Global Variables

Rabu, 25 April 2012

PERGULATAN TURATS DAN TAJDID DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

PERGULATAN TURATS DAN TAJDID
DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
1.      Pendahuluan
Suatu realitas yang tidak dapat dibantah lagi, bahwa “Syari’ah Islamiah” telah merambah ke seluruh dunia islam, menyentuh seagala macam wilayah peradaban dan budaya pemeluknya yang berbeda-beda, baik dalam arti etnik, lingkungan bio-fisik maupun sosio kulturalnya.
Selama sekitar empat belas abad islam telah membentangkan dirinya dalam sejarah; dalam proses yang panjang itu, islam tersebut sebagian mengontrol dan sebagian membentuk proses terutama pada abad-abad permulaan, dan sebagian berpadu dengan proses itu, terutama pada tingkat politik pada periode pasca-klasik dan tingkat kerohanian pada masa pertengahan.[1]  
Sepanjang jalan sejarahnya, islam memperoleh kekayaan dan kedalaman pengalaman, dengan melalui itulah islam berkembang sebagai suatu fenomena kesejarahan: sebagai kepastian permulaannya untuk menghadapi tantangan secara kreatif.
Masyarakat islam mengalami benturan dan pergulatan pemikiran yang cukup seru, disatu pihak dituntut untuk beradaptasi dengan berbagai macam perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosialnya. Jika dikaji masalahnya, maka dapat ditemukan dua faktor yang menjadi sumber terjadinya benturan dan pergulatan pemikiran tersebut dikalangan masyarakat islam. Yang pertama, berasal dari komponen dinamis yang terdapat dalam lingkungan islam sendiri, sedangkan komponen lain berasal dari proses invensi dan divusi budaya luar, yang terserap ke dalam lingkungan masyarakat islam melalui arus cultural yang membanjiri dari berbagai jurusan.[2]
Dalam makalah ini akan menguraikan secara singkat tentang pergulatan turats (tradisi) dan tajdid (pembaharuan) dalam perkembangan sejarah hukum islam.






2.      Pembahasan
a)      Turats
Menurut al-Jabiri, tradisi (turats) adalah sesuatu yang hadir menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu kita atau orang lain, apakah masa lalu tersebut adalah masa lalu yang jauh maupun yang dekat.[3] Ada dua hal yang penting yang menjadi perhatian dari definisi ini: pertama, bahwa tradisi adalah sesuatu yang menyertai kekinian kita, yang hadir dalam kesadaran dan ketidaksadaran kita. Kehadirannya tidak sekedar dianggap sisa-sisa masa lalu melainkan sebagai masa lalu dan masa kini yang menyatu dan bersenyawa dengan tindakan dan cara-cara berpikir kaum muslim. Kedua, tradisi yang mencakup tradisi kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat dan sains.
Tradisi yang dikonstruksi para ulama dulu dalam memahami realitas dan teks menelurkan beberapa disiplin ilmu di dalam Islam. Dimulai dari Ulum Quran, Ulum Hadits, Ushul Fiqh, Filsafat Islam dll. Kemudian penulis sebut yang demikian itu dengan istilah turats klasik. Urgensi turats dalam khazanah keilmuan Islam adalah merekonsiliasi teks dan realitas supaya berjalan harmonis. Konstruksi para ulama itu diartikulasikan Hassan Hanafi dengan tiga diskusus. Kesadaran historis,kesadaran eidetis dan kesadaran praksis. Tuntutan zamanlah yang mendesak para ulama untuk mengkonstruksi disiplin ilmu itu dengan pirantinya yaitu akal logis.
Turats sebagai disiplin ilmu memegang peranan penting pula dalam memahami realitas kontemporer selain pendekatan secara sosiologis dan psikologis. Kesadaran logis para ulama yang diafiliasi terhadap Al-Quran dan hadits memberikan suasana kesemangatan dan tuntutan berfikir segar dalam memahami relitas supaya koheren dengan teks.
Mengapa turats klasik sebegitu pentingnya?
Apabila Barat mensyaratkan rasional dan empiris sebagai landasan epistemologis, maka didalam Islam lah ditemukan intuisi sebagai landasan epistemologis. Maka, turats menjadi berguna ketika Al-Quran secara transendental harus diterima dengan kenyataan iman (intuisi) serta empiris dan rasional dalam menata bangunan keilmuan, seperti misalnya yang secara eksplisit diungkapkan dalam kaidah Ushul Fiqh. Ataupun kaidah-kaidah dalam Ulum Hadits yang penuh dengan argumentasi rasional.
Jihad intelektual para ulama dulu tidak sia-sia kalau kita selalu memberikan pemahaman yang segar. Ini bukan dalam rangka romantisme yang mengagungkan dan mengulas imajinasi waktu Islam Berjaya dulu. Ya umat muslim dulu!
Proyeksi turâts dalam konteks masyarakat muslim saat ini, merupakan sebuah dialog tradisi antar ruang, yang membutuhkan energi besar karena harus menggali kembali warisan masa lalu. Di dalam proyek ini terpendam kesungguhan untuk menjadikan turats sebagai teks baru umat Islam. Sebab dalam pandangan Muhammad Imarah, turâts bisa menjadi salah satu solusi problem umat Islam saat ini. Hanya saja kesadaran untuk mengembalikan nilai luhur turâts, ternyata belum muncul dalam ruang kesadaran umat Islam. Turâts selalu diidentifiasi sebagai rongsokhan dogma kaku yang mengkristal, serta hanya berproses pada masa yang sudah lewat.
Bagi Imarah, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu. Turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.
Salah satu yang menjadi orientasi umat dalam rangka revitalisasi turâts, menurut Imarah adalah melalui optimalisasi fungsi dan peran akal dalam menerjemahkan wahyu Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan berpikir yang dibangun di untuk menghidupkan kembali turâts harus menjadi salah satu tugas mahapenting umat Islam. Sebab, ternyata turâts membuka ruang yang cukup lebar bagi akal untuk dapat menemukan makna dari diturunkannya wahyu.
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin melakukan rekonstuksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong.[4] Artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui zaman yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita harus mengakui bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai rumusan tradisi baru.
Selain itu, dalam mengkaji turats, Hasan Hanafi dalam bukunya al-Turots wa al-Tajdid sering menggunakan metodologi fenomenologi, selain juga dialektika Hegelian yang bertumpu pada tesa, antitesa, dan sintesa.[5] Pandangan beliau terhadap turats sangatlah luas terutama terkait dengan kemajuan umat. Ia menilai bahwa turats merupakan pijakan awal sebagai upaya pembaharuan dengan merubah tatanan sosial menuju kemoderenan. Karena turats merupakan bagian identitas suatu bangsa namun itu tak berarti bahwa seluruh identitas umat berada dalam turats. Identitas juga terkait dengan kemoderenan. Menurutnya, jika insan muslim hanya terpaku pada turats, berarti ia menjadi manusia tertutup yang hanya memiliki identitas semu. Oleh sebab itu, ia sangat menentang bagi siapa saja yang taklid buta terhadap turats. Karena taklid merupakan pengingkaran terhadap peran  akal dalam kehidupan. Bahkan taklid merupakan fenomena dari keterbelakangan.[6]
Sikap terhadap Turats
Secara umum ada tiga sikap dalam mengahdapi turats: pertama, du’at at-Turats atau turatsiyyun adalah kelompok yang menyeru kembali ke masa silam yang dianggap sebagai masa kejayaan masa Islam. Bagi mereka kemelut social, politik, ekonomi, dan budaya yang menimpa umat Islam hanya dapat diselesaikan hanya dengan kembali kepada turats. Kalau dulu Islam menghasilkan kejayaan, maka hari ini pun hal yang sama bisa dilakukan. Masa silam dengan demikian adalah model peradaban yang harus diemulasi generasi sekarang.[7]
Kedua, liberal (ashariyyun) yang merupakan antithesis yang pertama. Tipologi kedua ini terlalu silau dengan kemajuan peradaban barat. Dalam pandangan kelompok ini, jalan satu-satunya untuk maju adalah mengikuti jejak barat dalam segala hal, terutama dalam bidang sains dan teknologi.[8]
Ketiga, elektik yaitu kelompok yang berusaha untuk mensintesakan kelompok yang pertama dan kedua. Kelompok ini mencoba untuk berdiri di bumi turats dan dunia modern sekaligus. Barat bukan model segala-galanya, demikian pula masa lalu. Keduanya memiliki sisi buruk dan baik. Kelompok ini cenderung bersikap selektif ketika berhadapan dengan dua tradisi ini. Mereka akan mengambil apa saja yang dianggap bermanfaat dari dua tradisi tersebut.[9]

b)     Tajdid
            Dalam literatur bahasa Arab tajdid mengandung arti pembaharuan yang merupakan masdar dari kata jaddada-yujaddidu-tajdiidan, lebih jauh dalam kamus bahasa Arab disebutkan, ungkapan jaddadahu ay shayyarahu jadiidan, artinya menjadikan sesuatu menjadi baru.[10]    
            Kata yang lebih dikenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari Dunia Barat, adanya sejak renaisans terkait dengan masalah agama. Modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalis sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntuta hidup masa kini.[11]
            Disamping itu ada pula yang memberikan batasan dengan proses perubahan cara berfikir dan cara kerja lama yang tidak rasional menggantinya dengan pola berfikir dan cara bekerja baru yang rasional.
            Modernisasi atau pembaharuan bisa pula disebut dengan “Reformasi”, yaitu membentuk kembali, atau mengadakan perubahan kepada yang lebih baik, dapat pula diartikan dengan perbaikan. Dalam bahasa arab sering diarikan dengan Tajdid yaitu memperbarui, sedang pelakunya disebut Mujaddin yaitu orang yang melakukan pembaharuan.[12]
            Dalam islam ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak, tetap ortodoks atau menurut sunnah, terutama dalam hal pokok kepercayaan, bahkan dalam ibadah pun kita harus ortodoks, shalat subuh dua rakaat, tahawaf, wukuf dan sebagainya, sesuai apa yang dikerjakan Nabi. Jadi mana yang harus diperbarui? Jawabannya pola befikir terhadap agama yang perlu diperbarui. Pembaharuan dalam pemikiran terhadap hal-hal yang menyangkut denga masalah isalm itu sendiri, bukan dalam hal-hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental dari ajaran islam itu, tetapi membaharui penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar al- Qur’an dan Hadits itulah yang diperbaharui, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.[13]
            Pembaharuan yang dianjurkan dalam islam bukanlah westernisasi dalam arti pembaratan dalam cara piker, bertingkah laku dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran islam, akan tetapi pemikiran terhadap agama yang harus diperbaharui dan direformir, pemikiran modern yang menimbulakn reformer dalam agama, dan hal ini tidaklah mungkin timbul dari pola berfikir yang sempit.[14]

Latar belakang timbulnya pembaharuan
            Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi kaum muslimin. Di abad inilah daerah-daerah islam meluas di Barat melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol, di Timur melalui Persia samapai ke India. Daerah-daerah ini tunduk pada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedududkan di Madinah, Kemudian di Damaskus, dan terakhir di Baghdad. Di abad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti; Maliki, Syafi’I, Hanafi dan Hambali, serta lainnya di kalngan ahli hukum, teologi, tasawuf dan sebagainya. Dengan lahirnya pemikir para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, non agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya.[15]
            Puncak kemegahan dunia islam itu akhirnya menurun, dunia islam mulai mengalami kemunduran pada abad kesepuluh, kemudian tenggelam berabad-abad lamanya. Diantara faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran ummat islam  masa itu adalah :[16]
·         Isu pintu ijtihad tertutup telah meluas dikalangan ummat islam
·         Keutuhan ummat islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun.
·         Adanya perang salib dibawah arahan Gereja Katolik Roma, dan serbuan tentara barbar di bawah kepemimpinan Hullaqo Khan dari Tartar.
Masa kemunduran ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga pada abad ke-19, para elite dalam masyarakat-masyarakat Muslim merasakan kebutuhan yang sangat besar akan pembaruan agama.
Gema tertutupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran umat untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadis dan ahlu ar-ra’yi, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern.
Bagi kaum modernis, sifat apologetis (untuk membela diri) dari  arus pembaruan ini adalah dominan dan, betapapun dalam intuisi pemikir yang bersangkutan dan betapa berani posisinya, gerakan pembaruan ini memungkinkan pandangan yang sungguh-sungguh kritis terhadap tradisi, tidak pula  memungkinkan reaktualisasi yang sesungguhnya dari iman. Bagi kaum tradisionalis, gerakan pembaruan adalah suatu petualangan, suatu upaya tanpa masa depan untuk mempersoalkan hal-hal yang selamanya pasti dari agama. [17]
Yang muncul di abad ke-19 adalah sesuatu yang betul-betul baru, yang terutama lahir dari bahaya-bahaya yang harus dihadapi oleh etintas-etintas politik pada saat itu (kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan).[18]
Diantara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan islam adalah:[19]
·         Paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal lain yang membawa pada kekufuran.
·         Sifat jumud membuat ummat islam berhenti berfikir dan berusaha.
·         Ummat islam selalu berpecah belah, maka islam tidaklah mengalami kemajuan
·         Hasil dari kontak yang terjadi antara dunia islam dengan barat. Dengan adanya kontak ini ummat islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat.
Gelombang pertama pembaharuan dipimpin oleh tokoh-tokoh heroic seperti Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Khair al-Din al-Tunisi (w. 1890). Gelombang itu disebut “pembaru” karena perhatian utamanya tidak tereduksi, sebagaimana gerakan-gerakan sebelumnya, pada pemurnian ajaran dan perilaku. Para pembaru itu juga peka terhadap cara “the other” (yang lain) memandang islam dan menyerukan sumber yang tak tergoyahkan dan iman, maupun untuk menghadapi campur tangan kekuatan-kekuatan barat. [20]
c)      Pergulatan turats dan tajdid dalam sejarah perkembangan hukum islam
Permasalahan yang nyata yang dihadapi oleh para penyeru syari’ah adalah keterbatasan dalil dan ketidakterbatasan permasalahan alias banyaknya masalah. Ini karena masa turunnya wahyu telah berakhir empat belas abad yang lalu. Di samping itu, permasalahan manusia terus berkembang sampai akhir kehidupan dunia. Jika syari’ah dimaknai sebagai aturan Allah mengenai perbuatatan manusia yang dipahami dari dalil, maka bagaimana dalil yang terbatas tersebut bisa mengatur permasalahan perbuatan manusia yang tak terbatas?
Bagi para modernis (ashariyyun), mereka menganggap bahwa ushul fiqh yang ditawarkan oleh para turatsiyyun sudah ketinggalan zaman. Dimana Bagi para turatsiyyun ushul fiqh diyakini mampu menjadi senjata andalan untuk menghadapi permasalahan ini.[21] Hukum yang menjadi produk metodologi seperti itu menurut ashariyyun dipandang tidak akan mampu menjawab tantangan zaman. Sebagian di antara mereka memandang bahwa kesempurnaan Islam yang dinyatakan oleh surat al-Maidah ayat 3 sebenarnya tidak berarti kesempurnaan aktual melainkan kesempurnaan potensial.[22]
Jika kita kembali kepada para turatsiyyun, ada beberapa catatan penting dari an-Nabhani terkait isu ini: pertama, dalil yang otoritatif hanyalah dalil yang otoritasnya dapat dibuktikan secara qoth’i,[23] yang memenuhi kriteria qoth’i hanya al-Quran, Sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas. Dengan empat dalil ini saja berbagai permasalahn dalam lintas ruang dan waktu akan dapat dijawab dengan proses pembacaan yang disebut dengan ijtihad. Berikutnya tinggal masalah kemampuan seorang mujtahid dalam membaca jawaban yang ada di empat sumber tadi ke dalam kasus-kasus baru tersebut.[24]
3.      Penutup
Demikianlah makalah penjelasan tentang “Pergulatan Turats dan Tajdid dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Tentunya banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik serta saran yang konstruktif dari  pembaca sangat kami harapkan, terutama dosen pengampu mata kuliah ini,  untuk membenahi kesalahan yang kami lakukan sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia merupakan tempat salah dan lupa, karena semua kebaikan datangnya dari Allah, maka kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua dimasa mendatang.



















Daftar Pustaka

Asmuni, Yusron, 2001. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Filali-Ansary, Abdou, 2009. Pembaruan Islam Dari Mana Hendak Ke Mana, Jakarta : PT Mizan Pustaka
Jamil, Muhsin, 2005.  Membongkar Mitos Menegakkan Nalar (Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal), 
Semarang: Pustaka Pelajar
Ka’bah, Rifyal, 1984.  Islam dan Fundamentalisme, Jakarta : Pustaka Panjimas
Rachman, Fazlur, 1992. Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara
Syaukani, Imam, 2006.  Rekonstuksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi
Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Thalhah Hasan, Muhammad, 2003.  Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta : Lantabora
Press
http://www.gerbangpencerahan.html// diakses tanggal 5 Mei 2011 pukul. 14.15 WIB








[1] Fazlur Rachman, Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara, 1992, Hal 374
[2] Muhammad Thalhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta : Lantabora Press, 2003, hal 21
[3] M. Muhsin Jamil, MA, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar (Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal), 2005. Semarang: Pustaka Pelajar. hal. 128
[4]Ibid, hal. 128
[5] http://www.gerbangpencerahan.html// diakses tanggal 5 Mei 2011 pukul. 14.15 WIB
[6] Ibid
[7] Nirwan Syafrin, loc. Cit. hal.7
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. 9
[10] Imam Syaukani, S. Ag, M.H. Rekonstuksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, 2006. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal. 19
[11] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001, hal 1-2
[12] Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984, hal 160
[13] Yusran Asmuni, Op. cit, hal 3
[14]ibid
[15] Ibid , hal 4
[16] Ibid, hal 5-6
[17] Abdou Filali-Ansary, Pembaruan Islam Dari Mana Hendak Ke Mana, Jakarta : PT Mizan Pustaka, 2009, hal 265
[18] ibid, hal 264
[19] Yusran Asmuni, Op. cit, hal 7
[20]Abdou Filali-Ansary, Loc. Cit, hal 264
[22] Ibid
[23]Yang dikutip dari  Taqiyyuddin an-Nabhani, al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah. Vol III, hal. 64-67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar