fuqoha’ untuk menggunakan metode debatketika mereka menulis buku, dapat dilihat
dalam kitab al-Umm yang ditulis oleh Imam Syafi’i.
·
Luasnya ruang
lingkup kajian fiqih dan munculnya pendapat-pendapat fiqih sehingga semakin
menambah kemajuan fiqih itu sendiri.
Tujuan
adanya debat ini adalah agar bias sampai pada kebenaran dan memahami hokum
syara’ yang akan menjadi jawaban terhadap masalah yang muncul.
5. Banyaknya
permasalahan baru yang muncul
Penaklukan
yang dilakukan pasukan Islam pada masa ini menyebar luas, para fuqoha’ yang
telah menyebar luas ke berbagai negri kemudian menemukan banyak adat istiadat,
aturan social, hokum dan ekonomi yang sebelumnya tidak mereka temukan sehingga
mereka harus berijtihad untuk menemukan jawaban dan pendapat sesuai syari’at
Islam.
6. Akulturasi
budaya dengan bangsa-bangsa lain
7. Penulisan
ilmu dan penerjemahan kitab
b. Kodifikasi Ilmu Pengetahuan
Fatwa
dan qodha’ (keputusan hakim) yang dikeluarkan para sahabat dan tabi’in belum
sempat ditulis dan hanya berupa periwayatan. Pemikiran untuk menulis semua itu
baru muncul pada akhir zaman bani umayyah ketika para pengikut menulis sebagian
fatwa para guru-guru mereka karena takut lupa.
Sejak
saat itulah muncul keinginan untuk menulis semua hokum fiqih yang diawali oleh
para Fuqoha’ ketika mereka mengumpulkan sebagian fatwa guru mereka dari
kalangan sahabat dan tabi’in seperti Aisyah, ibnu Umar, dan Ibnu Abbas. Seperti
yang dilakukan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’.[7]
1. Dinamika
Penulisan Fiqih Islam
·
Seorang faqih
menulis fatwa dan pendapatnya sendiri
·
Kemudian ia membacakan
kepada muridnya, atau mendengarkan muridnya membaca fatwanya.
·
Murid mencatat
fatwa-fatwa gurunya
2. Metodologi
Penulisan Fiqih Islam
·
Menulis fiqih
bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sahabat), contohnya kitab al-Muwatha’
·
Menulis fiqih
yang lepas dari hadis dan atsar (ucapan sahabat), seperti kitab al-Kharaj.
·
Penulisan fiqih
beraliran madzhab
3. Penulisan
ilmu Ushul Fiqih
Imam
as-Syafi’I adalah orang yang pertama mengumpulkan kaidah-kaidah ushul fiqih dan
menyusunnya dalam satu kitab yaitu ar-Risalah. Buku ini merupakan karya pertama
yang ditulis dalam bidang ushul fiqih. Beliau mempunyai jasa yang besar dalam
pengumpulan aturan ini yang sebelumnya tidak ada dan menjadi satu ilmu yang
mandiri.[8]
c. Pembentukan Madzhab-Madzhab Fiqh
Di
permulaan periode Bani Abasiyah lahirlah Imam-imam mujtahid yang kenamaan dari
golongan ahli hadis dan ahli Qiyas yang mempunyai pengikut masing-masing dan
yang dibukukan fatwa-fatwanya.[9]
Karena
perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan pemikiran setiyap
wilayah, pemikiran hukum islam berkembang kedalam sejumlah madzhab pemikiran
yang berbeda, diantaranya para imam mujtahidin yang muncul pada periode ini
adalah imam empat, yang sampai saat ini madzhabnya masih dianut umat Islam.[10]
Madzhab
pemikiran irak, misalnya lebih menekankan pada penggunaan pemikiran spekulatif
dalam hokum ketimbang madzhab madinah, yang bersandar pada hadis.[11]tokoh
paling otoritatif dalam madzhab ini adalah Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu
Nu’man ibn Tsabit. Abu Hanifah menjadi ahli hokum pertama dan paling
berpengaruh dalam Islam. Abu Hanifah sebenarnya bukanlah orang yang pertama
mengenalkan, meskipun menekankan, prinsip deduksi analogis yang menghasilkan
apa yang kita sebut sebagai fiksi hukum. Ia juga menekankan prinsip
“preferensi” atau yang kita sebut istihsan, yang melepaskan pada analogi untuk
mengejar keadilan yang lebih besar. Ia menjadi pendiri madzhab hukum Islam yang
paling awal, terbesar dan yang paling toleran.
Pemimpin
madzhab Madinah yang lebih akrab dengan kehidupan dan pola piker Nabi, adalah
Malik ibn Anas penulis kitab al-Muwatha’. Kitab tersebut merupakan kitab hokum
Islam tertua yang pernah ditemukan.
Berisi hadis-hadis hukum, menghimpun sunah-sunah Nabi, membuat rumusan pertama
tentang ijma’ (konsensus) masyarakat Madinah, dan menjadi kitab hokum madzhab
maliki.
Antara
madzhab Irak yang liberal dan madzhab Madinah yang konservatif, muncul madzhab
lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah, menerima pemikiran spekulatif
dengan catatan tertentu. Madzhab itu didirikan oleh Muhammad ibn Idris
as-Syafi’i.Ia belajar pada Imam Malik, Madzhab ini juga diikuti oleh mayoritas
umat Islam di Indonesia.
Madzhab
terakhir yang dianut oleh komunitas Islam, selain Syi’ah adalah madzhab Hambali,
yang didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal, murin Syafi’I dan pengusung ketaatan
mutlak terhadap hadis. Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoksi di
Baghdad terhadap berbagai inovasi kalangan muktazilah. Beliau menjadi korban
inkuisisi (mihnah). Karyanya adalah kitab Musnad ibn Hanbal.[12]
d. Madzhab-madzhab yang Terlupakan
Selain
Imam empat madzhab diatas masih ada banyak imam madzhab yang lain, yang
terlupakan atau tidak banyak dikenal oleh umat Islam.Contohnya Zahiri, al-
Auza’i dan Tsauri.
Pengaruh
hukum Romawi-Bizantium, yang selama berabad-abad telah mapan diSuriah,
Palestina dan Mesir, tidak terlihat jelas dalam system pemikiran al Auza’i dari
Suriah yang tinggal di Beirut.Ia adalah murid Imam Malik bersama dahiri.Nama
aslinya al-Auza’I Abu Amr Abd al-Rahman ibn Amr ibn Muhammad (w.157 H).
Al-
Dahiri aslinya bernama Dawud ibn Khalaf al Isbahani, dijuluki al Dhahiri karena
ia hanya menggambil makna text atau literal al-Qur’an dan al-Hadis sebagai
pegangan.Imam Daud al-Zahiri menolak al-qiyas dan mengajukan al-dalil sebagai
cara memehami nash.[13]
Selain
itu ada pendiri madzhab yang bernama Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri yang
wafat tahun 160 H.[14]
III.
Penutup
Demikian
tadi makalah mengenai Kondisi dan perkembangan Hukum Islam pada masa Daulah
Bani Abasiyah, dimana Hukum Islam pada Waktu itu sedang berada di puncak
kejayaannya.
Dari
penulisan makalah diatas, dapat penulis simpulkan, sebagai berikut:
1.Fiqih Islam pada masa
Daulah Bani Abasiyah sedang mencapai puncak kejayaan karna adanya penghargaan
dari khalifah.
2.Kebebasan
berpendapat, perbedaan social budaya adat istiadat melahirkan madzhab-madzhab
dalam hokum Islam.
3.Pemikiran-pemikiran
Madzhab dari periode inilah yang masih diikuti oleh Umat Islam sampai sekarang,
contohnya mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i.
Dalam
penulisan makalah ini tentu masih banyak kurangnya, olehkarena itu, kritik dan
saran penulis harapkan, guna penyempurnaan pengetahuan bagi penulis khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Badri
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta:Rajagrafindo Persada. 2010
Ibnu
Khaldun, Muqoddimah. Beirut:Daar
al-Kitab. Tt.
Mubarok,
Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:Remaja
Rosdakarya.
2000
Naim,
Ngainun. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta:Teras.2009
K.Hitti,
Philip. History of The Arabs. Jakarta:Serambi
Ilmu Semesta. 2002
Rasyad
Hasan Khalil, Rasyad. Tarikh Tasyri’
Sejarah Legislasi Hukum Islam.
Jakarta:Amzah. 2009
Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiey, Teungku. Pengantar
Hukum Islam.
Semarang:Pustaka Rizqi Putra. 2001
[1]
Philip K.Hitti, History of The Arabs.
Jakarta:Serambi Ilmu Semesta. 2002. Hlm.496
[2]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta:Rajagrafindo Persada. 2010. hlm.49
[3]
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’
Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta:Amzah. 2009. hlm.115
[4]
Ibid. hlm 114
[5]
Ibid.hlm.102
[6]
Badri Yatim, Op.Cit. hlm.54
[7]
Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hlm. 110
[8]
Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hlm.113
[9]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiey, Pengantar
Hukum Islam. Semarang:Pustaka Rizqi Putra. 2001. Hlm.62
[10]
Philip K.Hitti, Op.Cit. hlm.497
[11]
Ibnu Khaldun, Muqoddimah.Beirut:Daar
al-Kitab. Tt. Hlm.372
[12]
Philip K.Hitti, Op.Cit. hlm.497-500
[13]
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:Remaja
Rosdakarya. 2000. Hlm.126
[14]
Jaih Mubarok, Ibid. hlm 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar