A.
Pendahuluan
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa
Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat
dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan)
bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta
persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata
"khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah),
adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan)
dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara
kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar
mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj
(pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang
mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan”
yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau
tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan
ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang
perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti
menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka
sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir
dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus
tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah
sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat
istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat
keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan
dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir
Allah yang menghendaki lain.
A.
Khitbah dan
Hak Mahar
Sebagaimana Allah berfirman dalam
Surat Albaqarah : 235- 237, sebagai berikut :
wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur w £`èdrßÏã#uqè? #
Å HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 wur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6t Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷èt $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4
(#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇËÌÎÈ w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& cqàÿ÷èt ÷rr& (#uqàÿ÷èt Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4
br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)G=Ï9 4
wur (#âq|¡Ys? @ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4
¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇËÌÐÈ
235. dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[1]dengan
sindiran[2] atau
kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[3].
dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun.
236. tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
237. jika kamu
menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau
dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah[4],
dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan
keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu
kerjakan.
B.
Tahlilul Lafdzi
·
ﻋﺮﺿﺘﻢ
·
Melakukan sindiran, sindiran untuk mengkhitbah
perempuan yaitu dengan mengucapkan perkataan yang menyerupai khitbah dan tidak
terus terang tapi memberikan perumpamaan sebagai isyarat.
·
ﺨﻄﺒﺔ
ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ
·
Meminta perempuan untuk menikah, meminang
perempuan.
·
ﺃﻜﻨﻨﺘﻢ
·
Menutupi dan menyamarkan.
·
ﻻﺘﻮﺍﻋﺪﻮﻫﻦ
ﺴﺮﺍ
·
Yang dimaksud sirrun di sini adalah nikah, jangan
menjanjikan mereka yang sedang dalam masa iddah untuk menikah.
·
ﻋﻘﺪﺓ
ﺍﻠﻨﻜﺎﺡ
·
Pengikatan, ikatan/akad nikah.
·
ﺃﺠﻟﻪ
·
Penghabisan, akhir masa iddah.
·
ﻓﺎﺤﺬﺮﻮﻩ
·
Takutlah akan hukumannya dan jangan melanggar.
·
ﺤﻟﻴﻢ
·
Melambatkan hukuman dan tidak mempercepatnya, Allah
melambatkan hukuman tapi tidak membiarkan.
·
ﺍﻟﻤﻮﺴﻊ
·
Orang yang dalam keadaan lapang karena kekayaannya,
banyak hartanya.
·
ﺍﻟﻤﻘﺘﺮ
·
Orang yang dalam kesempitan karena kemiskinannya.
·
ﺘﻤﺴﻮﻫﻦﱠ
·
Memegang sesuatu dengan tangan, menyentuh
perempuan.
·
ﻓﺮﻴﻀﺔ
·
Apa yang telah ditetapkan Allah atas hamba-Nya,
maksudnya di sini adalah mahar karena telah ditetapkan dengan perintah Allah.
·
ﻴﻌﻔﻮﻦ
·
Meninggalkan dan memaafkan, maksudnya adalah
perempuan menjatuhkan haknya atas mahar.
C.
Makna Ijmali
Allah swt
telah menjelaskan hukum meminang perempuan yang sedang dalam masa iddah setelah
kematian suaminya dalam firman-Nya yang berarti: Tidak ada kesempitan dan tidak
ada dosa atas kalian wahai para laki-laki, dalam memulai keinginan menikah
dengan perempuan yang sedang dalam masa iddah, dengan cara memberi isyarat
tidak terang-terangan, sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui apa yang kalian
sembunyikan dalam diri kalian dari kecondongan terhadap mereka, dan keinginan
untuk menikah dengan mereka, dan tidak akan menghukum kalian atas tindakan itu,
akan tetapi kalian tidak boleh terang-terangan dengan keinginan ini ketika
mereka dalam keadaan iddah, kecuali dengan cara isyarat yang diketahui, dengan
syarat tidak akan terjadi hal yang buruk atau melewati batas dalam perkataan,
dan jangan ber’azam niat untuk melakukan akad nikah sampai selesai masa
iddahnya, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mengetahui atas
rahasia-rahasiamu dan isi hatimu dan apa yang kamu cari atasnya.
Kemudian
Allah menyebutkan hukum perempuan yang ditalak sebelum ditentukan maharnya dan
belum disentuh, maka diangkatlah dosa dari
talak sebelum “dukhul”, agar
orang tidak berprasangka bahwa talak dalam keadaan ini dilarang, dan
diperintahkan membayar mut’ah untuk mereka sebagai perbaikan bagi kehormatan
mereka, sesuai dengan kadar kemampuan si laki-laki baik kaya maupun miskin, dan
menjadikannya salah satu dari perbuatan baik untuk menghilangkan kesedihan
karena talak, dan adapun talak yang terjadi sebelum adanya persentuhan dan
telah disebutkan maharnya, maka perempuan yang ditalak berhak atas setengah
dari mahar yang telah ditentukan, kecuali jika telah dijatuhkan haknya, atau
suaminya telah membayarkan mahar seluruhnya, atau walinya yang telah
menjatuhkan haknya jika dia masih kecil.
Dan Allah mengakhiri ayat itu dengan
peringatan: tanpa melupakan kasih sayang, kemurahan hati, dan kebaikan di
antara suami istri, maka jika talak telah terjadi karena sebab-sebab penting yang memaksa, maka tidak seyogyanya
talak ini menjadi pemutus ikatan kekeluargaan dan memutuskan kekerabatan.
C. Sababun
Nuzul
Al Khazin
berkata dalam tafsirnya : Ayat kedua diturunkan tentang seorang laki- laki
Anshar yang menikahi seorang perempuan Bani Hanifah dengan tidak menyebutkan
maharnya, lalu diceraikannya sebelum dicampuri. Begitulah, lalu turun ayat
ketiga. Sesudah itu lalu Rasulullah SAW bersabda kepada laki- laki tersebut :
“Berilah dia mut’ah sekalipun dengan kopiahmu itu.”[5]
D. Tafsirnya
1. Al Qur’an
mrmbolehkan meminang perempuan yang dalam iddah dengan cara sindiran, misalnya
dengan ucapan : Engkau ini seorang perempuan yang cantik, engkau seorang
perempuan sholehah, engkau ini seorang perempuan yang dermawan dan lain
sebagainya.[6]
Ibnul Mubarak
meriwayatkan dari abdur rahman bin Sulaiman dari bibinya (Sukainah binti
Hadlalah), ia berkata :
دخل علي أبو جعفر محمد بن علي وأنا
فى عدتى , فقال : أنا من علمت قرابتى من رسول الله ص م و حق جدى على وقدمى فى
الاسلام. فقلت : غفر الله لك يا أبا جعفر, أتخطبنى فى عدتى وانت يؤجذ عنك ؟ فقا ل
: أوقد فعلت ؟ أنا أخبرتك بقرا بتى من رسول الله ص م وموضعى , دخل رسول الله ص م
على أم سلامة حين توفى عنها زوجها (أبو سلامة) فلم يزل رسول الله ص م يذكر لها
منزلته من الله , وهو متحامل على يده حتى أثر الحصير فى يده فما كانت تلك خطبة.
“Abu Ja’far, Muhammad bin Ali pernah
masuk ke rumahku, disaat aku masih dalam ‘iddah, lalu ia berkata : Aku ingin
orang yang engkau tahu betul akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan hak
nenekku Ali serta jejakku dalam Islam, lalu aku berkata : Semoga Allah mengampuni,
hai Abu Ja’far, apakah engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam iddah
dan apakah engkau mau disiksa ? Abu Ja’far menjawab : Apa aku sudah berbuat ?
aku kan hanya memberitahumu akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW serta
kedudukanku (dalam keluarga ). Bukankah Rasulullah juga pernah masuk ke rumah
Ummu Salamah ketika Abu Salamah meninggal dunia, dan Rasulullah SAW sendiri
terus menerus menyebut- nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah,
sedangkan dia bertanggung jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat pada
dirinya, namun yang demikian itu tidak dinamakan meminang.”[7]
2. Zamakhsyari berkata : “rahasia”
yang dimaksud dalam ayat diatas, adalah kinayah dari nikah yang nikah itu sendiri
asal artinya ialah: bercampur. Dan dia itulah yang dirahasiakan (dalam
perkawinan) itu. Seperti kata al A-‘sya:
ولا تقربن من جارة أن سرها
عليك حرام فانكحوا أو تاء بدا
“Janganlah
engkau mendekat seorang gadis
Sesungguhnya rahasianya itu haram atasmu
Kawinlah dia atau engkau sama sekali menjauh”
Kemudian kata ini dipergunakan untuk
arti “kawin” yang berarti ‘aqad, karena ‘aqad itu suatu “sebab” terjadinya
perkawinan. [8]
3. Penyebab kata “azam” dalam ayat
itu adalah lilmubalaghah larangan yang sangat keras untuk mengadakan perkawinan
dalam ‘iddah, karena azam untuk perbuatan tersebut adalah merupakan
muqaddimahnya. Kalau azam saja sudah dilarang, maka mengerjakan lebih dilarang.
4. Allah mempergunakan kata
“menyentuh” untuk arti bercampur, adalah suatu kinayah yang halus yang biasa
digunakan dalam Al Qur’an.
Abu Muslim berkata : Kinayah yang
dipergunakan Allah SWT untuk bercampur dengan menyentuh itu, sebagai didikan
buat manusia agar dalam percakapannya sehari- hari selalu memilih kata- kata
yang baik.[9]
5. Khitbah dalam firman Allah:”Bahwa
memaafkan itu jalan terdekat kepada taqwa” dan “jangan kamu lupakan kelebihan
antara kamu” itu tertuju untuk pria dan wanita, yang disampaikan dengan
mengambil cara “pada umumnya”.
Ar Razi berkata: Apabila pria dan
wanita itu hendak disebut secara bersamaan, maka pada umumnya cukup dengan
menyebutkan yang pria. Sebab, pria itulah yang pokok, sedang wanita adalah
cabang. Misalnya anda mengatakan فائم (laki- laki berdiri),
kemudian anda hendak menyebut juga wanita, maka anda mengatakan قائمة (wanita berdiri).
6. Hikmah wajibnya mut’ah kepada
istri yang ditalak untuk menghiangkan perasaan keganasan talak dan mengurangi
kejahatan harta terhadap dirinya.[10]
Ibnu Abbas berkata : Apabila si
laki- laki (suami) itu orang yang kaya, maka mut’ahnya berupa khadam (pelayan)
dan apabila miskin, mut’ahnya berupa tiga helai baju.
7. Diriwayatkan, bahwa Al Hasan bin
Ali pernah memberikan mut’ah sebanyak 10.000, lalu perempuan itu berkata :
“Mut’ah ini terlalu kecil, dari seorang habib (kekasih) yang menceraikan”.
Adapun sebab dicerainya istrinya ‘Aisyah al Khats’amiyah itu ialah: bahwa
ketika Ali terbunuh dan Al Hasan dibaiat sebagai Khalifah, Aisyah mengatakan :
Rupanya kekuasaan Khalifah itu menyenangkan engkau, Ya Amiral Mukminin ! Maka
Jawab al Hasan: Ali terbunuh, sedang engkau senang dengan kedudukan ini ?
Pergi, engkau kutalak tiga ! begitulah, lalu Aisyah berselimut dengan
jilbabnya, dan ia tetap menanti hingga habis masa iddahnya. Lalu oleh al Hasan
dikirimnya mut’ah sebanyak 10.000, serta sisa mahar (Yang belum terbayar). Maka
komentar Aisyah : Suatu pemberian (mut’ah) yang terlalu kecil dari seorang
habib yang menceraikan. “setelah utusan itu menyampaikan hal itu kepada Hasan,
maka hasan menangis, seraya berkata : Seandainya aku tidak menjatuhkan talak
bain, niscaya kurujuk dia.[11]
E. Kandungan Hukum
1. Hukum Meminang[12]
Perempuan. Dalam kedudukan hukum pinangan ini,
ada 3 macam :
a)
Perempuan yang
boleh dipinang dengan terang- terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan
yang masih single dan bukan dalam ‘iddah. Sebab bila ia itu boleh dikawin sudah
barang tentu boleh juga dipinang.
b)
Perempuan yang
tidak boleh dipinang, baik dengan terang- terangan maupun dengan sindiran.
Yaitu: perempuan yang masih mempunyai suami, sebab meminang perempuan dalam
keadaan demikian itu, berarti merusak hubungan suami istri dan hukumnya haram.
Begitu pula perempuan yang ditalak raj’i yang masih dalam ‘iddah. Dia itu
dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.
c)
Perempuan yang
boleh dipinang secara sindiran, tidak boleh dengan terang- terangan. Yaitu,
perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah, seperti yang
diisyaratkan al Qur’an:”Dan tidak ada dosa atas kamu meminang perempuan itu
dengan sindiran”. Termasuk perempuan yang ditalak tiga. Dalil bagi terlarangnya
peminangan ini ialah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i:”Dikhususkannya dengan
tidak berdosa peminangan secara sindiran itu, menunjukkan bahwa peminangan
dengan terang-terangan adalah sebaliknya.” Ini disebut mafhum mukholafah.
2. Perkawinan
dalam Iddah[13]
Allah
mengharamkan pernikahan dalam ‘iddah dan mewajibkan perempuan agar menanti,
baik dalam iddah talak ataupun iddatul wafat. Ini berdasarkan firman Allah:”Dan
jangan kamu berazam untuk mengadakan ‘aqad nikah, sehingga habis masa
‘iddahnya”. Ayat ini menunjukkan haramnya mengadakan aqad perkawinan dalam
‘iddah. Ulama sepakat bahwa aqadnya itu fasid dan wajib difasakh karena
larangan Allah tersebut. Dan apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah
tangga, pernikahannya itu harus difasakh, dan perempuan itu haram lagi suaminya
untuk selama- lamanya. Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya adalah
keputusan Umar. Karena laki- laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak
halal, karena itu dia harus dihukum dengan diharamkannya kawin dengan perempuan
tersebut. Tak ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya
mendapatkan warisan (dari harta si terbunuh).
Tetapi Abu
hanifah dan Syafi’i berkata: perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau perempuan
itu sudah keluar dari iddahnya, maka laki- laki yang mengawininya tadi dinilai
sebagai peminang dan tidak diharamkan untuk kawin dengan perempuan tersebut
selamanya.
3. Hukumnya
perempuan yang ditalak sebelum dicampuri[14]
a)
Perempuan yang
sudah dicampuri dan sudah ditentukan maharnya. Iddahnya tiga quru’ dan maharnya
tidak boleh diambil sedikitpun oleh suaminya. (Al Baqoroh: 228-229).
b)
Perempuan yang
belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya dan
tidak berhak menerima mahar, tetapi berhak mendapatkan mut’ah. (Al Baqoroh: 236
dan Al Ahzab: 49).
c)
Perempuan yang
belum dicampuri tetapi sudah ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya
tetapi mendapatkan separuh mahar. (Al baqoroh:237)
d)
Perempuan yang
sudah dicampuri tetapi belum ditentukan maharnya. Berhak mendapatkan mahar
mitsli[15].
(an Nisa’: 24). Hal ini juga diqiaskan dengan ijma’ para ulama yang menyatakan
bahwa perempuan yang sudah dicampuri karena suatu syubhat, tetap berhak
mendapatkan mahar mitsl. Sedang perempuan yang telah dicampuri dengan
pernikahan yang sah, adalah lebih berhak, berdasarkan hukum ini.
4. Hukum mut’ah untuk perempuan
yang ditalak[16]
Bagi perempuan yang belum dicampuri
dan belum ditentukan maharnya, jelas wajib mendapatkan mut’ah. Selanjutnya
berkaitan dengan apakah mut’ah itu wajib untuk setiap perempuan yang tertalak
apa tidak, ada 2 pendapat ulama sebagai berikut :
a.
Hasan Basri
berpendapat wajib, berdasarkan keumuman. ( Al Baqarah: 241)
b.
Jumhur
(Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) berpendapat: mut’ah itu wajib bagi
perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Adapun bagi
perempuan yang sudah ditentukan maharnya, mut’ah itu hukumnya sunat.
5. Arti mut’ah
dan ukurannya[17]
Mut’ah adalah
pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik berupa uang, pakaian
atau perbekalan apa saja, sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya
itu, serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkan itu. Ukuran mut’ah
sebagai berikut :
a)
Imam Malik:
Mut’ah tidak ada batasnya, baik minimal dan maksimal.
b)
Syafi’i : bagi
yang mampu disunatkan mut’ah itu berupa seorang khadam, sedang orang
pertengahan 30 dirham, dan buat yang tidak mampu sekedarnya saja.
c)
Abu hanifah:
sedikitnya berupa bajun kurung, kerudung dan tusuk konde dan tidak lebih dari
setengah mahar.
d)
Ahmad : mut’ah
itu berupa baju kurung dan kerudung yang sekedar cukup dipakai buat sholat dan
ini sesuai kemampuan suami.
F. Penutup
Demikian makalah ini kami susun, semoga bisa
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan akhirnya
penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah. Untuk itu
sebagai manusia yang tak luput dari khilaf, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca demi perbaikan penyusunan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Preada Mnedia Group:
Jakarta,cet I. 2006
Hamidi, Muammal dan Imron A. manan, terjemahan Tafsir AYat Ahkam
as-Shobuni, Bina Ilmu: Surabaya. Cet I, 1983
Mustofa, Ahmad
al-Maroghi,Terjemeah afsir al-Marogh, Toha Putra: Semarang, cet II,1993
Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir
Ayat Ahkam Minal Qur’an, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A.
Manan, “Tafsir Ayat Ahkam Ash Shobuni”, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Hasil Diskusi:
1. Pertanyaan: Bagaimana
tradisi Arab dalam meminang?
Jawaban: Tradisi Arab
dalam meminang ada tiga macam, yaitu:
1.
Dengan cara
terus terang (sharih) dan perkataan itu tidak perlu diberi keterangan lagi,
seperti dia berkata,” sukakah engkau kawin dengan saya” dan sebagainya.
2.
Dengan jalan
kinayah, yaitu menyebutkan suatu keperluan dengan menggunakan kalimat bersayap,
yang disangka mungkin ada hubungannya dengan apa yang dimaksudnya dalam
hatinya, seperti perkataan seorang suami kepada istrinya,” saya lepas engkau”.
Perkataan ini dapat berarti melepaskan dari perkawinan atau utang atau ikatan.
3.
Dengan cara
tidak langsung (ta’ridh), seperti seseorang yang berkata kepada perempuan yang
dicintainya itu “ alangkah cantiknya engkau”, banyak yang suka kepadamu, saya
hendak mencari seorang yang mau sehidup semati dengan saya.[18]
2. Pertanyaan: Asbabun
nuzul ayat yang pertama?
Jawaban: Kami tidak
menemukan
3.Pertanyaan: Bagaimana
hukum pemutusan khitbah secara sepihak seperti dalam kasus artis Ayu Dewi?
Jawaban: Tidak
apa-apa, karena khitbah itu belum menjadi sebuah ikatan yang berakibat hukum.
4.Pertanyaan: Seberapa
kuat ikatan dalam pertunangan?
Jawaban: Pertunangan
atau khitbah tidak memiliki kekuatan ikatan tertentu, hanya saja dalam
pertunangan itu ada hak dan kewajiban. Bagi wanita yang dikhitbah, maka tidak
boleh menerima khitbah laki-laki lain. Bagi laki-laki yang mengkhitbah, maka
harus menikahi wanita yang telah dikhitbah itu. Dan bagi keduanya ada hak untuk
membatalkan khitbah, sehingga pernikahannya juga bisa dibatalkan.
5.Pertanyaan: Bagaimana
hukum khitbah terhadap gadis yang sudah tidak perawan?
Jawaban: Dalam fiqh
al-bikru bermakna perempuan yang belum menikah secara umum, jadi entah
perempuan itu masih perawan atau sudah tidak perawan hukumnya sama saja, semua
boleh dikhitbah.
6.Pertanyaan: Apakah
syarat-syarat mahar?
Jawaban: Dalam
Al-Qur’an disebutkan tentang kewajiban memberikan mahar yaitu surat An-Nisa’
ayat 4:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
Artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan[19].
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.”
Namun
tidak ada syarat atau ketentuan yang pasti tentang bentuk mahar yang harus diberikan.
Tentang besar kecilnya mahar itu bergantung pada permintaan wanita dan
kemampuan dari mempelai laki-laki. Secara fiqhiyah, kalangan Hanafiyah
berpendapat bahwa besarnya mahar minimal 10 dirham. Sedangkan Malikiyah
mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian, sebagian ulama
mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
7.Pertanyaan: Bagaimanakah
hukumnya mahar yang berupa ayat Al-Qur’an?
Jawaban: Mahar yang
berupa hafalan ayat Al-Qur’an diperbolehkan, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah riwayat tentang betapa tidak memberatkannya nilai mahar yang diwajibkan
bagi calon mempelai: Dari Sahal bin Sa’ad bahwa Nabi SAW didatangi seorang
wanita yang berkata,” Ya Rasulullah, ku serahkan diriku untukmu”, wanita itu
berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah,
kawinkan dengan aku saja jika Engkau tidak ingin menikahinya”. Rasulullah
bertanya,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?”, dia berkata,” Tidak,
kecuali hanya sarungku ini”. Nabi menjawab,” Bila kau berikan sarungmu itu maka
kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu”. Dia berkata,” Aku tidak
mendapatkan sesuatu pun”, Rasulullah berkata,” Carilah walau cincin dari besi”.
Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata
lagi,” Apakah kamu menghafal Qur’an?”, dia menjawab,” Ya, surat ini dan itu”,
sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,” Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Qur’anmu”. (H.R. Bukhori Muslim)
[2] Wanita yang
boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal
suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i
tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[3] Perkataan
sindiran yang baik.
[4] Ialah suami
atau wali. kalau Wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar
yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh
mahar.
[5]Lihat Tafsir Al Khazin, Juz I, dan Mahasinut
Takwil oleh Al Qasimi 2: 619
[6]Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat
Ahkam Minal Qur’an, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan,
“Tafsir Ayat Ahkam Ash Shobuni”, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hal. 311
[7] Tafsir Thabari 2:519, al khasysyaf 2:214
[8] Al Kasysyaf, 1:215
[11] HR daraquthni, Tafsir Qurthubi, 3:202
[12]Ali Ash shobuni, op.cit, 314
[13]Ibid, 314-315
[17]Ali Ash Shobuni, hal 317- 318
[18] Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, cet.I, Jakarta: Preada
Media Group, 2006, hlm.141-142
[19] pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya
ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan
dengan ikhlas.
Izin copas mbak
BalasHapus