PERGULATAN TURATS DAN TAJDID
DALAM
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
1. Pendahuluan
Suatu realitas
yang tidak dapat dibantah lagi, bahwa “Syari’ah Islamiah” telah merambah ke
seluruh dunia islam, menyentuh seagala macam wilayah peradaban dan budaya pemeluknya
yang berbeda-beda, baik dalam arti etnik, lingkungan bio-fisik maupun sosio
kulturalnya.
Selama sekitar
empat belas abad islam telah membentangkan dirinya dalam sejarah; dalam proses
yang panjang itu, islam tersebut sebagian mengontrol dan sebagian membentuk
proses terutama pada abad-abad permulaan, dan sebagian berpadu dengan proses
itu, terutama pada tingkat politik pada periode pasca-klasik dan tingkat
kerohanian pada masa pertengahan.[1]
Sepanjang jalan
sejarahnya, islam memperoleh kekayaan dan kedalaman pengalaman, dengan melalui
itulah islam berkembang sebagai suatu fenomena kesejarahan: sebagai kepastian
permulaannya untuk menghadapi tantangan secara kreatif.
Masyarakat islam
mengalami benturan dan pergulatan pemikiran yang cukup seru, disatu pihak
dituntut untuk beradaptasi dengan berbagai macam perubahan yang terjadi dalam
kehidupan sosialnya. Jika dikaji masalahnya, maka dapat ditemukan dua faktor
yang menjadi sumber terjadinya benturan dan pergulatan pemikiran tersebut
dikalangan masyarakat islam. Yang pertama, berasal dari komponen dinamis yang
terdapat dalam lingkungan islam sendiri, sedangkan komponen lain berasal dari
proses invensi dan divusi budaya luar, yang terserap ke dalam lingkungan
masyarakat islam melalui arus cultural yang membanjiri dari berbagai jurusan.[2]
Dalam makalah ini akan
menguraikan secara singkat tentang pergulatan turats (tradisi) dan tajdid
(pembaharuan) dalam perkembangan sejarah hukum islam.
2. Pembahasan
a) Turats
Menurut al-Jabiri,
tradisi (turats) adalah sesuatu yang
hadir menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu kita atau orang lain,
apakah masa lalu tersebut adalah masa lalu yang jauh maupun yang dekat.[3]
Ada dua hal yang penting yang menjadi perhatian dari definisi ini: pertama, bahwa tradisi adalah sesuatu
yang menyertai kekinian kita, yang hadir dalam kesadaran dan ketidaksadaran
kita. Kehadirannya tidak sekedar dianggap sisa-sisa masa lalu melainkan sebagai
masa lalu dan masa kini yang menyatu dan bersenyawa dengan tindakan dan
cara-cara berpikir kaum muslim. Kedua, tradisi
yang mencakup tradisi kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat
dan sains.
Tradisi yang
dikonstruksi para ulama dulu dalam memahami realitas dan teks menelurkan
beberapa disiplin ilmu di dalam Islam. Dimulai dari Ulum Quran, Ulum Hadits,
Ushul Fiqh, Filsafat Islam dll. Kemudian penulis sebut yang demikian itu dengan
istilah turats klasik. Urgensi turats dalam khazanah keilmuan Islam adalah
merekonsiliasi teks dan realitas supaya berjalan harmonis. Konstruksi para
ulama itu diartikulasikan Hassan Hanafi dengan tiga diskusus. Kesadaran
historis,kesadaran eidetis dan kesadaran praksis. Tuntutan zamanlah yang
mendesak para ulama untuk mengkonstruksi disiplin ilmu itu dengan pirantinya
yaitu akal logis.
Turats sebagai disiplin
ilmu memegang peranan penting pula dalam memahami realitas kontemporer selain
pendekatan secara sosiologis dan psikologis. Kesadaran logis para ulama yang
diafiliasi terhadap Al-Quran dan hadits memberikan suasana kesemangatan dan
tuntutan berfikir segar dalam memahami relitas supaya koheren dengan teks.
Mengapa
turats klasik sebegitu pentingnya?
Apabila Barat
mensyaratkan rasional dan empiris sebagai landasan epistemologis, maka didalam
Islam lah ditemukan intuisi sebagai landasan epistemologis. Maka, turats
menjadi berguna ketika Al-Quran secara transendental harus diterima dengan
kenyataan iman (intuisi) serta empiris dan rasional dalam menata bangunan
keilmuan, seperti misalnya yang secara eksplisit diungkapkan dalam kaidah Ushul Fiqh. Ataupun
kaidah-kaidah dalam Ulum Hadits yang penuh dengan argumentasi rasional.
Jihad intelektual para
ulama dulu tidak sia-sia kalau kita selalu memberikan pemahaman yang segar. Ini bukan dalam rangka romantisme yang
mengagungkan dan mengulas imajinasi waktu Islam Berjaya dulu. Ya umat muslim
dulu!
Proyeksi turâts dalam konteks masyarakat muslim
saat ini, merupakan sebuah dialog tradisi antar ruang, yang membutuhkan energi
besar karena harus menggali kembali warisan masa lalu. Di dalam proyek ini
terpendam kesungguhan untuk menjadikan turats sebagai teks baru umat Islam.
Sebab dalam pandangan Muhammad Imarah, turâts bisa menjadi salah satu
solusi problem umat Islam saat ini. Hanya saja kesadaran untuk mengembalikan
nilai luhur turâts, ternyata belum muncul dalam ruang kesadaran umat
Islam. Turâts selalu diidentifiasi sebagai rongsokhan dogma kaku yang
mengkristal, serta hanya berproses pada masa yang sudah lewat.
Bagi
Imarah, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur
dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu. Turâts baginya tetap
masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi
peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau
langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts)
dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata
kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts
dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.
Salah satu yang menjadi orientasi umat dalam rangka
revitalisasi turâts, menurut Imarah adalah melalui optimalisasi fungsi
dan peran akal dalam menerjemahkan wahyu Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan
berpikir yang dibangun di untuk menghidupkan kembali turâts harus
menjadi salah satu tugas mahapenting umat Islam. Sebab, ternyata turâts membuka
ruang yang cukup lebar bagi akal untuk dapat menemukan makna dari diturunkannya
wahyu.
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa
sesungguhnya tidak mungkin melakukan rekonstuksi pemikiran dan kebudayaan dari
ruang sejarah yang kosong.[4]
Artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui zaman yang sering
disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita harus mengakui bahwa khazanah
pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga
untuk dikembangkan sebagai rumusan tradisi baru.
Selain itu, dalam mengkaji turats, Hasan Hanafi dalam bukunya al-Turots wa al-Tajdid sering menggunakan metodologi fenomenologi,
selain juga dialektika Hegelian yang bertumpu pada tesa, antitesa, dan sintesa.[5]
Pandangan beliau terhadap turats sangatlah
luas terutama terkait dengan kemajuan umat. Ia menilai bahwa turats merupakan pijakan awal sebagai
upaya pembaharuan dengan merubah tatanan sosial menuju kemoderenan. Karena turats merupakan bagian identitas suatu
bangsa namun itu tak berarti bahwa seluruh identitas umat berada dalam turats. Identitas juga terkait dengan
kemoderenan. Menurutnya, jika insan muslim hanya terpaku pada turats, berarti ia menjadi manusia
tertutup yang hanya memiliki identitas semu. Oleh sebab itu, ia sangat menentang
bagi siapa saja yang taklid buta
terhadap turats. Karena taklid merupakan pengingkaran terhadap
peran akal dalam kehidupan. Bahkan taklid merupakan fenomena dari
keterbelakangan.[6]
Sikap terhadap Turats
Secara umum ada tiga sikap dalam mengahdapi turats: pertama, du’at at-Turats atau turatsiyyun adalah kelompok yang menyeru
kembali ke masa silam yang dianggap sebagai masa kejayaan masa Islam. Bagi
mereka kemelut social, politik, ekonomi, dan budaya yang menimpa umat Islam
hanya dapat diselesaikan hanya dengan kembali kepada turats. Kalau dulu Islam menghasilkan kejayaan, maka hari ini pun
hal yang sama bisa dilakukan. Masa silam dengan demikian adalah model peradaban
yang harus diemulasi generasi sekarang.[7]
Kedua, liberal (ashariyyun) yang merupakan antithesis yang pertama. Tipologi kedua ini terlalu
silau dengan kemajuan peradaban barat. Dalam pandangan kelompok ini, jalan
satu-satunya untuk maju adalah mengikuti jejak barat dalam segala hal, terutama
dalam bidang sains dan teknologi.[8]
Ketiga, elektik yaitu
kelompok yang berusaha untuk mensintesakan kelompok yang pertama dan kedua.
Kelompok ini mencoba untuk berdiri di bumi turats
dan dunia modern sekaligus. Barat bukan model segala-galanya, demikian pula
masa lalu. Keduanya memiliki sisi buruk dan baik. Kelompok ini cenderung
bersikap selektif ketika berhadapan dengan dua tradisi ini. Mereka akan
mengambil apa saja yang dianggap bermanfaat dari dua tradisi tersebut.[9]
b) Tajdid
Dalam
literatur bahasa Arab tajdid mengandung
arti pembaharuan yang merupakan masdar dari
kata jaddada-yujaddidu-tajdiidan, lebih
jauh dalam kamus bahasa Arab disebutkan, ungkapan jaddadahu ay shayyarahu jadiidan, artinya menjadikan sesuatu
menjadi baru.[10]
Kata yang lebih dikenal untuk pembaharuan
adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari Dunia Barat, adanya sejak
renaisans terkait dengan masalah agama. Modernisasi adalah proses pergeseran
sikap dan mentalis sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan
tuntuta hidup masa kini.[11]
Disamping itu ada pula yang memberikan
batasan dengan proses perubahan cara berfikir dan cara kerja lama yang tidak
rasional menggantinya dengan pola berfikir dan cara bekerja baru yang rasional.
Modernisasi atau pembaharuan bisa
pula disebut dengan “Reformasi”, yaitu membentuk kembali, atau mengadakan
perubahan kepada yang lebih baik, dapat pula diartikan dengan perbaikan. Dalam
bahasa arab sering diarikan dengan Tajdid
yaitu memperbarui, sedang pelakunya disebut Mujaddin yaitu orang yang melakukan pembaharuan.[12]
Dalam islam ada ajaran-ajaran yang
bersifat mutlak, tetap ortodoks atau menurut sunnah, terutama dalam hal pokok
kepercayaan, bahkan dalam ibadah pun kita harus ortodoks, shalat subuh dua
rakaat, tahawaf, wukuf dan sebagainya, sesuai apa yang dikerjakan Nabi. Jadi
mana yang harus diperbarui? Jawabannya pola befikir terhadap agama yang perlu
diperbarui. Pembaharuan dalam pemikiran terhadap hal-hal yang menyangkut denga
masalah isalm itu sendiri, bukan dalam hal-hal yang menyangkut dengan dasar
atau fundamental dari ajaran islam itu, tetapi membaharui penafsiran-penafsiran
atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar al- Qur’an dan Hadits itulah
yang diperbaharui, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.[13]
Pembaharuan yang dianjurkan dalam
islam bukanlah westernisasi dalam arti pembaratan dalam cara piker, bertingkah
laku dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran islam, akan tetapi
pemikiran terhadap agama yang harus diperbaharui dan direformir, pemikiran
modern yang menimbulakn reformer dalam agama, dan hal ini tidaklah mungkin
timbul dari pola berfikir yang sempit.[14]
Latar belakang timbulnya pembaharuan
Mulai abad pertengahan merupakan abad
gemilang bagi kaum muslimin. Di abad inilah daerah-daerah islam meluas di Barat
melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol, di Timur melalui Persia samapai ke
India. Daerah-daerah ini tunduk pada kekuasaan khalifah yang pada mulanya
berkedududkan di Madinah, Kemudian di Damaskus, dan terakhir di Baghdad. Di
abad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti; Maliki, Syafi’I, Hanafi
dan Hambali, serta lainnya di kalngan ahli hukum, teologi, tasawuf dan
sebagainya. Dengan lahirnya pemikir para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan
lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama,
non agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya.[15]
Puncak
kemegahan dunia islam itu akhirnya menurun, dunia islam mulai mengalami
kemunduran pada abad kesepuluh, kemudian tenggelam berabad-abad lamanya.
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran ummat islam masa itu adalah :[16]
·
Isu pintu ijtihad tertutup telah meluas dikalangan ummat
islam
·
Keutuhan ummat islam dalam bidang politik mulai pecah,
kekuasaan khalifah menurun.
·
Adanya perang salib dibawah arahan Gereja Katolik Roma,
dan serbuan tentara barbar di bawah kepemimpinan Hullaqo Khan dari Tartar.
Masa kemunduran
ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga pada abad ke-19, para elite dalam
masyarakat-masyarakat Muslim merasakan kebutuhan yang sangat besar akan
pembaruan agama.
Gema tertutupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran
umat untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif
berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan
pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadis dan ahlu ar-ra’yi,
walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka
macam varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran
alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern.
Bagi kaum
modernis, sifat apologetis (untuk membela diri) dari arus pembaruan ini adalah dominan dan,
betapapun dalam intuisi pemikir yang bersangkutan dan betapa berani posisinya,
gerakan pembaruan ini memungkinkan pandangan yang sungguh-sungguh kritis
terhadap tradisi, tidak pula
memungkinkan reaktualisasi yang sesungguhnya dari iman. Bagi kaum
tradisionalis, gerakan pembaruan adalah suatu petualangan, suatu upaya tanpa
masa depan untuk mempersoalkan hal-hal yang selamanya pasti dari agama. [17]
Yang muncul di
abad ke-19 adalah sesuatu yang betul-betul baru, yang terutama lahir dari
bahaya-bahaya yang harus dihadapi oleh etintas-etintas politik pada saat itu
(kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan).[18]
Diantara yang
mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan islam adalah:[19]
·
Paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur
dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan
terhadap orang-orang suci dan hal lain yang membawa pada kekufuran.
·
Sifat jumud membuat ummat islam berhenti berfikir dan
berusaha.
·
Ummat islam selalu berpecah belah, maka islam tidaklah
mengalami kemajuan
·
Hasil dari kontak yang terjadi antara dunia islam dengan
barat. Dengan adanya kontak ini ummat islam sadar bahwa mereka mengalami
kemunduran dibandingkan dengan Barat.
Gelombang pertama
pembaharuan dipimpin oleh tokoh-tokoh heroic seperti Jamal al-Din al-Afghani
(1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Khair al-Din al-Tunisi (w. 1890).
Gelombang itu disebut “pembaru” karena perhatian utamanya tidak tereduksi,
sebagaimana gerakan-gerakan sebelumnya, pada pemurnian ajaran dan perilaku.
Para pembaru itu juga peka terhadap cara “the other” (yang lain) memandang
islam dan menyerukan sumber yang tak tergoyahkan dan iman, maupun untuk
menghadapi campur tangan kekuatan-kekuatan barat. [20]
c) Pergulatan turats dan tajdid dalam sejarah perkembangan
hukum islam
Permasalahan yang nyata yang dihadapi oleh para
penyeru syari’ah adalah keterbatasan dalil dan ketidakterbatasan permasalahan alias banyaknya
masalah. Ini karena masa turunnya wahyu telah berakhir empat belas abad yang
lalu. Di samping itu, permasalahan manusia terus berkembang sampai akhir
kehidupan dunia. Jika syari’ah dimaknai sebagai aturan Allah mengenai
perbuatatan manusia yang dipahami dari dalil, maka bagaimana dalil yang
terbatas tersebut bisa mengatur permasalahan perbuatan manusia yang tak
terbatas?
Bagi para modernis (ashariyyun), mereka menganggap bahwa ushul fiqh yang ditawarkan
oleh para turatsiyyun sudah
ketinggalan zaman. Dimana Bagi para turatsiyyun ushul fiqh diyakini mampu menjadi senjata andalan untuk menghadapi
permasalahan ini.[21]
Hukum yang menjadi produk metodologi seperti itu menurut ashariyyun dipandang tidak akan mampu menjawab tantangan zaman.
Sebagian di antara mereka memandang bahwa kesempurnaan Islam yang dinyatakan
oleh surat al-Maidah ayat 3 sebenarnya tidak berarti kesempurnaan aktual
melainkan kesempurnaan potensial.[22]
Jika kita kembali kepada para turatsiyyun, ada beberapa catatan penting dari an-Nabhani terkait
isu ini: pertama, dalil yang
otoritatif hanyalah dalil yang otoritasnya dapat dibuktikan secara qoth’i,[23] yang memenuhi kriteria qoth’i hanya al-Quran, Sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas. Dengan empat dalil ini saja berbagai permasalahn dalam
lintas ruang dan waktu akan dapat dijawab dengan proses pembacaan yang disebut
dengan ijtihad. Berikutnya tinggal
masalah kemampuan seorang mujtahid dalam
membaca jawaban yang ada di empat sumber tadi ke dalam kasus-kasus baru
tersebut.[24]
3. Penutup
Demikianlah makalah penjelasan tentang “Pergulatan Turats dan Tajdid dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Tentunya
banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
kritik serta saran yang konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan, terutama dosen pengampu mata kuliah ini, untuk membenahi kesalahan yang kami lakukan
sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia
merupakan tempat salah dan lupa, karena semua kebaikan datangnya dari Allah,
maka kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para
pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua dimasa
mendatang.
Daftar
Pustaka
Asmuni,
Yusron, 2001. Pengantar Studi Pemikiran
dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta : PT
Raja
Grafindo Persada
Filali-Ansary,
Abdou, 2009. Pembaruan Islam Dari Mana
Hendak Ke Mana, Jakarta : PT Mizan Pustaka
Jamil,
Muhsin, 2005. Membongkar Mitos Menegakkan Nalar (Pergulatan Islam Liberal Versus
Islam Literal),
Semarang:
Pustaka Pelajar
Ka’bah,
Rifyal, 1984. Islam dan Fundamentalisme, Jakarta :
Pustaka Panjimas
Rachman,
Fazlur, 1992. Islam, Jakarta : PT
Bumi Aksara
Syaukani,
Imam, 2006. Rekonstuksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi
Pembangunan Hukum
Nasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Thalhah
Hasan, Muhammad, 2003. Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, Jakarta : Lantabora
Press
http://www.2lisan.com/rss/Beberapa-Catatan-tentang-Tu%C3%ts,-Kemodernan,-an-Nabhani,-dan,-Masa-.../
diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 10:55 WIB
http://www.gerbangpencerahan.html//
diakses tanggal 5 Mei 2011 pukul. 14.15 WIB
[1]
Fazlur Rachman, Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara, 1992,
Hal 374
[2]
Muhammad Thalhah
Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi
Tantangan Zaman, Jakarta : Lantabora Press, 2003, hal 21
[3] M. Muhsin Jamil, MA, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar
(Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal), 2005. Semarang: Pustaka
Pelajar. hal. 128
[5]
http://www.gerbangpencerahan.html// diakses tanggal 5 Mei 2011 pukul. 14.15 WIB
[6] Ibid
[7] Nirwan Syafrin, loc. Cit. hal.7
[8] Ibid
[10] Imam Syaukani, S. Ag, M.H. Rekonstuksi Epistimologi Hukum Islam
Indonesia dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, 2006. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. hal. 19
[11]
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran
dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001, hal 1-2
[12]
Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1984, hal 160
[13]
Yusran Asmuni, Op. cit, hal 3
[14]ibid
[15]
Ibid , hal 4
[16]
Ibid, hal 5-6
[17]
Abdou Filali-Ansary, Pembaruan Islam Dari
Mana Hendak Ke Mana, Jakarta : PT Mizan Pustaka, 2009, hal 265
[18]
ibid, hal 264
[19]
Yusran Asmuni, Op. cit, hal 7
[20]Abdou Filali-Ansary, Loc. Cit, hal 264
[22]
Ibid
[23]Yang
dikutip dari Taqiyyuddin an-Nabhani, al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah. Vol III,
hal. 64-67
[24]
http://www.2lisan.com/rss/Beberapa-Catatan-tentang-Tu%C3%ts,-Kemodernan,-an-Nabhani,-dan,-Masa-.../ diakses pada tanggal 6 Mei 2011
pukul 10:55 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar