1.
Pendahuluan
2.
Rumusan Masalah
Pembahasan mengenai sifat-sifat tercela sangatlah
luas. Oleh karena kami akan coba memfokuskan pembahasan mengenai sifat-sifat
tercela ini kedalam beberapa bagian, yaitu :
1) Berprasangka buruk ( su’udzan
)
2) Menggunjing ( Ghibah )
3) Adab di jalan
3.
Pembahasan
A.
Sikap Terlarang berdasarkan Hadits Nabi
Islam adalah agama yang selalu
mengajarkan pada umatnya agar selalu menjaga akhlak, baik sesama muslim maupun
sesama manusia. Hali ini dapat kita ketahui bahwa Rasul sendiri di utus oleh
Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak, sebagai mana sabda Rasulullah SAW :
انمابعثت
لأتمم مكارم الاخلاق
Artinya : sesungguhnya aku di utus
untuk menyemprnakan akhlak.
Adapun akhlak itu ada dua macam yaitu Akhlak
al-Karimah dan akhlak al-Madzmumah. Termasuk akhlak al-madzmumah
adalah apa yang dijelaskan oelh Raaul dalam sebuah haditsnya :
حدثنا
بشر بن محمد: أخبرنا عبد الله: أخبرنا معمر، عن همَّام بن منبه، عن أبي هريرة،
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إياكم والظن، فإن الظن أكذب الحديث، ولا تحسسوا، ولا تجسسوا، ولا تحاسدوا، ولا تدابروا، ولا تباغضوا، وكونوا عباد الله إخواناً) 4849]
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إياكم والظن، فإن الظن أكذب الحديث، ولا تحسسوا، ولا تجسسوا، ولا تحاسدوا، ولا تدابروا، ولا تباغضوا، وكونوا عباد الله إخواناً) 4849]
Artinya : Basyar ibn Ahmad telah
bercerita kepada kami dari Abdullah dari Mu’ammar dari Hammam ibn Munabbih dari
Abi Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW telah bersabda : Takutlah kalian akan
berprasangka. Karena berprasangka adalah ucapan bohong besar. Janganlah kalian
saling saling iri, saling meneliti kesalahan orang, saling hasud, saling
membelakangi, saling bermusuhan. Jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara. ( HR al-Bukhari )
1)
Buruk Sangka ( Su’udzan )
Su’udzan atau berprasangka buruk kepada orang lain merupakan salah satu
dari penyakit hati. Sebenarnya antara Su’udzan dengan Ghibah ini ada letak
persamaan yaitu sama-sama berbicara tentang kejelakan orang lain. Namun letak
perbedaanya adalah antara lisan dan hati. Jika di lakukan oleh lisan maka di
sebut ghibah, sedangkan jika dilakukan oleh hati disebut Su’udzan.[1]
Hukum Su’udzan ini adalah Haram.
Faktor
yang menyebabkan keharamannya adalah bahwa rahasia –rahasia hati tidak ada yang
dapat mengetahui kecuali Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, yaitu allah
SWT. Oleh karena itu kita tidak boleh meyakini adanya keburukan pada orang lain
kecuali jika kita benar-benar telah mengetahuinya dengan mata kepala sendiri
sehingga tidak perlu penafsiran lagi. Sesuatu yang tidak kita saksikan dengan
mata kepala sendiri dan tidak kita dengar dengan telinga, kemudian itu hadir
dalam hati kita, maka itu adalah bisikan syaithan yang harus kita dustakan
sebab syaithan adalah makhluk yang paling fasik. Sebagaimana firman allah dalam
Al-Quran surat al-Hujuraat ayat 49 :
ياايهاالذين
امنواان جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا ان تصيبوا
قومابجهالة
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepada mu orang fasik membawa suatu berita, maka periksakanlah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah pada suatu kaum tanpa
mengetahuinya..... ( QS. Al-Hujuraat ).[2]
Tanda-tanda
adanya buruk sangka itu adalah dengan berubahnya sikap hati terhadap seseorang
dari kondisi sebelumnya sehingga timbul rasa ingin menjauhinya dan hilang
perhatian terhadapnya serat tidak lagi merasa kehilangan (jika ia tidak ada),
berkurangnya sikap penghormatan, dan rasa iba kepadanya.[3] Diantara akibat berburuk sangka adalah tajasus dengan mencari
kesalahan orang lain sebab hati tidak merasa puas dengan prasangka saja maka ia
mencari bukti sehingga akhirnya ia sibuk memata-matai orang lain untuk mencari
kesalahnnya. Sedangkan pengertian tajasus itu sendiri adalah membiarkan
ibadah itu di bawah tabir Allah kemudian berusaha untuk mengetahuinya dengan
membuka tabir sehingga terbukalah apa yang seandainya tertutup maka itu lebih
menentramkan hati dan agamanya.[4]
2. Iri
3. Hasud
4..
B. Menggunjing ( Ghibah )
1.Pengertian dan Batasannya
Definisi
ghibah menurut Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya adalah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ
قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا
تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّه ُ*( أخرجه مسلم في
كتاب البر والصلة والاداب)
Artinya
adalah : Taukah kamu apa itu menggunjing ( ghibah ) ? ” para sahabat menjawab :
Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasul berkata : kamu menyebutkan apa
yang tidak disukai oleh saudara mu. ” Ada yang bertanya,” bagaimana jika apa
yang kukatakan itu ada pada saudaraku itu ? Rasul menjawab : jika apa yang kamu
katakan itu ada pada saudara mu, berarti kamu telah ghibah dan jika tidak ada
pada dirinya maka kamu sungguh telah berbuat dusta terhadapnya.” ( HR. Muslim )
Batasan
ghibah adalah kita menyebutkan sesuatu yang tidak disenangi oleh saudara kita
jika ia sampai mendengarnya, baik yang kita sebutkan itu kekurangan pada
fisiknya, keturunannya, akhlaknya, perbuatannya, perkataannya, masalah agama,
dunia, sampai mengenai pakaian, rumah dan kendaraannya. Adapaun contoh ghibah
yang berkaitan dengan fisiknya adalah kita menyebutkan mata rabun, juling,
botak, pendek, tinggi, hitam dan semua fisik yang tidak di sukainya. Sedangkan
contoh ghibah yang berkiatan dengan akhlaknya adalah kita menyebutkan pengecut,
penakut dsb.[5]
Harus
kita ketahui bahwa ghibah itu tidakk terbatas pada ucapan saja, namun isyarat
badan, teka-teki bisikan, tulisan, gerak, dan setiap yang di fahami sebagai
maksud maka itu semua masuk dalam kriteria ghibah dan di haramkan. Contohnya
adalah apa yang dikatakan oleh Aisyah ra, ” seorang perempuan datang menemui
kami, ketika ia hendak pulang aku memberi isyarat dengan tanganku bahwasanya ia
pendek, lalu Rasulullah bersabda : اغتبتها
”engkau telah menggunjingnya”.[6]
Termasuk juga kita menirukan jalan denga keadaan pincangatau menirukan
jalannya. Ini termasuk menggunjing, bahkan ini lebih parah dari menggunjing (
ghibah ) dengan ucapan, sebab itu jelas penggambaran dan pemahamannya.
Contohnya adalah ketika Aisyah menirukan seorang perempuan, lalu Rasulullah
berkata : مايسرني اني حاكيت انسانا ولى كذاوكذا
” Aku tidak suka menirukan ( keadaan seseorang )
padahal Aku memiliki ini dan itu”.[7]
Begitu
juga menggunjing dengan tulisan sebab pena merupakan salah satu lisan ( yang
dapat mengungkapkan sesuatu ). Seorang penulis buku, misalnya menyebut nama
seseorang dan mencela ucapannya dalam buku itu juga merupakan ghibah kecuali
jika disertai dengan beberapa alasan yang membuatnya perlu disebutkan. Adapun
jika ia menuliskan ” berkata suatu kaum begini dan begitu ” maka itu tidak
termasuk ghibah. Yang dimaksud ghibah adalah memperlihatkan kekurangan pribadi
seseorang baik ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Rasulullah jika tidak
menyukai sesuatu dari seseorang maka beliau mengatakan : مابال اقوام
يفعلون كذاوكذا ” Mengapa ada sekelompok orang yang melakukan ini
dan itu ”.[8]
Bentuk
ghibah yang sangat buruk adalah ghibah para qar’i ( pembaca Al-Quran ) yang
pamer karena mereka memberikan pemahaman dalam bentuk ucapan orang-orang shaleh
untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak melakukan ghibah. Mereka tidak tahu
dengan kebodohan bahwa mereka telah menggabungkan dua hal yang keji, yaitu
ghibah dan riya ( pamer ). Contohnya : seseorang mengatakan kepada orang yang
ada didekatnya ” segala puji bagi Allah yang tidak memberikan ujian kepada kami
dengan bergabung bersama penguasa dan merendahkan diri untuk mencari kerendahan
dunia.” atau ia mengatakan ” kami berlindung kepada Allah dari berkurangnya
sifat malu. Semoga Allah menghindarkan kami darinya.” Padahal maksudnya adalah
menjelaskan kekurangan (aib ) orang lain dengan cara berdo’a.[9]
Diantara
perbuatan ghibah adalah mendengarkan ghibah dengan serius dan mengaguminya
sebab ia memperlihatkan kekaguman itu untuk menambah semangat tukang ghibah
melakuakn gunjingannya sehingga ia terdorong selalu kedalam ( perbuatan ghibah
) itu. Orang yang mendengarkan ghibah tidak bisa terlepas dari dosa ghibah
kecuali jika ia membantah ghibah itu dengan lisannya atau hatinya jika ia
merasa takut.[10]
Rasulullah SAW bersabda :
من ذب عن عرض اخيه بالغيب كان حقاعلى الله ان يعتقه من
النار
Artinya : Barang siapa yang membela kehormatan
saudaranya yang digunjing maka merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari
siksa neraka. ( HR Ahmad dan at-Thabrani )
Berkata
al-Hasan, ” Menceritakan orang lain itu ada tiga, pertama menggunjing (
ghibah ), berdusta ( buhtan ) dan membuat isu/ desas-desus ( ifk ). Adapun
ghibah mengatakan sesuatu yang ada pada diri seseorang. Buhtan adalah
mengatakan sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Sedangkan ifk adalah mengatakan
apa yang di dengar ( kabar tak jelas ).
2. Sebab-sebab yang Mendorong Ghibah
Sebab-sebab
yang mendorong ghibah itu banyak, tetapi dapat dirangkum menjadi sebelas sebab.
Delapan sebab diantaranya denagn diri orang awam, sedangkan tiga penyebab
lainnya berkenaan dengan ahli agama dan golongan tertentu.
Delapan
penyebab itu adalah :
Pertama,
melampiaskan kemarahan dan itu terjadi apabila ada sebabyang membuatnya
marah. Apabila kemarahannya memuncak maka itu akan terlampiaskan dengan
menyebut keburukan orang lain sehingga lidah dengan mudah mengucapkan secara
alami jika tidak ada ( kekuatan ) agama yang tertanam. Kadang ia tidak mau
melampiasakan kemarahannya sehingga terpendam dalam bathin yang akhirnya menjadi dendam yang terus
menerus, menjadi sebab pendorong untuk menyebutkan keburukan orang lain. Dendam
dan kemarahan merupakan salah satu penyebab utama untuk melakukan ghibah.
Kedua,
menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, berbasa-basi kepada teman, dan
mendukung pembicaraan mereka. Jika mereka bercanda dan membeberkan
kehormatanorang lain, maka ia merasa bahwa jika ucapan mereka dibantah atau
pembicaraan itu dihentikan, mereka akan merasa keberatan dan menjauhi dirinya.
Ketiga,
merasa bahwa dirinyalah yang akan menjadi sasaran dan bahan cemoohannya
atau menjelek-jelekan keadaannya dihadapan orang yang disegani atau memberikan
kesaksian yang akan memberatkannya, maka sebelum ia dicemoohkan dan dijatuhkan
akibat kesaksian itu, ia segera mendahului menyebutkan hal-hal jelek yang ada
pada diri orang itu.
Keempat,
ia menyebutkan sesuatu
untuk melepaskan diri lalu ia menceritakan apa yang dilakukan seseorang. Memang
merupakan haknya untuk melepaskan diri dan tidak menyebutkan apa yang ia
lakukan sehingga ia tidak bisa menisbatkan satu perbuatan pada orang lain atau
menyebutkan bahwa seseorang itu telah ikut bersamanya melakukan perbuatan itu
demi untuk memberikan keringanan pada dirinya berkenaan denganperbuatan
tersebut.
Kelima,
mengada-ada dan ingin membanggakan diri, yaitu mengangkat dirinya dengan cara
menceritakan kekurangan orang lain. Seperti kita mengucapkan ” si Fulan itu
bodoh, pemahamannya dangkal.”
Keenam,
ada rasa dengki, yaitu barangkali ia merasa dengki kepada seseorang yang
banyak dipuji-puji orang, dicintai, dan dimuliakan lalu ia ingin karunia itu
hilang dari orang tersebut dan ia tidak mendapatkan cara lain selai
menghinanya. Kemudiania ingin menghilangkan wibawa orang itu dalam pandangan manusia
sehingga mereka tidak lagi memuliakan dan menyanjungnya sebab terasa berat
baginya mendengarkan ucapan orang banyak yang memuji dan menyanjung serta
memuliakan seseorang tersebut.
Ketujuh,
bermain-main, bersenda gurau dan mengisi waktu kosong dengan lelucon.
Contohnya ”dengan menceritakan aib orang lain yang dapat membuat orang tertawa
dengan cara menirukannya. Penyebabnya adalah rasa ujub dan sombong.
Kedelapan,
melecehkan dan mengejek seseorang untuk menghinanya. Hal itu terjadi ketika orang yang di ejek itu berada
di hadapannya atautidak ada. Penyebabnya adalah kesombongan dan memandang kecil
orang yang dihina.
Adapun
tiga sebab yang berkenaan orang tertentu merupakan masalah yang sangat
tersembunyi dan terpendam sebab ia merupakan kejahatan yang disembunyikan oleh
syaithan dalam tampilan kebaikan. Didalamnya ada kebaikan akan tetapi syaithan
selalu menyusupkan kejahatan didalamnya. Yaiti :
Pertama,
menculnya keheranan dan menolak kemungkaran dan kesalahan dalam beragama. Misalnya
seseorang mengatakan ” alangkah mengherankan apa yang kulihat dari sifat si
fulan atau saya kagum dengan si fulan,
betapa cintanya ia kepada pembantunya, padahal ia jelek.” Dengan demikian, ia
menjadi seorang penggunjing dan berdosa tanpa disadarinya.
Kedua,
mengasihani, yaitu seseorang merasa kasihan ( iba ) disebabkan sesuatu yang
menimpa orang lian lalu ia berkata ” kasihan si fulan, apa yang menimpanya
telah membuatku sedih. Merasa kasihan dan merasa sedih bisa diungkapkan tanpa
harus menyebutkan nama seseorang, tetapi syaithan mendorongnya untuk terus
menyebutkan nama itu agar pahala rasa kasihan dan rasa iba itu hilang.
Ketiga,
marah karena Allah. Seseorang kadang marah terhadap kemungkaran yang
dilakukan orang lain ketika dilihat atau didengarnya lalu ia memperlihatkan
kemarahannya dan menyebutkan nama orang yang dimarahinya.[11]
Ketiga
hal ini merupakan hal-hal yang sulit diketahui para ulama apalgi orang awam.
Mereka beranggapan bahwa merasa heran, merasa kasihan, dan marah jika dilakukan
karena Allah maka menjadi alasan yang membolehkan penyebutan nama. Ini adalah
suatu kekeliruan.
3. Terapi Mencegah Dari Ghibah
Kejahatan-kejahatan
akhlak hanya bisa diobati dengan ramuan ilmu dan amal. Terapi untuk mencegah
dari ghibah ada dua macam, yaitu secara global dan terperinci.
Adapun terapi secara global, yaitu dengan menyadari bahwa perbuatan ghibah
hanya akan mendatangkan murka Allah dan menghilangkann pahala amal kebaikan
yang telah kita kerjakan didunia. Dihadapan Allah, orang yang melakukan ghibah
diserupakan dengan pemakai bangkai. Adapun terapi secara terperinci yaitu
dengan memperhatikan hal-hal yang mendorongnya melakukan ghibah. Karena obat
penyakit adalah dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Adapun sebab-sebabnya
telah kami jelaskan di atas.[12]
4. Ghibah yang Dibolehkan
Sesuatu
yang membolehkan seseorang untuk menceritakan keburukan orang lain adalah
adanya tujuan yang dibenarkan oleh syara’ dimana tujuan itu tidak mungkin
tercapai kecuali dengan ghibah sehingga dosanya tertolak.[13]
Hal yang membolehkan itu ada enam macam, yaitu :
Pertama,
untuk mengadukan kezaliman. Seperti menceritakan kezaliman seseorang di
hadapan hakim, ketika dalam persidangan.
Kedua,
sebagai jalan yang dapat membantu
untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat makisat kepada
kebenaran. Sebagaimana diriwayatkan bahwasanya Umar r.a melintas di depan
Utsman, lalu ia memberi salam, namun tidak dijawab. Kemudian Umar r.a pergi
menemui Abu Bakar r.a dan menceritakan kejadian itu. Lalu Abu Bakar datang
untuk meluruskan dan itu tidak dianggap ghibah bagi mereka.
Ketiga,
untuk meminta fatwa. Misalnya seseorang berkata pada Mufti (ulama pemberi
fatwa) ” Ayahku, istriku/ suamiku telah menzalimiku, bagaimana caranya aku
keluar dari masalah itu ?” Namun yang lebih baik dengan menggunakan kiasan.
Keempat,
untuk memperingatkan seorang muslim dari kejahatan. Contoh jika kita
melihat seorang ahli fiqih bolak-balik mendatangi seorang ahli bid’ah atau
orang yang fasik dan kita khawatir bid’ah dan kefasikan itu akan merasukinya,
maka kita boleh membeberkan perbuatan bid’ah dan kefasikan itu kepadanya jika
yang mendorong kita melakukan itu adalah karena takut ia akan terjerumus kedalam perbuatan bid’ah dan kefasikan
tersebut, bukan karena tujuan lain. Hal seperti ini sering memperdaya karena
kadang-kadang yang mendorong itu adalah kedengkian dan syaithan membuatnya
samar dengan memeperlihatkan hal itu sebagai sikap perhatian kepada orang lain.
Kelima,
orang yang diceritakan itu sudah terkenal dengan julukan yang menunjukan
kekurangannya, sperti si pincang atau si rabun, maka tidak berdosa bagi orang
yang mengatakannya. Seperti Salman telah meriwayatkan dari al-A’masy ”si
rabun”. Para ulama telah melakukan hal itu karena untuk memberikan pengenalan
yang mendesak dan juga karena hal itu telah manjadi sesuatuyang tidak di benci
pemiliknya walaupun dia mengetahui setelah dikenal dengan nama itu. Namun jika
ada pilihan lain yang lebih bagus maka itu lebih baik.
Keenam,
orang yang diceritakan melakukan kefasikan secara terang-terangan, seprti
banci, mucikari dsb. Orang yang melakukan kefasikan secara terang-terangan itu
tidak menghentikan perbuatannya dan tidak benci kalau perbuatannya itu
diceritakan. Jika kita menceritakannya, maka tidak berdosa. Umar r.a berkata ”
Tidak ada kehormatan bagi pendosa ”maksudnya pendosa yang tidak menutup-nutupi kefasikannya.[14]
4. Kifarat Ghibah
Orang
yang ingin bertaubat dari dosa ghibah harus menyesali dan menyayangkan apa yang
telah dilakukannya agar ia terbebas dari hak Allah. Kemudia ia meminta maaf
kepada orang yang di gunjingnya agar terlepas dari tuntutan balas dari
kezaliman yang telah dilakukannya. Mujahid berkata ” kifarat yang dapat
menghapuskan dosa ghibah adalah dengan menyanjung dan mendo’akan dengan baik
orang yang digunjingnya. Namun pendapat yang paling benar adalah pendapatnya
Atha bin Abi Rabbah yang ditanya tentang cara bertobat dari ghibah, jawabannya
” Temuliah saudara mu dan katakan padanya, Aku berdusta dengan apa yang
kuceritakan, Aku telah menzalimi dirimu, dan melakukan kejahatan kepadamu. Jika
engkau berkenan, ambilah hakmu dari ku dan jika ingin memberikan maaf,
maafkanlah Aku.”[15] Apabila orang yang di zalimi itu sudah
meninggal dunia maka hendaklah ia banyak-banyak meminta ampun dan berdo’a serta
memperbanyak kebaikan-kebaikan.
C. Urgensi Tertib Dijalan
Dalam
sebuah haditnya Rasul menjelaskan adab ketika orang berada di jalan :
حدثنا معاذ بن فضالة: حدثنا أبو عمر حفص بن ميسرة، عن
زيد بن أسلم، عن عطاء بن يسار، عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه،
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إياكم والجلوس في الطرقات). فقالوا: ما لنا بد، إنما هي مجالسنا نتحدث فيها. قال: (فإذا أبيتم إلا المجالس، فأعطوا الطريق حقها). قالوا: وما حق الطريق؟ قال: (غض البصر، وكف الأذى، ورد السلام، وأمر بالمعروف، ونهي عن المنكر).
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إياكم والجلوس في الطرقات). فقالوا: ما لنا بد، إنما هي مجالسنا نتحدث فيها. قال: (فإذا أبيتم إلا المجالس، فأعطوا الطريق حقها). قالوا: وما حق الطريق؟ قال: (غض البصر، وكف الأذى، ورد السلام، وأمر بالمعروف، ونهي عن المنكر).
Artinya
: Mu’adz ibn Fadholah telah berkata kepada kami dari Abu Umar Hapash ibn
Maisarah dari Zaid ibn Aslam dari ‘Atho ibn Yasar dari Sa’id al-Khudry ra dari
Nabi Muhammad SAW telah bersabda : waspadalah kalian terhadap kebiasaan
duduk-duduk di sekitarjalan. Sahabat bertanya : kami tidak bisa, karena itu
adalah tempat kami berdiskusi. Rasul menjelaskan : ketika kalian berdiam di
suatu tempat, maka penuhilah hak-haknya pejalan kaki. Apa saja hak-hak pejalan
kaki itu ? rasul menjawab : menjaga pandangan, menghindari melukai, menjawab
salam, dan amar ma’ruf nahyi munkar. ( HR.al-Bukhari )
4.
Penutup
Abu
Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al‑Nasa'i, Sunan
al‑Nasa'i (al-Mujtaba)
Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari
Abu Daud Sulaiman ibn al‑Asy'as al‑Sjastani
al‑azdi, Sunan Abu Daud.
Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmudzi
al-Silmi, Sunan al‑Turmudzi.
Ibn Hajar al‑Asqalani, Bulugh
al-Maram.
Imam Nawawi, Riyadlus Shalihin
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’
wa al-Marjan.
Muslim bin al-Hijaj Abu al-Husain
al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim
Syarh al-Bukhari: Fathul Bari oleh Abi al-Fadl al-Asqalani,
Syarh Bulugh al-Maram: Subulus Salam oleh
Muhammad bin Isma’il al-Sha’ani, dll.
Syarh Muslim: Al-Minhaj oleh Imam Nawawi, Ikmal
al-Ikmal oleh al-Zawawi;
Syarh Riyadl al-Shalihin: Dalil
al-Falihin oleh
Muhammad bin ‘Alan al-Shadiqi
Sikap Terlarang, Ghibah, dan Urgensi Tertib di Jalan
· Larangan prasangka
· Ghibah dan Buhtan
Urgensi
Tertib di Jalan
Sikap Terlarang,
Ghibah, dan Urgensi Tertib di Jalan
a. Hadits Abu Hurairah
tentang Larangan Prasangka
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلا تَحَسَّسُوا وَلا تَجَسَّسُوا وَلا
تَحَاسَدُوا وَلا تَدَابَرُوا وَلا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ
إِخْوَانًا* (أخرجه البخاري في كتاب الاداب)
b. Hadits Abu
Hurairah tentang ghibah dan buhtan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ
قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا
تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّه ُ*( أخرجه مسلم في
كتاب البر والصلة والاداب)
c. Hadits Abu
Said al‑Khudri tentang Urgensi Tertib di Jalan
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِي
اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ
وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ
مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلا الْمَجَالِسَ
فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ
الْبَصَرِ وَكَفُّ الاذَى وَرَدُّ السَّلامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ
عَنِ الْمُنْكَرِ* (أخرجه البخاري في المظالم والغصب)
[1] Muhyiddin Abi Zakariyya Yahya ibn Syarif an-Nawawi
ad-Damasyqi, al-Adzkar ( Semarang:
Karya Toha Putra) hlm.295
[2] Sa’id
Hawwa, Tazkiyautn nafs, ( Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2006) hlm.556-557
[3] Ibid
[4] Ibid ,
hlm 558
[5] Ibid hlm 544
[6] Ibid 545
[7] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi
serta dikatakannya sebagai hadits hasan shahih
[8] Op.cit
546
[9] Ibid .hlm 547
[10]
Muhyiddin Abi Zakariyya Yahya ibn Syarif an-Nawawi ad-Damasyqi, al-Adzkar ( Semarang: Karya Toha
Putra) hlm 291
[11] Ibid.
549
[12] Op.cit hlm 552
[13] Op.cit hlm 559
[14] Op. cit hlm 562
[15] Ibid
mantap artikelnya. sangat bermanfaat.
BalasHapusbisnis tiket pesawat terpercaya www.kiostiket.com