PROSES MENUJU
PERKAWINAN
I.
Pendahuluan
Perkawinan merupakan
salah satu sunnah yang diperintahkan oleh Nabi kita Muhammad saw., sebagaimana
disebutkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh muttafaqun ‘alaih yang berasal
dari Abdullah Ibn Mas’ud:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه أغض
للبصر وأحصن للفرج فمن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء
“Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan
untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan
(dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa
yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang
syahwat”.
Demikianlah, perkawinan
itu diperintahkan bagi mereka yang telah memiliki kemampuan, yang hikmahnya
adalah menghindarkan diri dari maksiat dan menjaga kehormatan diri.
Dalam pandangan Islam
perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekadar urusan
keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena
perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan
dilaksanakan sesuai petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu,
perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk
selama hidup. Oleh karena itu, seseorang yang akan melaksanakan perkawinan
perlu mempersiapkan beberapa hal merupakan proses menuju perkawinan. Di antara
persiapan itu adalah memilih pasangan yang tepat berdasarkan ketentuan agama,
melakukan khitbah, dan mempersiapkan mahar bagi laki-laki untuk diberikan kepada
perempuan yang dinikahinya. Selengkapnya akan dijelaskan dalam makalah ini.
II.
Pembahasan
A. Pacaran dan Hukumnya
Akhir-akhir
ini, proses khitbah (peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam
bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam
praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu.
Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan.
Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya,
pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing,
yang dalam ajaran Islam disebut dengan “ta’aruf” (saling kenal-mengenal).[1]
Akibat
pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi
terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa
melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran
untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman,
uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja
yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa
kasus yang diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akibat pergaulan
bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pra nikah,
aborsi, bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan
mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[2]
Islam
sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti
tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32:[3]
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu
mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan
suatu jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra’: 32)
Dalam
Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk bahwa Allah menciptakan manusia
terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa
adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:[4]
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى
وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن إكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S.Al-Hujurat: 13)
Dengan
demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara
pria dan wanita (pacaran), di mana tahapan umumnya dapat dijelaskan sebagai
berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertemu dan tertarik
satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang
sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan
tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak
terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di antara mereka berdua terdapat
kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling mengenal kondisi keluarga
masing-masing, misalnya dengan jalan bersilaturrahmi ke orang tua keduanya.[5]
Kedua,
proses khitbah, yakni melamar atau meminang. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum
pacaran dalam artian ta’aruf adalah diperbolehkan, dengan berdasarkan
penjelasan di atas.
B. Khitbah (meminang)
1. Pengertian dan Macam-Macamnya
Kata
peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang
sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut “khithbah”. Menurut
etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk
dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi,
peminangan adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada
seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di
tengah-tengah masyarakat.[6]
Peminangan
merupakan pendahuluan perkawinan yang disyari’atkan sebelum ada ikatan suami
istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasari kerelaan yang
didapatkan dari penelitian, pengetahuan, serta kesadaran masing-masing pihak.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan”
yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau
tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan
ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan, dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat,
anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan,
hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi
mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan
pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap
menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah
sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat
istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat
keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan
dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir
Allah yang menghendaki lain.
Ada beberapa
macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
[7]
a.
Secara
langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya
berkeinginan untuk menikahimu.”
b.
Secara tidak
langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami
dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
2. Perempuan yang Boleh Dipinang dan
Batasan Melihat Perempuan yang Dipinang
Adapun
perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:[8]
a. Tidak dalam pinangan orang lain;
b. Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada
penghalang syarak yang melarang dilangsungkannya pernikahan;
c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah
karena talak raj’i; dan
d. Apabila perempuan dalam masa iddah
karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak
terang-terangan).
Meminang
pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan
menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan
mengganggu ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi saw. :
المؤمن
أخو المؤمن فلا يحل له أن يبتاع على بيع أخيه ولا يخطب على خطبة أخيه حتى يدرى
(رواه احمد و مسلم)
“Orang mukmin
dengan mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang
dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya sehingga ia
meninggalkannya”. (H.R. Ahmad dan Muslim)[9]
Meminang
pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima
pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkannya, bila
izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan
terang-terangan atau sindiran, atau karena
laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau
pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama
mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu
diperbolehkan.[10]
Meminang
mantan istri orang lain yang sedang dalam masa iddah, baik karena kematian
suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram. Jika
perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i, ia haram dipinang karena masih
ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak meruju’nya
kembali sewaktu-waktu ia suka.[11]
Dalam
agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama
dalam batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi saw.:
عن المغيرة ابن شعبة انه خطب امرأة فقال له
رسول الله صلى الله عليه وسلم: أنظرت اليها؟ قال: لا, قل: انظر اليها فانه ان يؤدم
بينكما. (رواه النسائ وابن ماجه والترمذى)
“Dari Mughirah bin
Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw. Bertanya
kepadanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia
lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”. (H.R.
Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)[12]
Mengenai
bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda
pendapat. Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan.
Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud Al-Dzahiri) membolehkan melihat seluruh
badan, kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat
sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki,
muka, dan dua telapak tangan.[13]
Silang
pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk
melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada
pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan,
berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر
منها
Dan
janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak
daripadanya. (Q.S. An-Nur:31)[14]
3. Hukum Peminangan dan Hikmahnya
Dalam
Al-Qur’an dan dalam banyak hadits Nabi memang banyak yang membicarakan hal
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi. Oleh
karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang
mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid
yang menukilkan pendapat Daud al-Dzahiriy yang mengatakan hukumnya adalah
wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada perbuatan dan tradisi yang
dilakukan Nabi dalam peminangan itu. [15]
Adapun
hikmah dari adanya syari’at peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan
yang diadakan setelah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak
daapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari hadits Nabi dari Al-Mughirah
bin al-Syu’bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmidzi dan al-Nasa’i yang berbunyi
sebagai berikut:
أنه قال له و قد خطب إمرأة
انظر اليها فانه أحرى أن يؤدم بينكما
Bahwa
Nabi berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan:”melihatlah
kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”.
(al-Shan’aniy III, 113)[16]
C. Kafa’ah
1. Pengertian
Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya
adalah sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa
arab dan terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam
al-qur’an adalah dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad,
yang berarti tidak suatupun yang sama dengan-Nya.
Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan
mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah
mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat
tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya.[17]
Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan
ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya.
Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan
kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah
tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran
yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.[18]
2. Hukum
Kafa’ah
Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada
kebenaran. Islam tidak membuat aturan tentang kafa’ah. Maka dari itulah
pembicaraan mengenai kafa’ah menjadi pembicaraan dikalangan ulama,
karena tidak ada dalil yang mengaturnya dengan jelas dan spesifik, baik dalam
Al-Qur’an maupun hadist.
Bila demikian halnya, wajar bila beberapa ulama berbeda
pendapat tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya. Ibnu Hazm pemuka madzhab
Zahiriyah yang dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa’ah
dalam perkawinan. Ia berkata bahwa setiap muslim selama tidak melakukan
zina boleh kawin dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan
perempuan pezina.[19]
Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa’ah dan
pelaksanaannya berefek domino pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa’ah
dalam pernikahan sendiri, ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama’ terbagi
menjadi 2 poros dalam menanggapi kedudukan kafa’ah dalam pernikahan.
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat
dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat
pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan
tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang
hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka
merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum”.[20]
Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu
riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk
syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua
mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka
bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap
lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa
min al-akfaa’, wala tuzawwijuhunna illa min al-auliya’.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah.
Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah
dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan,
bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh
kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan
pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang
lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah.
Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun
laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan,
apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.
Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan
Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan
kami sampaikan nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup
keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.
3. Dasar-Dasar
Kafa’ah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang
digunakan dalam kafa’ah.[21]
Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a. Nasab,
yaitu keturunan atau kebangsaan.
b. Islam,
yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.
c. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
d. Kemerdekaan
dirinya.
e. Diyanah, yaitu tingkat kualitas
keberagamaan dalam islam.
f. Kekayaan.
Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1.
Diyanah
2.
Terbebas dari cacat fisik.
Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Nasab
2. Diyanah
3. Kemerdekaan
dirinya.
4. Hirfah.
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1.
Diyanah
2.
Hirfah
3.
Kekayaan
4.
Kemerdekaan diri
5.
Nasab
Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah
sebagai kriteria kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah
(32):18, “Afaman kana mu’minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan
ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari
sisi ketaqwaannya.
Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh
adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi
saw. yang teksnya:
تنكح
المرأة لدينها وجمالها وحسبها, فاظفر بذات الدين تربت يداك (أخرجه البخارى عن أبى
هريرة)
“Wanita itu
dikawini karena agamanya, kecantikannya, hartanya, dan keturunannya. Maka
carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu.”
D. Mahar
1. Pengertian Dan Hukum Mahar
Kata “mahar” berasal dari bahasa arab
dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Mahar itu dalam bahasa arab
disebut dengan delapan nama yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’,
ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian
wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.[22]
Mahar
secara etimologi, artinya mas kawin. Secra terminology, mahar ialah pemberian
wajib dari calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulakn
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[23]
2. Syarat-Syarat Mahar
a) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat.
Tidak sah mahar dengan memberikan khamr, babi, darah, karena semua itu haram
dan tidak berharga.
b) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang orang
lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat
untuk mengembalikannya kelak.
c) Bukan barang yang tidak jelas
keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas
keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[24]
3. Macam-macam mahar
a) Mahar musamma, yaitu mahar yang
sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.[25]
Ulama fikih sepakat
bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh
apabila:
1. Telah bercampur (bersenggama). Allah
berfirman:
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
Dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain[26],
sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata ?(Q.S.
An-Nisa’:20)
2. Salah satu dari suami istri meninggal.
Demikian menurut ijma’. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya
apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan
sebab tertentu. Akan tetapi, aklau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib
dibayar setengahnya. Berdasarkan fiman Allah surat Al-Baqarah ayat 237:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù H
Jika
kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu.
b) Mahar Mitsl (sepadan)
Mahar Mitsl yaitu mahar yang
tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadinya
pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima
oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan
status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[27]
Mahar
Mitsl juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
·
Apabila
tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
·
Jika
Mahar Musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri
dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah
yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal
ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Allah berfirman:
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4
Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.(Q.S.
Al-Baqarah:236)
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum
digauli dan belum juga ditetapkan jumlahnya mahar tertentu kepada istrinya itu.[28]
III.
Penutup
Demikian makalah yang
berjudul “Proses Menuju Perkawinan” ini kami susun, semoga bisa memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan akhirnya penulis
menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah. Untuk itu
sebagai manusia yang tak luput dari khilaf, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
demi perbaikan penyusunan yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Hamdani. Risalah
an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002,
Al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh
‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz IV,
Mujid, M. Abdul dkk. Kamus Istilah
Fikih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995,
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
Cet.3, Jakarta: Kencana, 2009,
Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih
Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press,
2010,
Zuhaili, Wahbah. Fiqhul
Islami wa Adillatuhu,
[1] Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta:
Rajawali Press, 2010, hlm. 21
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm. 23
[6] Ibid, hlm. 24
[7] Wahbah
Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, hlm.6492
[8] Op.cit., hlm.
24-25
[9] Ibid , hlm. 27
[10] Ibid, hlm. 28
[11] Ibid, hlm. 30
[12] Ibid, hlm. 25
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
Cet.3, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 50
[16] ibid
[17] Ibid,
hlm. 141
[18] Al-Hamdani,
Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002. Hlm. 15
[19] Ibid, hlm.16
[22] Ibid, hlm. 84
[24] Abdurrahman al-Jaziri,
al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz IV, hlm. 103
[25] M. Abdul Mujid dkk, Kamus
Istilah Fikih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 185
[26]
maksudnya ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan
isteri yang baru. sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan
untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
[27] Ibid
[28] Tihami, op. cit, hlm.
46-47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar