Global Variables

Rabu, 25 April 2012

HUKUM KELUARGA


Hukum keluarga
BAB I
Pendahuluan

BAB II
Pembahasan
1.      KONSEP DASAR

1)      DEFINISI HUKUM KELUARGA

Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).

2)      ASAS HUKUM KELUARGA

2.      PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan[1] adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME (UU No. 1 Thn. 1974)
2. Syarat-syarat Perkawinan
Menurut UU No. 1 Thn. 1974 adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 s.d 12 adalah sebagai berikut :
1) adanya persetujuan kedua calon mempelai
2) adanya izin kedua orang tua (wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun
3) usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 Thn dan wanita mencapai 16 Thn[2].
4) Antara calon mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah
5) Tidak ada dalam ikatan perkawinan
6) Tidak melarang ke3 kalinya untuk menikah
7) Tidak dalam masa idah bagi calon mempelai wanita
3. Pencatatan dan Tata Cara Perkawinan
·   setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan (bagi beragama islam) dan kantor catatan sipil bagi non muslim
·   Pemberitahuan memuat nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman, pemberitahuan harus sudah disampaikan selambat-lambatnyan 10 hari
·   Setelah pegawai pencatatan menerima pemberitahuan maka pegawai pencatat perkawinan melakukan penelitian (pasal 6 ayat(2) PP No.9 1975)
·   Apabila ketentuan tentang pemberitahuan dan penelitian telah dilakukan maka melakukan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dan pengumuman tersebut ditanda tangani oleh pegawai pencatat perkawinan
4. Pencegahan Perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan (pasal 13 Jo. 20)
Orang-orang yang dapat mencegah pernikahan adalah:
1) para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari salah seorang mempelai
2) saudara dari salah seorang mempelai
3) wali nikah dari salah seorang mempelai
4) pihak-pihak yang berkepentingan
pencegahan perkawinan di ajukan kepada pengadilan dalam daerah hokum dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan dengan BW pencegahan perkawinan ini di atur pada pasal-pasal 13 s.d 21 UU No. 1 Thn. 1974
5. Pembatalan Perkawinan[3]
·   Perihal pembatalan perkawinan diatur dalam UU No. 1 Thn 1974 pasal 22 s.d 28 dan peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 pada pasal 37 dan 38
·   Permohonan pembatalan perkawinan harus disampaikan kepada pengadilan daerah
·   Permohonan pembatalan perkawinan tersebut dalam pasal 23,24, dan 27 UU No. 1 Thn. 1974 yaitu :
1) para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
2) suami atau istri
3) pejabat berwenang
6. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang diindonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur-unsur perkawinan campuran :
1) perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda
2) di Indonesia tunduk pada hokum berlainan
3) karena perbedaan kewarganegaraan
syarat-syarat perkawinan campuran adalah menurut hokum yang berlaku kepada masing-masing pihak. bagi yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewernegaraan dari suami atau istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya.

3.      KEKUASAAN ORANG  TUA
Sebuah ikatan perkawinan tidak akan pernah terlepas dengan hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban. Dan keduanya harus dipenuhi agar trwujud suatu kebahagiaan dalam keluarga tersebut.
Adapun hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami istri dalam membina rumah tangga sebagai berikut:
A.    Hak Dan Kewjiban Antara Suami Istri
a)      Hak dan kewajiban sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami istri.[4]
Hak dan kwajiban tersebt meliputi:
·         Suami istri saling setia, tolong menolong dan saling bantu membantu atau hulp en bijstand (pasal 105 BW).
·         Istri harus patuh pada suaminya (Pasal 105 BW).
·         istri wajib mengkuti suami (Pasal 106 ayat 2 BW)
·         suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu yang diperlukan istrinya, ssuai kedudukan dan kemampuannya (pasal 107  BW)
·         suami istri saling mengikatkan secara timbal balik untuk memelihara dan mendiik anak mereka (Pasal 104 BW dan Pasal 298 Ayat 2 BW).
b)      Hak dan kwajiban suami sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami (maritale macht).[5]
·         Suami menjadi kepala kluarga dan bertaggung jawab atas anak-anaknya.
·         Wajib nafkah (kwajiban alimentasi)
·         Istri mengikuti kwargangaraan dan tempat tinggal suaminya
·         Istri berhak mngurus harta kekayaan sendiri, jika sebelumnya diadakan prjanjian harta perkawinan pisah.
B.     Hak Dan Kewajiban Suami Istri Terhadap Anak-Anaknya
Orang tua memang memiliki kekuasaan  atas anak-anak mereka[6], namun kekuasaan tersebut hendaklah mencerminkan adanya krsadaran akan kewajiban mereka untuk bertindak bagi kepentingan anak-anaknya dan berusaha mmenuhi hak dan kewajibannya.
v  Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak[7]
Dari ketntuan pasal 229 trkait dengan asas kekuasaan orang tua menyebutkan bahwa:
·         Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja.
·         Kekuasaan orang tua hanya ada pada sepanjang perkawinan masih berlangsung, sehingga jika pekawinan itu bubar maka kekuasaan orang tua itu pun berakhir.
·         Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban dengan baik.
C.     Hubungan Hukum Dalam Kaitannya Dengan Pihak Ketiga
4.   PERWALIAN [8]
Ketentuan perwalian menurut KUH Perdata
Seperti diketahui bahwa dalam KUHPerdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan :
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.
v  Perwalian pada umumnya
Didalam sistem perwalian menurut KUHPerdata ada dikenal beberapa asas, yakni :
  1. Asas tak dapat dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )
Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUHPerdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu :
-       Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal 351 KUHPerdata.
-       Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige diluar Indonesia didasarkan pasal 361 KUHPerdata.
  1. Asas persetujuan dari keluarga.
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata
  1. Orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai Wali
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
-       Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata.
Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :
” Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”
Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.
-       Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.
Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”
Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.
-       Perwalian yang diangkat oleh Hakim[9].
Pasal 359 KUH Perdata menentukan :
“Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.
v  Orang-orang yang berwenang menjadi Wali
    1. Wewenang menjadi wali
Pada pasa l332 b (1) KUHPerdata menyatakan “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya”.
Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam pasal 332 b (2) KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.
Selanjutnya pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata menyatakan :
“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.”
v  Mulainya Perwalian
Dalam pasal 331 a KUHPerdata, disebutkan
  1. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
  2. Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
  3. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.
Berdasarkan pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan.
v  Wewenang Wali
    1. Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian).
Dalam pasal 383 (1) KUH Perdata,
“Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan.”
Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi perwaliannya.
Dalam ayat 2 pasal tersebut ditentukan , “si belum dewasa harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang memperoleh perwalian berkewajiban menghormati si walinya.
v  Tugas dan Kewajiban Wali[10]
Adapun kewajjban wali adalah :
  • Kewajiban memberitahukan kepada Balai Hart Peninggalan.
Pasal 368 KUH Perdata apabjla kewajjban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
  • Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
  • Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
  • Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (pasal 338 KUH Perdata).
  • Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (pasal 389 KUH Perdata)
  • Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (pasal 392 KUH Perdata)
  • Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.
v  Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
  1. dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
-       Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
-       Matinya si anak.
-       Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
-       Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.
  1. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
-       Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
-       Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).
Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382 KUHPerdata menyatakan :
  1. Jika wali berkelakuan buruk.
  2. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan kecakapannya.
  3. Jika wali dalam keadaan pailit.
  4. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut.
  5. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
  6. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 368 KUHPerdata).
  7. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 372 KUHPerdata).
Ketentuan perwalian menurut UU No.1 tahun 1974.
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan :
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
  2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
  3. Syarat-syarat Perwalian
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah :
  • Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
  • Anak-anak yang belum kawin.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
  • Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
  1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
  2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
  3. Kewajiban Wali
Menurut pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:
  1. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
  2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut .
  3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
  4. Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang sbelum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.

5.      PENGAMPUAN
Kata pengampuan berasal dari bahasa beland, yaitu curatele secara harfiah, pengampuan berarti penyempitan dan pencegahan, yaitu pencegahan terhadap seseorang dari kemungkinan mengelola hartanya.


BAB III
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat kami simpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan yang tidak hanya dalam lahir saja, namun termasuk ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga. Dan dari ikatan inilah mereka mempunyai tugas yang sangat besar untuk mengarungi kehidupan berumah tangga, yaitu terkait keberadaan seoranng anak.
Adanya beberapa tugas yang harus mereka jalankan selaku orangtua yang paling berhak atas anak-anak mereka, mulai dari merawat dari kcil hingga ia tumbuh dewasa, memberikan pendidikan, sampai mengantrkan pada jenjang pernikahan.
Penutup
Demikian makalah ini  kami sampaikan, Semoga makalah ini dapat memperluas wawasan kita dan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk hidup yang lebih baik. Karena “Tiada gading yang tak retak”, maka begitu pula dengan makalah ini yang  tentunya terdapat banyak kekurangan baik dalam penulisan ataupun penyampaian. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik konstruktif dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Daftar pustaka
Mannan, Abdul, Dkk.  Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Rosyidi, Lili, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaisya dan Indonesia, Bandung: Offset Alumni.
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta: Intermasa, 1990,
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Titik Tri Wulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008


[1][1] Dalam pengertian  yang sebenarnya, kata ‘’nikah’’ berarti ‘’berkumpul’’, sedang dalam arti kiasan yang berarti aqad atau perjanjian perkawinan. Lih. Lili Rosyidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaisya dan Indonesia, (Bandung: Offset Alumni), hal. 3.
[2]Mengenai usia untuk dapat melangsungkan pernikhan telah ditetapkan oleh Pasal 7 Undang-Undang perkawinan, bahwa pihak pria minimal berusia 19 tahun, dan 16 tahun untuk pihak wanita, (bandingkan bahwa dalam KUH Perdata usia-usia itu adalah 18 dan 15 tahun).
[3] Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila ternyata ia tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau dilakukan secara mlanggar prturan Undang-Undang. Lih, chal. 12.
[4] Dalam UU perkawinan meletakkan bahwasanya hak dan kedudukan dalam pergaulan hidup bersama  dalam masyarakat antara suami dan istri  adalah seimbang, selengkapnya ,lih. UU perkawinan Pasal 34.
[5] Timbulnya asas Maritale Macht sebagai akibat suatu panangan diperlukannya sorang pemimpin dalam sebuah keluarga dengan memberikan wewenang kepada suami untuk mengurus sebagian besar harta kkayaan. Asas kuno yang memiliki ksamaan dengan asas tersebut  adalah onbekwaamheid, yang menganggap rempuan tidak memilikii kecakapan.
[6] Terkait dengan kekuasaan orang tua terhadap anaknya telah diatur dalam KUH Perdata Buku I Titel XIV  Pasal 298-392, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 LN 1974-1 Pasal 45 s/d Pal 49.
[7] Sorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.
[8] Perwalian merupakan pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak brada dalam kekuasaan orang tua. Lih, Titik Tri Wulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana), 2008, hal. 88.
[9] Menurut pasal ini, BW nentukan ahwa pengadilan dapat menunjuk seorang wali bagi yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, dan Hakim akan mengangkat seorang  wali yang disertai wali pengawas yang harus mengawasi pekerjaan wali tersebut.  Selengkapnya, lih. Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta), 1991, hal. 32.
[10] Disamping tugas serta kewajiban seorang wali, ia juga mungki menghadapi tuntutan daripada anak yang berada dibawah perwliannya. Dan hak tuntutan anak ini akan gugur jika tidak diajukan ddalam tenggang waktu spuluh tahun. Selengkapnya, lih. Pasal 414 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

2 komentar: