Global Variables

Rabu, 25 April 2012

PROSES MENUJU PERKAWINAN

PROSES MENUJU PERKAWINAN

I.            Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu sunnah yang diperintahkan oleh Nabi kita Muhammad saw., sebagaimana disebutkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh muttafaqun ‘alaih yang berasal dari Abdullah Ibn Mas’ud:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه أغض للبصر وأحصن للفرج فمن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء
“Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat”.
Demikianlah, perkawinan itu diperintahkan bagi mereka yang telah memiliki kemampuan, yang hikmahnya adalah menghindarkan diri dari maksiat dan menjaga kehormatan diri.
Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekadar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang yang akan melaksanakan perkawinan perlu mempersiapkan beberapa hal merupakan proses menuju perkawinan. Di antara persiapan itu adalah memilih pasangan yang tepat berdasarkan ketentuan agama, melakukan khitbah, dan mempersiapkan mahar bagi laki-laki untuk diberikan kepada perempuan yang dinikahinya. Selengkapnya akan dijelaskan dalam makalah ini.


II.            Pembahasan
A.    Pacaran dan Hukumnya
Akhir-akhir ini, proses khitbah (peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu. Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan “ta’aruf” (saling kenal-mengenal).[1]
Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman, uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akibat pergaulan bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pra nikah, aborsi, bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[2]
Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32:[3]
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra’: 32)
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:[4]
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن إكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S.Al-Hujurat: 13)
Dengan demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita (pacaran), di mana tahapan umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di antara mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan jalan bersilaturrahmi ke orang tua keduanya.[5]
Kedua, proses khitbah, yakni melamar atau meminang. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum pacaran dalam artian ta’aruf adalah diperbolehkan, dengan berdasarkan penjelasan di atas.



B.     Khitbah (meminang)
1.      Pengertian dan Macam-Macamnya
Kata peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut “khithbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.[6]
Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan yang disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasari kerelaan yang didapatkan dari penelitian, pengetahuan, serta kesadaran masing-masing pihak.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan, dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut: [7]
a.       Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
b.      Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
2.      Perempuan yang Boleh Dipinang dan Batasan Melihat Perempuan yang Dipinang
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:[8]
a.       Tidak dalam pinangan orang lain;
b.      Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syarak yang melarang dilangsungkannya pernikahan;
c.       Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i; dan
d.      Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).
Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi saw. :
المؤمن أخو المؤمن فلا يحل له أن يبتاع على بيع أخيه ولا يخطب على خطبة أخيه حتى يدرى (رواه احمد و مسلم)
“Orang mukmin dengan mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya sehingga ia meninggalkannya”. (H.R. Ahmad dan Muslim)[9]
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena  laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.[10]
Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa iddah, baik karena kematian suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram. Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i, ia haram dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak meruju’nya kembali sewaktu-waktu ia suka.[11]
Dalam agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi saw.:
عن المغيرة ابن شعبة انه خطب امرأة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: أنظرت اليها؟ قال: لا, قل: انظر اليها فانه ان يؤدم بينكما. (رواه النسائ وابن ماجه والترمذى)
“Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw. Bertanya kepadanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”. (H.R. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)[12]
Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud Al-Dzahiri) membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan.[13]
Silang pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. (Q.S. An-Nur:31)[14]
3.      Hukum Peminangan dan Hikmahnya
Dalam Al-Qur’an dan dalam banyak hadits Nabi memang banyak yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Dzahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu. [15]
Adapun hikmah dari adanya syari’at peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan setelah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak daapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari hadits Nabi dari Al-Mughirah bin al-Syu’bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmidzi dan al-Nasa’i yang berbunyi sebagai berikut:
أنه قال له و قد خطب إمرأة انظر اليها فانه أحرى أن يؤدم بينكما
Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan:”melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”. (al-Shan’aniy III, 113)[16]

C.    Kafa’ah
1.      Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya adalah sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-qur’an adalah dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad, yang berarti tidak suatupun yang sama dengan-Nya.
Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya.[17]
Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.[18]
2.      Hukum Kafa’ah
Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak membuat aturan tentang kafa’ah. Maka dari itulah pembicaraan mengenai kafa’ah menjadi pembicaraan dikalangan ulama, karena tidak ada dalil yang mengaturnya dengan jelas dan spesifik, baik dalam Al-Qur’an maupun hadist.
Bila demikian halnya, wajar bila beberapa ulama berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya. Ibnu Hazm pemuka madzhab Zahiriyah yang dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa’ah dalam perkawinan. Ia berkata bahwa setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh kawin dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan perempuan pezina.[19]
Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya berefek domino pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa’ah dalam pernikahan sendiri, ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama’ terbagi menjadi 2 poros dalam menanggapi kedudukan kafa’ah dalam pernikahan.
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum”.[20]
Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa min al-akfaa’, wala tuzawwijuhunna illa min al-auliya’.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.
Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.
3.      Dasar-Dasar Kafa’ah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah.[21]
Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a.       Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
b.      Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.
c.       Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
d.      Kemerdekaan dirinya.
e.       Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.
f.       Kekayaan.
Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Diyanah
2. Terbebas dari cacat fisik.
Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1.      Nasab
2.      Diyanah
3.      Kemerdekaan dirinya.
4.      Hirfah.
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Diyanah
2. Hirfah
3. Kekayaan
4. Kemerdekaan diri
5. Nasab
Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah (32):18, “Afaman kana mu’minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.
Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi saw. yang teksnya:
تنكح المرأة لدينها وجمالها وحسبها, فاظفر بذات الدين تربت يداك (أخرجه البخارى عن أبى هريرة)
“Wanita itu dikawini karena agamanya, kecantikannya, hartanya, dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu.”

D.    Mahar
1.      Pengertian Dan Hukum Mahar
Kata “mahar” berasal dari bahasa arab dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Mahar itu dalam bahasa arab disebut dengan delapan nama yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.[22]
Mahar secara etimologi, artinya mas kawin. Secra terminology, mahar ialah pemberian wajib dari calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulakn rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[23]
2.      Syarat-Syarat Mahar
a)      Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamr, babi, darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
b)      Barangnya bukan barang ghasabGhasab artinya mengambil barang orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
c)      Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[24]
3.      Macam-macam mahar
a)      Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.[25]
Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1.      Telah bercampur (bersenggama). Allah berfirman:
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain[26], sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?(Q.S. An-Nisa’:20)

2.      Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu. Akan tetapi, aklau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya. Berdasarkan fiman Allah surat Al-Baqarah ayat 237:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù H
Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.
b)      Mahar Mitsl (sepadan)
Mahar Mitsl yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadinya pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[27]
Mahar Mitsl juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
·         Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
·         Jika Mahar Musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Allah berfirman:
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.(Q.S. Al-Baqarah:236)
            Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlahnya mahar tertentu kepada istrinya itu.[28]

III.            Penutup
Demikian makalah yang berjudul “Proses Menuju Perkawinan” ini kami susun, semoga bisa memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan akhirnya penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah.  Untuk itu  sebagai manusia yang tak luput dari khilaf, penulis mengharap  saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi perbaikan penyusunan yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamdani. Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002,
Al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz IV,
Mujid, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fikih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995,
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet.3, Jakarta: Kencana, 2009,
Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press, 2010,
Zuhaili, Wahbah. Fiqhul Islami wa Adillatuhu,



[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm. 21
[2] Ibid, hlm. 21-22
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm. 23
[6] Ibid, hlm. 24
[7] Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, hlm.6492
[8] Op.cit., hlm. 24-25
[9] Ibid , hlm. 27
[10] Ibid, hlm. 28
[11] Ibid, hlm. 30
[12] Ibid, hlm. 25
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet.3, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 50
[16] ibid
[17] Ibid, hlm. 141
[18] Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002. Hlm. 15
[19] Ibid, hlm.16
[20] Amir Syarifuddin, loc. Cit , Lihat pula di kitab Ibnu Qudama :33).
[21] Ibid, hal 142, Uraian lengkap ini dikemukakan oleh al-Jaziriy dalam kitabnya hal. 54-61)
[22] Ibid, hlm. 84
[23]  Tihami, op cit hlm. 36
[24] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz IV, hlm. 103
[25] M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 185
[26] maksudnya ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.

[27] Ibid

[28] Tihami, op. cit, hlm. 46-47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar