PERANAN ASTRONOMI
DALAM PENENTUAN WAKTU SHALAT
MAKALAH INI DIBUAT GUNA MEMENUHI TUGAS KULIAH
Astronomi Bola II
Dosen
Pengampu: LM. Sabri, MT
Disusun oleh
Diana Fitriawati (092111093)
Nur Alivah
KONSENTRASI
ILMU FALAK
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) WALISONGO
SEMARANG
TAHUN AJARAN
2011
1.
Pendahuluan
Dengan nama Allah SWT Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,
yang telah menciptakan cakrawala untuk tempat beredar matahari, bulan, dan
bintang gemintang. Sebagai tanda waktu untuk hamba yang melakukan segala
aktifitas detik demi detik, untuk mereka yang shalat, mereka itulah orang-orang
yang mendapatkan kasih sayang.
Shalawat
shalawat serta salam marilah kita hanturkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW sebagai rasul akhir zaman, beserta keluarga, para sahabat, dan
orang-orang yang beriman yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah,
sebagai petunjuk dalam menjalani
kehidupan di dunia.
Dalam
pembahasan waktu-waktu shalat ini yang dimaksud adalah sebagaimana yang telah
kita ketahui bersama, yaitu waktu-waktu shalat lima waktu, yakni dzuhur, ashar,
maghrib, isya dan shubuh dan ditambah lagi waktu imsak, terbit matahari, dan
waktu dhuha.
Dalam
perhitungan penentuan waktu shalat tidak lepas dari peran peredaran gerak semu
matahari. Waktu shalat sangat berkaitan dengan peristiwa peredaran semu
matahari relatif terhadap bumi yang pada dasarnya untuk menetukan waktu shalat
diperlukan letak geografis, waktu, dan ketinggian. Sementar itu berdasarkan
observasi yang dilakukan para astronom
diketahui bahwa perjalanan matahari relatif tetap, maka terbit, tergelincir dan
terbenamnya dengan mudah dapat diperhitungkan termasuk kapan matahari itu akan
membentuk bayangan suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat
diperhitungkan untuk setiap hari sepanjang tahun. Maka disinilah peran
astronomi juga sangat diperlukan dalam penentuan waktu shalat.
2.
Pembahasan
a) Waktu-waktu
Shalat
Dari keterangan
al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan berdasarkan berbagai penelitian
dalam ilmu Falak, maka dapat dijelaskan secara rinci ketentuan aktu-waktu
shalat sebagai berikut:[1]
1. Awal Waktu Zhuhur
Waktu dzuhur dimulai
apabila matahari tergelincir pada tengah hari tepat. Dalam Al-qur’an Surah
Al-Isra ayat 78 difirmankan dengan “lidulikisysyamsi” yakni sejak
tergelincir matahari. Dalam ilmu Falak dikenal dengan istilah matahari
berkulminasi yaitu sesaat setelah matahari mencapai kedudukannya yang tertinggi
di langit dalam perjalanan hariannya sampai datangnya waktu ashar.
2. Awal Waktu Ashar
Waktu ashar selama matahari belum
menguning dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Tirmidzi
dari Jabir bin Abdullah ra. Disebutkan dimulai apabila panjang bayang-bayang
sebuah benda sama panjang dengan bendanya, Dalam surah Qaaf ayat 39 disebutkan
awal aku shalat adalah “qablaghuruub” yakni sampai sebelum terbenamnya
matahari.
3. Awal Waktu Maghrib
Waktu maghrib dimulai sejak matahari
terbenam atau sperti yang disebutkan dalam surah Hud ayat 114 sebagai “zulafam
minal lail” yakni bagian permulaan malam yang ditandai dengan terbenamnya
matahari atau terlihatnya mega merah dilangit sampai datangnya waktu isya atau
hilangnya mega merah.
4. Awal Waktu Isya
Waktu isya dimulai sejak hilangnya
syafaq (mega merah pada awan dilangit bagian barat dan berakhirnya saat
datangnya fajar(awal waktu shubuh).
5.. Awal Waktu Imsak
Waktu imsak merupakan waktu
ihtiyat(hati-hati) untuk imsak dalam melakukan puasa. Sebagai dasarnya hadits
dari Anas bin Zaid bin Tsabit, ia berkata “kami sahur bersama Rasulullah
kemudian kami melakukan shalat shubuh” saya berkata; “berapa lama ukuran antara
sahur dan shubuh”? nabi bersabda :”seukuran membaca 50 ayat al-Qur’an” para
ulama berbeda pendapat tentang lama membaca 50 ayat tersebut, ada yang
mengatakan lamanya selama melakukan wudlu, ada yang menyatakan lamanya sekitar
12 menit. [2]
6. Awal Waktu Shubuh
Waktu
shubuh dimulai sejak terbit fajar dan berakhir saat terbit matahari. Atau dalam
surah At-Thuur ayat 49 waktu shubuh dimulai sejak “idbarannujum” yakni
menghilangnya atau meredupnya bintang-bintang dan berakhhir seperti yang
disebutkan dalam surah Qaaf ayat 39 saat “ thuulu ‘isysyamsi” yakni
terbitnya matahari.
7. Waktu Terbit
Terbit matahari ditandai dengan
piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk sebelah timur, sehingga
ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk maghrib berlaku pula untuk waktu
matahari terbit.[3]
8.Waktu Dhuha
Dalam wacana fiqh, awal Dhuha
dimulai sejak matahari naik setinggi tombak.[4]
b) Dalil-Dalil Syar’i Waktu
Shalat
ﻋﻦ ﺠﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺑﺪ ﺍﻟﻟﻪ ﺮﺿﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻘﺎﻞ ﺍﻥ
ﺍﻟﻨﺑﻰ ﺼﻠﻌﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺠﺑﺮﻴﻝ ﻋﻟﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻢ ﻔﻘﺎﻞ ﻟﻪ ﻘﻢ ﻔﺻﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻟﻇﻬﺭ ﺤﺗﻰ ﺰﺍﻠﺖ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﺛﻡ
ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻠﻌﺼﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺎﺭ ﻆﻞ ﻜﻞ ﺷﻴﺊ ﻤﺜﻟﻪ ﺛﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻤﻐﺮﺏ ﻔﻘﺎﻞ
ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻤﻐﺮﺏ ﺤﻴﻥ ﻭﺟﺑﺕ ﺍﻠﺸﻤﺲ ﺜﻡ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﺤﻴﻦ
ﻏﺎﺏ ﺍﻠﺷﻔﻕ ﺜﻢ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻔﺠﺮ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻢ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺻﻟﻰ ﺍﻠﻔﺟﺮ ﺤﻴﻥ ﺑﺮﻕ ﺍﻠﻔﺠﺮ ﻮﻗﺎﻞ ﺴﻄﻊ ﺍﻠﺑﺤﺭ ﺜﻢ
ﺟﺎﺀﻩ ﺑﻌﺪ ﺍﻠﻐﺪ ﺍﻠﻆﻬﺭ ﻔﻘﺍﻞ ﻗﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻠﻈﻬﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺍﺭ ﻅﻝ ﻜﻝ ﺷﻴﺊ ﻤﺜﻠﻪ ﺜﻢ ﺠﺎﺀﻩ
ﺍﻠﻌﺼﺭ ﻔﻗﺎﻞ ﻘﻢ ﻔﺻﻟﻪ ﻔﺻﻟﻰ ﺍﻠﻌﺼﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺎﺭ ﻆﻞ ﻜﻝ ﺸﻴﺊ ﻤﺛﻟﻪ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﻘﺗﺎ ﻮﺍﺤﺩﺍ
ﻠﻡ ﻴﺰﻞ ﻋﻨﻪ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﺤﻴﻥ ﺬﻫﺐ ﻨﺼﻑ ﺍﻠﻠﻴﻝ ﺍﻮﻗﺎﻞ ﺜﻠﺚ ﺍﻠﻟﻴﻝ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻌﺷﺎﺀ ﺤﻴﻦ
ﺟﺎﺀﻩ ﺣﻳﻥ ﺍﺴﻔﺮ ﺠﺪﺍ ﻔﻘﺍﻞ ﻗﻡ ﻔﺼﻠﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺜﻡ ﻘﺎﻞ ﻤﺎ
ﺑﻴﻥ ﻫﺬﻴﻥ ﺍﻟﻮﻗﺘﻴﻥ ﻭﻘﺖ ) [5].ﺮﻭﺍﻩ ﺍﺤﻤﺪ ﻮﺍﻠﻨﺴﺎﺉ ﻮﺍﻟﺘﺭﻤﺬﻱ ﻴﻧﺤﻮﻩ (
“Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata telah datang kepada Nabi saw, Jibril a.s lalu
berkata kepadanya ; bangunlah! lalu salatlah, kemudian Nabi saw salat Zuhur di
kala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kapadanya di waktu Asar lalu
berkata : bangunlah lalu salatlah!. Kemudian Nabi saw salat Asar di kala
bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di
waktu Magrib lalu berkata : bangunlah lalu salatlah, kemudian Nabi saw salat Magrib
di kala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya lalu
berkata : bangunlah dan salatlah! Kemudian Nabi salat Isya di kala matahari
telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata :
bangunlah dan salatlah! kemudian Nabi saw salat fajar di kala fajar
menyingsing. Ia berkat : di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok
harinya pada waktu Zuhur, kemudian berkata kepadanya : bangunlah lalu salatlah,
kemudian Nabi saw salat Zuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya.
Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Asar dan ia berkata : bangunlah dan
salatlah! kemudian Nabi saw salat Asar di kala bayang-bayang matahari dua kali
sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kapadanya di waktu Magrib dalam waktu yang
sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya
di waktu Isya di kala telah lalu separuh malam, atau ia berkata : telah hilang
sepertiga malam, Kemudian Nabi saw salat Isya. Kemudian ia datang lagi
kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata ; bangunlah lalu
salatlah, kemudian Nabi salat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu
itu adalah waktu salat.” (HR. Imam Ahmad, Nasa’i dan Thirmizi).
Waktu Shalat Ashar
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ
عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَخَّرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا فَدَخَلَ عَلَيْهِ
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ فَأَخْبَرَهُ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخَّرَ
الصَّلَاةَ يَوْمًا وَهُوَ بِالْعِرَاقِ فَدَخَلَ عَلَيْهِ أَبُو مَسْعُودٍ
الْأَنْصَارِيُّ
فَقَالَ مَا هَذَا
يَا مُغِيرَةُ أَلَيْسَ قَدْ عَلِمْتَ أَنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَزَلَ فَصَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ بِهَذَا أُمِرْتُ
فَقَالَ عُمَرُ
لِعُرْوَةَ اعْلَمْ مَا تُحَدِّثُ أَوَأَنَّ جِبْرِيلَ هُوَ أَقَامَ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقْتَ الصَّلَاةِ قَالَ عُرْوَةُ
كَذَلِكَ كَانَ بَشِيرُ بْنُ أَبِي مَسْعُودٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
عُرْوَةُ وَلَقَدْ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ فِي حُجْرَتِهَا
قَبْلَ أَنْ تَظْهَرَ
“Sesungguhnya
pada suatu hari, Mughirah mengakhirkan shalat ketika berada di negara Irak.
Maka kemudian Abu Mas’ud al-Anshari masuk dan berkata: Apakah ini wahai Mughirah?
Bukankah engkau telah mengetahui bahwa sesungguhnya Jibril saw. telah turun
kemudian shalat, lalu Rasulullah saw. pun shalat mengikutinya dst. Maka Nabi
pun bersabda: Dengan shalat lima kali inilah aku diperintah. Setelah itu, Umar
bertanya kepada Urwah: Ketahuilah terhadap apa yang engkau sampaikan, apakah
sesungguhnya Jibril merupakan malaikat yang mendirikan waktu shalat bagi
Rasulullah? Urwah menjawab: Begitulah yang saya yakini. Basyir bin Abi Mas’ud
berkata dari ayahnya. Urwah menambahi: Aisyah telah berkata padaku bahwa Rasulullah
shalat asar ketika matahari masih berada di ruangannya sebelum ia nampak”[6]
حَدَّثَنَا أَبُو
الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ
بْنُ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْعَصْرَ
وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ فَيَذْهَبُ
الذَّاهِبُ إِلَى الْعَوَالِي فَيَأْتِيهِمْ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
وَبَعْضُ
الْعَوَالِي مِنْ الْمَدِينَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالٍ أَوْ نَحْوِهِ
Anas bin Malik berkata,
“Rasulullah shalat ashar ketika matahari masih tinggi dan belum berubah
warna dan panasnya. Maka, pergilah orang-orang yang pergi (di antara kami)
ke tempat-tempat tinggi. Ia datang kepada mereka dan matahari masih tinggi
Sebagian tempat yang tinggi dari Madinah adalah empat mil atau sekitar itu.”[7]
Waktu Shalat Maghrib
حَدَّثَنَا
الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ
سَلَمَةَ قَالَ
كُنَّا
نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَغْرِبَ إِذَا
تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ
Salamah berkata, “Kami shalat maghrib
bersama Nabi apabila matahari telah tertutup oleh tabir.”[8]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّجَاشِيِّ صُهَيْبٌ مَوْلَى رَافِعِ
بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ يَقُولُ
كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ
Rafi’ bin Khadij
berkata, “Kami shalat maghrib bersama Nabi, lalu seorang di antara kami pergi,
dan sesungguhnya dia masih dapat melihat jatuhnya anak panahnya.”[9]
Waktu Shalat Shubuh
حَدَّثَنَا عَمْرُو
بْنُ عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ حَدَّثَهُ
أَنَّهُمْ
تَسَحَّرُوا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامُوا
إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ أَوْ سِتِّينَ
يَعْنِي آيَةً
Dari Anas bin Malik (dan dalam satu riwayat
darinya bahwa Zaid bin Tsabit bercerita kepadanya) bahwa Nabiyullah dan Zaid
bin Tsabit makan sahur bersama. Tatkala keduanya telah selesai sahur, Nabi
berdiri pergi shalat, maka shalatlah beliau. Aku bertanya kepada Anas, “Berapa
lama antara keduanya selesai makan sahur dan mulai shalat?” Anas berkata,
“Sekitar (membaca) lima puluh ayat”[10]
B. Kedudukan dan Tinggi Matahari dalam Penentuan Waktu Shalat.
Bertolak dari ketentuan-ketentuan syar’i tentang waktu-waktu shalat diatas,
yakni tergelincirnya matahari panjang pendeknya bayang-bayang sesuatu, terbenam
matahari dan lain sebagainya, seluruhnya merupakan fenomena matahari.[11]
Sementara yang dimaksud dengan tinggi matahari dalam kajian ini adalah
ketinggian posisi matahariyang terlihat pada awal dan akhirwaktu shalat yang di
ukur dari ufuk. Karena itu, dalam penentuan awal waktu shalat,m data astronomi
(zij) terpenting adalah posisi matahari, terutama tinggi, h, atau
jarak zenit (bu’du as-sumti), Zm= 90۫ – h. fenomena
awal fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise),
matahari melintasi meridian (culimination), matahari terbenam (sunset),
dan akhir senja (evening twilight) berkaitan dengan jarak zenit
matahari. [12]
Kedudukan
dan tinggi matahari dalam penentuan awal waktu shalat adalah sebagai berikut:
1. Tinggi Matahari Awal Waktu Zhuhur
Sebenarnya
data tinggi matahari untuk menghitung awal waktu zhuhur tidak diperlukan karena
data untuk awal waktu zhuhur secara langsung dapat dilihat almanak-almanak
astronomis yaitu data saat matahari berkulminasi[13].
Pada hakeketnya waktu zhuhur dimulai sesaat matahari terlepas dari titik
kulminasi atas, atau matahari terlepas dari meridian langit, biasanya biambil
sekitar 2 menit setelah lewat matahari.[14]
Pada saat
itu waktu pertengahan belum tentu menujukkan jam 12, melainkan kadang masih
kurang atau bahkan sudah lebih dari jam 12 tergantung pada nilai equation of
time (e). Oleh karenanya, waktu pertengahan pada saat matahari berada di
meridian (Meridian Pass) dirumuskan dengan MP = 12-e. sesaat waktu
itulah sebagai permulaan waktu zhuhur menurut waktu pertengahan dam waktu ini
pulalah sebagai pangkal hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.[15]
2. Tinggi Matahari Awal Waktu Ashar
Awal
waktu ashar dimulai ketika bayangan matahari sama dengan benda tegaknya,
artinya apabila pada saat matahari berkulminasi atas membuat bayangan senilai 0 (tidak ada bayangan) atau
juga pada saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya yaitu apabila
matahari berkulminasi sudah mempunyai bayangan sepanjang benda tegaknya.
Keadaan seperti ini dipengaruhi oleh deklinasi matahari. Berdasarkan penjelasan
diatas maka secara astronomis tinggi matahari pada awal waktu ashar ada dua
pendapat.[16]
1. Apabila bayang-bayang suatu benda sama panjang
dengan bendanya maka tinggi matahari dapat dirumuskan dengan:
Cotan ashar = tan /p-δ/+1
atau
Cotan ashar = tan ZM +
1 ø
2. Apabila bayang-bayang suatu
benda dua kali panjang bendanya, maka tinggi matahari dapat dirumuskan dengan:
Cotan
ashar = tan /p-δ/ + 2
atau
Cotan
ashar = tan ZM + 2
Sementara
panentuan awal waktu asharnya di selesaikan dengan rumus:
Cos t =
-tanφ tan δ + sin ashar : cos φ : cos φ, kemudian ditambah atau dikurang dengan koreksi waktu dan
ihtiyat.
3. Tinggi Matahari Awal Waktu Maghrib
Waktu
maghrib dirumuskan secara astronomis sebagai keadaan bila piringan bagian atas
matahari berimpit dengan ufuk mar’I (horison visible atau horison yang
terlihat) .[17]
Piringan matahari berdiameter 32 menit busur, setengahnya berarti 16 menit
busur, selain itu di dekat horison terdapat refraksi (inkisar al-jawwi) yang
menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari kenyataan sebenarnya yang
diasomsikan 34 menit busur.[18]
Selanjutnya oleh ketinggian mata kita di atas perrmukaan bumi menjadikan ufuk
mar’i teerlihat lebih rendah, peristiwa ini disebut dengan kerendehan ufuk.
Keadaan-keadaan itu seetelah dilakukan penelitian astronomis bahwa jaraj zenit
matahari pada saat itu = 90۫˚ + (34΄ + 16΄
+ 10) untuk tempat yang berada di tepi pantai, atau sama dengan 91۫˚ atau dengan demikian tinggi matahari pada
saat itu = -1˚. Untuk tempat-tempat lain hendaknya disesuaiakan tinggi tempat
itu dan pengaruhnya terhadap kerendahan ufuk dengan rumus D΄= 1,75√m.
Untuk
penentuan maghrib diselesaikan dengan rumus
Cos t =
-tan φ tan δ + sin -1˚ : cos φ : cos δ
Untuk penentuan waktu maghrib, saat matahari terbenam
biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan shalat tepat saat
matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.
4. Tinggi Matahari Awal Waktu Isya
Menurut
pengertian astronomi waktu isya saat
dimana bintang-bintang di langit cahayanya mencapai titik maksimal saat pecinta
perbintangan mulai melakukan aktifiitasnya (astronomical twilight). Dimana tinggi matahari
pada saat itu sudah mencapai -18˚. Untuk penentuan awal waktu isya dicari
dengan rumus :
Cos t = -tan φ tan δ + sin -18˚ : cos φ : cos δ, selanjutnya koreksi waktu dan
ihtiyat.
5. Tinggi
Matahari Waktu Imsak
Terdapat banyak perbedaan pendapat
jarak waktu imsak yangdiisyaratkan nabi seukuran membaca 50 ayat al-Qur’an .
salah satunya menurut Muhyiddin Khazin dalam bukunya “Ilmu Falak dalam Teori
dan Praktik” waktu yang diperlukan untuk membaca 50 ayat al-Qur’an itu sekitar
8 menit maka itu sama dengan 2˚k tinggi matahari pada waktu imsak (h im)
ditetapkan -22˚ dibawah ufuk timur atau h im
= -22˚.
6. Tinggi
Matahari Awal Waktu Shubuh
Fenomena awal shubuh hampir sama
dengan awal isya. Apabila isya ditandai dengan bintang-bintang dilangit
cahayanya mencapai titik maksimal akibat hilangnya cahaya merah di langit
sebelah timur yang menandakan adanya perubahan dati terng ke gelap, maka shubuh
ditandai dengan mulai surtnya cahaya bintang-bintang dilangit disebabkan oleh
pengaruh sinar matahari yang datang dilangit sebelah timur yang menandakan adanya
perubahan dari gelap ke terang. Pada saat itu jarak zenit matahari adalah 90˚ +
20˚ atau tinggi matahari pada saat itu = -20˚. Untuk menentukan awal waktu isya
dapay dicari dengan rumus :
Cos t = -tan φ tan δ + sin -20˚ : cos φ : cos δ.[19]
7. Tinggi
Matahari Waktu Terbit
Terbitnya matahari ditandai dengan
piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk sebelah timur, sehingga
ketentuan yang berlaku pada waktu maghrib berlaku pula untuk waktu matahari
terbit. Oleh karena itu, waktu shubuh ditandai dengan posisi matahari berada
pada ketinggian matahari -1˚ disebelah timur.
8. Tinggi
Matahari Waktu Dhuha
Waktu dhuha dimulai ketika matahari
setinggi tombak, dapat pula diaplikasikan dengan ukuran falakiyah apabila
matahari naik setinggi 3˚ 30˚ oleh karena itu h dl
= 3˚ 30˚
PENUTUP
Dari pemaparan diatas maka jelaslah bahwa dalam
perhitungan penentuan waktu shalat tidak lepas dari peran peredaran gerak semu
matahari. Waktu shalat sangat berkaitan dengan peristiwa peredaran semu
matahari relatif terhadap bumi yang pada dasarnya untuk menetukan waktu shalat
diperlukan letak geografis, waktu, dan ketinggian. Sementar itu berdasarkan
observasi yang dilakukan para astronom
diketahui bahwa perjalanan matahari relatif tetap, maka terbit, tergelincir dan
terbenamnya dengan mudah dapat diperhitungkan termasuk kapan matahari itu akan
membentuk bayangan suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat
diperhitungkan untuk setiap hari sepanjang tahun. Maka disinilah peran
astronomi juga sangat diperlukan dalam penentuan waktu shalat.
Demikianlah makalah tentang “Peranan Astronomi Dalam
Penentuan Awal Waktu Shalat” yang kami buat. Selaku manusia yang merupakan
mahluk tempat salah, khilaf, dan lupa, kami menyadari tak ada gading yang tak
retak, tak ada yang sempurna kecuali Allah SWT, dan pasti dalam makalah
sederhana yang kami buat ini terdapat banyak kekelliruan dan kesalahan. Kami
mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan bagi
yang selanjutnya. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat yang sebesar-besarnya
dan dapat menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Khazin, Muhyiddin.
2004. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Izzuddin, Ahmad. 2006. ILMU FALAK
PRAKTIS (Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya). Semarang:
Komala Grafika Dengan IAIN Walisongo.
Azhari, Susiknan, Dr, MA. 2007. ILMU
FALAK Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.
Murtadho, Moh, Drs, M.HI. 2008. Ilmu
Falak Praktis. Malang: UIN-Malang Press.
Toruan, M. S. L. 1957. Ilmu Falak
(Kosmografi). Semarang: Banteng Timur.
Maskufa, Dra, MA. 2009. Ilmu
Falaq. Jakarta: Gaung persada (GP
Press)
Rachim,
Abdul, Drs. 1983. Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty.
[1] Dra. Maskufa, MA.
Ilmu Falaq. Gaung Persada (GP
Press). 2009. hal 97-98
[2] DRS.
Moh. Murtadho, M.HI. Ilmu
Falak Praktis. UIN Malang Press. 2008. hal. 185-186
[3] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak
dalam Teori dan Praktik. Buana Pustaka. 2008. hal.93
[4] Drs.
Moh. Murtadho. Op cit. hal 187
[5]
Al-Hafiz Jalal al-Din al-Suyuthi, Sunan al-Nisa’i, Beirut – Libanon :
Dar al-Kutub al-Alamiah, hlm. 263.
[11]
Muhyiddin Khazin. Op cit hal. 87
[12] Dr. Susiknan Azhari, MA.
Ilmu Falak (perjumpaan khazanah islam dan sains modern). Suara
Muhammadiyah. 2007. hal.66
[13] Dra
Maskufa op cit hal. 98-99
[14] Dr.
susiknan Azhar. Op cit hal 66
[15]
Muhyiddin Khazin. Op cit 88
[16] Dra. Maskufa. MA. Op cit hal. 100
[17] Ibid hal 100
[18] Dr.
susiknan Azhari op cit hal 67
[19] Dra, Maskufa, MA. Op cit hal
102-103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar