Hukum keluarga
BAB I
Pendahuluan
BAB II
Pembahasan
1.
KONSEP DASAR
1)
DEFINISI HUKUM KELUARGA
Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan
ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,
perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah
pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran
yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian
keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah
dari istri (suaminya).
2)
ASAS HUKUM KELUARGA
2.
PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan[1]
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan YME (UU No. 1 Thn. 1974)
2. Syarat-syarat Perkawinan
Menurut UU No. 1 Thn. 1974 adalah
sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 s.d 12 adalah sebagai berikut :
1) adanya
persetujuan kedua calon mempelai
2) adanya izin
kedua orang tua (wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun
4) Antara calon
mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah
5) Tidak ada
dalam ikatan perkawinan
6) Tidak
melarang ke3 kalinya untuk menikah
7) Tidak
dalam masa idah bagi calon mempelai wanita
3. Pencatatan dan Tata Cara Perkawinan
·
setiap orang
yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kepada pegawai pencatat
perkawinan (bagi beragama islam) dan kantor catatan sipil bagi non muslim
·
Pemberitahuan
memuat nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman, pemberitahuan harus sudah
disampaikan selambat-lambatnyan 10 hari
·
Setelah
pegawai pencatatan menerima pemberitahuan maka pegawai pencatat perkawinan
melakukan penelitian (pasal 6 ayat(2) PP No.9 1975)
·
Apabila
ketentuan tentang pemberitahuan dan penelitian telah dilakukan maka melakukan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dan
pengumuman tersebut ditanda tangani oleh pegawai pencatat perkawinan
4. Pencegahan Perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan (pasal 13 Jo. 20)
Orang-orang yang dapat mencegah
pernikahan adalah:
1) para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari salah seorang
mempelai
2) saudara dari
salah seorang mempelai
3) wali nikah
dari salah seorang mempelai
4) pihak-pihak
yang berkepentingan
pencegahan perkawinan di ajukan kepada
pengadilan dalam daerah hokum dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat
perkawinan dengan BW pencegahan perkawinan ini di atur pada pasal-pasal 13 s.d
21 UU No. 1 Thn. 1974
5. Pembatalan Perkawinan[3]
·
Perihal
pembatalan perkawinan diatur dalam UU No. 1 Thn 1974 pasal 22 s.d 28 dan
peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 pada pasal 37 dan 38
·
Permohonan
pembatalan perkawinan harus disampaikan kepada pengadilan daerah
·
Permohonan
pembatalan perkawinan tersebut dalam pasal 23,24, dan 27 UU No. 1 Thn. 1974
yaitu :
1) para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
2) suami atau
istri
3) pejabat
berwenang
6. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara
dua orang yang diindonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur-unsur perkawinan campuran :
1) perkawinan
antara seorang pria dan wanita yang berbeda
2) di Indonesia
tunduk pada hokum berlainan
3) karena
perbedaan kewarganegaraan
syarat-syarat perkawinan campuran adalah
menurut hokum yang berlaku kepada masing-masing pihak. bagi yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewernegaraan dari suami atau istrinya
dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya.
3.
KEKUASAAN ORANG TUA
Sebuah ikatan
perkawinan tidak akan pernah terlepas dengan hal-hal yang terkait dengan hak
dan kewajiban. Dan keduanya harus dipenuhi agar trwujud suatu kebahagiaan dalam
keluarga tersebut.
Adapun hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami istri dalam membina rumah tangga
sebagai berikut:
A. Hak Dan Kewjiban Antara Suami Istri
a) Hak dan kewajiban sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami istri.[4]
Hak dan kwajiban tersebt meliputi:
·
Suami istri saling setia, tolong menolong
dan saling bantu membantu atau hulp en
bijstand (pasal 105 BW).
·
Istri harus patuh pada suaminya (Pasal
105 BW).
·
istri wajib mengkuti suami (Pasal 106
ayat 2 BW)
·
suami wajib melindungi dan memberikan
segala sesuatu yang diperlukan istrinya, ssuai kedudukan dan kemampuannya
(pasal 107 BW)
·
suami istri saling mengikatkan secara
timbal balik untuk memelihara dan mendiik anak mereka (Pasal 104 BW dan Pasal
298 Ayat 2 BW).
b) Hak dan kwajiban suami sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami (maritale macht).[5]
·
Suami menjadi kepala kluarga dan
bertaggung jawab atas anak-anaknya.
·
Wajib nafkah (kwajiban alimentasi)
·
Istri mengikuti kwargangaraan dan tempat
tinggal suaminya
·
Istri berhak mngurus harta kekayaan
sendiri, jika sebelumnya diadakan prjanjian harta perkawinan pisah.
B. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Terhadap Anak-Anaknya
Orang tua memang memiliki kekuasaan
atas anak-anak mereka[6],
namun kekuasaan tersebut hendaklah mencerminkan adanya krsadaran akan kewajiban
mereka untuk bertindak bagi kepentingan anak-anaknya dan berusaha mmenuhi hak
dan kewajibannya.
v
Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak[7]
Dari ketntuan pasal 229 trkait dengan asas kekuasaan orang tua menyebutkan
bahwa:
·
Kekuasaan orang tua berada pada kedua
orang tua dan tidak hanya pada ayah saja.
·
Kekuasaan orang tua hanya ada pada
sepanjang perkawinan masih berlangsung, sehingga jika pekawinan itu bubar maka
kekuasaan orang tua itu pun berakhir.
·
Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang
orang tua menjalankan kewajiban dengan baik.
C. Hubungan Hukum Dalam Kaitannya Dengan Pihak Ketiga
4.
PERWALIAN [8]
Ketentuan
perwalian menurut KUH Perdata
Seperti diketahui bahwa dalam KUHPerdata ada
juga disebutkan pengertian dari Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3)
menyatakan :
“Mereka yang
belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat,
kelima dan keenam bab ini”.
v Perwalian
pada umumnya
Didalam
sistem perwalian menurut KUHPerdata ada dikenal beberapa asas, yakni :
- Asas tak dapat dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )
Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali,
hal ini tercantum dalam pasal 331 KUHPerdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini
mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu :
-
Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama
(langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi
medevoogd atau wali serta, pasal 351 KUHPerdata.
-
Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus
barang-barang minderjarige diluar Indonesia didasarkan pasal 361 KUHPerdata.
- Asas persetujuan dari keluarga.
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang
perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak
keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan
panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata
- Orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai Wali
Ada 3 (tiga)
macam perwalian, yaitu:
-
Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal
354 KUHPerdata.
Pasal 345
KUH Perdata menyatakan :
” Apabila
salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap
anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang
hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
orang tuanya.”
Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian
bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena
perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian
menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi
hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.
-
Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri.
Pasal 355
ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Masing-masing
orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang
anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika
kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena
penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh
orang tua yang lain”
Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang
menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau
perwalian tersebut memang masih terbuka.
-
Perwalian yang diangkat oleh Hakim[9].
Pasal 359
KUH Perdata menentukan :
“Semua
minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur
perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.
v Orang-orang
yang berwenang menjadi Wali
- Wewenang menjadi wali
Pada pasa
l332 b (1) KUHPerdata menyatakan “perempuan bersuami tidak boleh menerima
perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya”.
Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin
maka dalam pasal 332 b (2) KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari
pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.
Selanjutnya
pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata menyatakan :
“Apabila si
suami telah memberikan bantuan atau izin itu atau apabila ia kawin dengan
perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi
menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima
perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak
melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa
pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun
bertanggung jawab pula.”
v Mulainya
Perwalian
Dalam pasal
331 a KUHPerdata, disebutkan
- Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
- Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
- Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.
Berdasarkan pasal 362 KUH Perdata maka setiap
wali yang diangkat kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah dimuka balai
harta peninggalan.
v Wewenang
Wali
- Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian).
Dalam pasal
383 (1) KUH Perdata,
“Setiap wali
harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum
dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala
tindakan-tindakan.”
Artinya wali
bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi perwaliannya.
Dalam ayat 2 pasal tersebut ditentukan , “si
belum dewasa harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang memperoleh
perwalian berkewajiban menghormati si walinya.
v Tugas dan
Kewajiban Wali[10]
Adapun
kewajjban wali adalah :
- Kewajiban memberitahukan kepada Balai Hart Peninggalan.
Pasal 368 KUH Perdata apabjla kewajjban ini
tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat
dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
- Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
- Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
- Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (pasal 338 KUH Perdata).
- Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (pasal 389 KUH Perdata)
- Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (pasal 392 KUH Perdata)
- Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.
v Berakhirnya
Perwalian
Berakhirnya
perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
- dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
-
Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
-
Matinya si anak.
-
Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
-
Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.
- Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
-
Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
-
Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).
Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena
lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan
atas wali didalam pasal 382 KUHPerdata menyatakan :
- Jika wali berkelakuan buruk.
- Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan kecakapannya.
- Jika wali dalam keadaan pailit.
- Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut.
- Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
- Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 368 KUHPerdata).
- Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 372 KUHPerdata).
Ketentuan
perwalian menurut UU No.1 tahun 1974.
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan, pada pasal 50 disebutkan :
- Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
- Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
- Syarat-syarat Perwalian
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1)
Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang
memperoleh perwalian adalah :
- Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
- Anak-anak yang belum kawin.
- Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
- Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
- Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU
No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
- Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
- Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
- Kewajiban Wali
Menurut
pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:
- Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
- Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut .
- Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
- Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan
terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua dalam hal ini
wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang sbelum berumur 18 tahun atau belum melakukan
perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
5.
PENGAMPUAN
Kata pengampuan
berasal dari bahasa beland, yaitu curatele
secara harfiah, pengampuan berarti penyempitan dan pencegahan, yaitu pencegahan
terhadap seseorang dari kemungkinan mengelola hartanya.
BAB III
Kesimpulan
Dari pemaparan
diatas, dapat kami simpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan yang tidak hanya
dalam lahir saja, namun termasuk ikatan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu
keluarga. Dan dari ikatan inilah mereka mempunyai tugas yang sangat besar untuk
mengarungi kehidupan berumah tangga, yaitu terkait keberadaan seoranng anak.
Adanya beberapa tugas
yang harus mereka jalankan selaku orangtua yang paling berhak atas anak-anak
mereka, mulai dari merawat dari kcil hingga ia tumbuh dewasa, memberikan
pendidikan, sampai mengantrkan pada jenjang pernikahan.
Penutup
Demikian makalah ini kami sampaikan, Semoga makalah ini dapat memperluas wawasan
kita dan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk hidup yang
lebih baik. Karena “Tiada gading yang tak retak”, maka begitu pula
dengan makalah ini yang tentunya terdapat banyak
kekurangan baik dalam penulisan ataupun penyampaian. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran
dan kritik konstruktif dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Daftar pustaka
Mannan, Abdul, Dkk. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001.
Rosyidi, Lili, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaisya dan Indonesia, Bandung:
Offset Alumni.
Sudarsono, Hukum
Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Subekti, Hukum
Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta: Intermasa, 1990,
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
Titik Tri Wulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008
[1][1] Dalam pengertian yang
sebenarnya, kata ‘’nikah’’ berarti ‘’berkumpul’’, sedang dalam arti kiasan yang
berarti aqad atau perjanjian perkawinan. Lih. Lili Rosyidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaisya
dan Indonesia, (Bandung: Offset Alumni), hal. 3.
[2]Mengenai usia untuk dapat melangsungkan pernikhan telah ditetapkan oleh
Pasal 7 Undang-Undang perkawinan, bahwa pihak pria minimal berusia 19 tahun,
dan 16 tahun untuk pihak wanita, (bandingkan bahwa dalam KUH Perdata usia-usia
itu adalah 18 dan 15 tahun).
[3] Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila ternyata ia tidak memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau dilakukan secara
mlanggar prturan Undang-Undang. Lih, chal. 12.
[4] Dalam UU perkawinan meletakkan bahwasanya hak dan kedudukan dalam
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
antara suami dan istri adalah seimbang,
selengkapnya ,lih. UU perkawinan Pasal 34.
[5] Timbulnya asas Maritale Macht
sebagai akibat suatu panangan diperlukannya sorang pemimpin dalam sebuah
keluarga dengan memberikan wewenang kepada suami untuk mengurus sebagian besar
harta kkayaan. Asas kuno yang memiliki ksamaan dengan asas tersebut adalah
onbekwaamheid, yang menganggap rempuan tidak memilikii kecakapan.
[6] Terkait dengan kekuasaan orang tua terhadap anaknya telah diatur dalam
KUH Perdata Buku I Titel XIV Pasal
298-392, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 LN 1974-1 Pasal 45 s/d Pal 49.
[7] Sorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada
dibawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam
hubungan perkawinan.
[8] Perwalian merupakan pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta
seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak brada dalam kekuasaan orang
tua. Lih, Titik Tri Wulan Tutik, Hukum
Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana), 2008, hal. 88.
[9] Menurut pasal ini, BW nentukan ahwa pengadilan dapat menunjuk seorang
wali bagi yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, dan Hakim akan
mengangkat seorang wali yang disertai
wali pengawas yang harus mengawasi pekerjaan wali tersebut. Selengkapnya, lih. Sudarsono, Hukum
Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta), 1991, hal. 32.
[10] Disamping tugas serta kewajiban seorang wali, ia juga mungki
menghadapi tuntutan daripada anak yang berada dibawah perwliannya. Dan hak
tuntutan anak ini akan gugur jika tidak diajukan ddalam tenggang waktu spuluh
tahun. Selengkapnya, lih. Pasal 414 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
sugguh bagus sekali.. jgn lupa klik ya http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/sebaik-baik-orang-adalah-yang-bermanfaat.html
BalasHapussungguh bagus
BalasHapusDep. Perdata FH UII Selenggarakan Kuliah Umum Hadapi MEA Soal Perlindungan Konsumen