Sebab-Sebab Timbulnya
Ilmu Tauhid
I. Pendahuluan
Ilmu Tauhid disebut juga
ilmu Kalam, ialah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan
aliran golongan salaf dan ahli sunnah[1].
Metodologi ilmu Tauhid belum dikenal
pada masa Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya melainkan baru dikenal pada
masa setelahnya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah
orang banyak suka membicarakan alam ghaib atau metafisika.
Untuk menelusuri dan memahami perkembangan pemikiran umat
Islam terutama dalam bidang teologi, pemakalah mencoba menguraikan
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ilmu Tauhid. dalam
pembahasan ini pemakalah merumuskan masalah dalam dua bagian, yaitu:
Ø Latar
belakang munculnya ilmu
Tauhid
Ø Pengaruh sosial politik terhadap ilmu Tauhid
II.
Latar Belakang Munculnya Ilmu Tauhid
Pembahasan ilmu tauhid belum dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw. maupun pada masa sahabat. Tetapi baru dikenal pada masa berikutnya setelah
ilmu-ilmu keislaman yang lain satu persatu muncul dan setelah
orang banyak membicarakan tentang kepercayaan alam ghaib[2].
Kita tidak akan dapat
memahami persoalan-persoalan ilmu tauhid secara mendalam kalau
kita tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
ilmu tersebut.
Mulai dari historis hingga kejadian-kejadian politis yang menyertai pertumbuhannya . Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua , yaitu faktor-faktor yang datang dari
dalam (intern) dan faktor-faktor yang
datang dari luar (extern) karena
adanya berbagai kebudayaan lain dan agama-agama yang bukan Islam.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam, yaitu berasal dari al- Qur’an dan al-Hadist. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi
munculnya ilmu kalam tersebut antara lain :
1.
Dorongan dan pemahaman Al- Qur’an.
al-
Qur’an dalam konteks ayat-ayat yang menjelaskan bahwa orang orang-orang yang
beriman kepada Allah adalah orang-orang yang berakal yang selalu merenungi
ayat-ayatNya. Dengan demikian, orang-orang yang sesat adalah mereka
yang tidak menggunakan akalnya. Harun Nasuton memberikan beberapa contoh dari rincian ayat-ayat yang
menganjurkan manusia untuk menggunakan akalnya, sebagaimana berikut ini:
Ø Nadhara, melihat secara abstrak
dalam arti berpikir dan merenungkan. Kata
ini digunakan antara lain : Surat Qaf ayat 6 dan Surat al-Thariq ayat 5.
Ø
Tadzakkara yang berarti mengingat, memperhatikan, atau mempelajari. Terdapat pada
Surat al-Nahl ayat 17 dan surat
al-Dzariyat ayar 49.
Ø
Fahima yang artinya memahami, dalam bentuk ”fahama”. Terdapat pada surat al- Anbiya ayat 79.
Ø
Tadabbara (merenungkan), sebagaimana terdapat dalam beberapa ayat, antara lain surat Shad, ayat 29 dan surat Muhammad ayat 24.
Ø
Tafakkara (berpikir), Terdapat pada Surat al-Nahl ayat 69 dan surat al- Jatsiah ayat 13.
Ø
Faqiha (mengerti atau paham), terdapat pada Surat al-Isra’ ayat 44
Selain
itu al-Qur’an pun banyak
menyinggung dan membantah golongan-golongan ateis, musyrikin, dan mereka yang tidak
mengakui keputusan Nabi. Adapun ayat-ayat yang menjelaskan masalah itu antara
lain Surat At-Jatsiyah ayat 24, Surat al-An’am ayat 76-74 dan
Surat al-Isra ayat 94.
2.
Persoalan Politik
Perselisihan
dalam masalah politik menjadi sebab di dalam perselisihan mereka mengenai
soal-soal keagamaan. partai-partai politik tersebut menjadi sebagai satu aliran keagamaan yang mempunyai
pandangannya sendiri. Partai
(kelompok) Imam Ali r.a. membentuk golongan Syiah, dan mereka yang tidak bersetuju dengan Tahkim
dari kalangan Syiah telam membentuk kelompok Khawarij. Dan mereka yang membenci
perselisihan yang berlaku di kalangan umat Islam telah membentuk golongan
Murji'ah.
3.
Pemikiran para cendekiawan
Pada masa pemerintahan bani
Umaiyah, Setelah kaum muslimin dapat menaklukkan
negeri-negeri baru di sekitar jazirah arab dan keadaan mulai
stabil serta melimpah ruah rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai
memfilsafatkan agama, sehingga menyebabkan berlaku
perselisihan pendapat di kalangan mereka.
Yaitu faktor luar yang menyebabkan munculnya berbagai pembahasan ilmu
tauhid. Antara lain:.
Ø Pada daerah-daerah yang didatangi oleh kaum muslimin terutama di
Irak pada pertengahan abad hijriah terdapat bermacam-macam agama dan
peradaban, antara lain agama
Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme, peradaban
Persia dan India yang kemudian masuk islam, peradaban
Yunani yang dibawa oleh orang-orang Suriani dan buku-buku Yunani yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Arab, peradaban yang dibawa oleh orang-orang Masehi
yang telah memfilsafatkan agamanya dan memakai filsafat Yunani sebagai alat
untuk memperkuat kepercayaan mereka. Sebagai akibat pertemuan agama islam
dengan peradaban-peradaban tersebut, maka sebagian kaum muslimin mulai
mencetuskan fikiran-fikiran yang bercorak filsafat dalam soal-soal agama yang
tidak dikenal sebelumnya, serta mereka mulai memberikan pembuktian
pembenarannya dengan alasan-alasan logika.
Ø Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Mu’tazilah,
perkara utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak
hujjah mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam tertadah dengan semua pemikiran-pemikiran ini
dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan
pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah melengkapkan diri
mereka dengan senjata ilmu Falsafah, lalu Mu’tazilah telah mempelajarinya agar
mereka dapat mempertahankan Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh
pihak yang menyerang.
Ø kebutuhan para
mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan atau mengimbangi musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka
terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika terutama dari segi ketuhanan. seperti al-Nadhami (tokoh Mu’tazilah) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya.
III. Pengaruh Sosial Politik terhadap Ilmu Tauhid
Sosial politik
termasuk kategori faktor internal munculnya ilmu Tauhid. Untuk memperjelas maka
pemakalah sedikit membahas permasalahan tersebut berdasarkan sejarah perkembangannya.
Islam sebagai
agama berasaskan ketuhanan yang maha esa, persoalan yang pertama-tama timbul di
dalamnya adalah bidang politik, bukan dalam bidang teologi. Ini merupakan hal
yang aneh, Tetapi persoalan ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Hal
ini dibahas Dalam fase perkembangan sejarah islam yang pertama[5].
Nabi Muhammad
Saw. Menyiarkan ajaran islam selama 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekkah, dan 10
tahun di Madinah. Selama di mekkah Nabi hanya mempunyai fungsi kepala
agama,tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik pada
waktu itu belum dapat ditaklukkan. Sedangkan di Madinah Nabi Muhammad Saw.
Disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang
mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota itu[6].
Ketika beliau
wafat (632 M) daerah kekuasaan madinah sudah meluas meliputi semenanjung
Arabia. Negara Islam pada waktu itu telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa
Arab yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi dalam berbagai bentuk.
Nabi Muhammad
Saw. tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau
sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat;belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh muhajjirin dan Anshar berkumpul di balai
kota Bani Sa’idah (Madinah) guna berusyawarah menentukan siapa yang akan
dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena
masing-masing pihak baik muhajirin maupun Anshor sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin Umat islam. Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang
tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar
mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam sehingga masing-masing pihak
menerima dan membai’atnya.
Abu bakar
menjadi khalifah hanya dua tahun, pada tahun 634 M. Beliau meninggal dunia,
kemudian dilanjutkan oleh Umar, beliau memerintah selama sepuluh tahun (13
H-23H/634 M-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Beliau dibunuh
oleh seorang budak dari persia bernama Abu Lu’lu’ah.
Setelah itu dilanjutkan
oleh Utsman, pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun. Pada separoh
terakhir masa kekhilafahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan
umat Islam terhadapnya. Pada tahun 35 H/655 M, beliau dibunuh oleh kaum
pemberontak[7].
Setelah terjadi pembunuhan atas Utsman r.a (th.655 M) timbul perselisihan
yang lain, yaitu sekitar persoalan dosa besar, apa hakekatnya dan bagaimana hukum orang
yang mengerjakannya. Apa yang di maksudkan dengan dosa besar mula-mula ialah
pembunuhan tersebut. Kelanjutannya sudah barang tentu ialah perselisihan
tentang iman, apa pengertian dan bagaimana batasanya, serta pertaliannya dengan
perbuatan lahir. Perselisihan ini telah menimbulkan golongan- golongan Syiah, Khawarij, Murjiah dan kemudian lagi
golongan Mu’tazilah serta Jabbariyah.
Dengan
demikian, maka perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudah bercorak
agama yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi pembicaraan
yang penting dalam Tauhid Islam, sebagaimana halnya dengan urusan khalifah dan
Imamah, sedangkan soal-soal ini sebenarnya lebih tepat kalau di masukkan
kedalam ilmu fiqih karena bertalian dengan hukum amalan lahir, bukan dalam
bidang kepercayaan.
Akan tetapi
karena pendapat beberapa golongan Islam dalam soal-soal tersebut hampir membawa
mereka keluar dari dasar-dasar agama Islam, maka ulama–ulama
Tauhid Islam memasukan soal-soal tersebut kedalam pembahasan islmu Tauhid agar
bisa di bahas dengan sebaik-baiknya, lepas dari rasa fanatik dan penguasaan
hawa nafsu agar bisa jelas antara yang benar dan yang salah untuk menjaga
kemurnian agama.
Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa lahirnya
ilmu kalam disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai hukum, masihkah
seorang muslim sebagai muslim setelah melakukan dosa besar? Ataukah menjadi
kafir?
Mengenai hal tersebut golongan khawarij menegaskan bahwa seorang
muslim yang melakukan dosa besar tidak lagi sebagai muslim. Sebagai reaksi
terhadap pandangan kaum khawarij yang keras itu timbullah kaum murji’ah.
Menurut mereka orang islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, tetapi tetap
mukmin. Soal dosa besar yang bersangkutan, mereka serahkan kepada keputusan
Tuhan di hari perhitungan kelak. Bahkan yang
lebih ekstrim
mereka
berpendapat bahwa seorang asalkan beriman, tanpa mengerjakan amalan lahiriyah
tidak masalah.
Selain masalah orang islam yang
berdosa besar sebagaimana disebutkan di atas, muncul pula masalah takdir Tuhan.
Menurut paham kodariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan
menurut paham jabariyah bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak
awal, dan pada hakikatnya manusia itu tidak memiliki kehendak dan kudrat[8].
Sekian
IV. Penutup
Demikianlah
makalah penjelasan tentang Sebab-sebab Timbulnya Ilmu Tauhid,
Tentunya banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik serta saran konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan, terutama dosen pengampu mata kuliah
ini, untuk membenahi kesalahan yang kami
lakukan sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia
merupakan tempat salah dan lupa, karena semua kebaikan datangnya dari Allah,
maka kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para
pembaca. Kami
berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua dimasa mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution , Harun.
Teologi Islam “Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan”, (Jakarta: UI Press) 1986
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam Untuk UIN,
STAI, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia). 2010.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam “Dirasah Islamiyah
II”. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). 2008.
[2]Ibid
[3]Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Untuk UIN, STAI, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Hlm. 4-6
[5] Harun
Nasution, Teologi Islam “aliran-aliran
sejarah analisa perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, Hlm. 1
[7]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam “Dirasah
Islamiyah II” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, Hlm.35-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar