Global Variables

Rabu, 25 April 2012

HADIST GHIBAH

           Sikap Terlarang, Ghibah, dan Urgensi Tertib di Jalan


1. Pendahuluan
2. Rumusan Masalah
            Pembahasan mengenai sifat-sifat tercela sangatlah luas. Oleh karena kami akan coba memfokuskan pembahasan mengenai sifat-sifat tercela ini kedalam beberapa bagian, yaitu :
1) Berprasangka buruk ( su’udzan )
2) Menggunjing ( Ghibah )
3) Adab di jalan

3. Pembahasan
A. Sikap Terlarang berdasarkan Hadits Nabi
            Islam adalah agama yang selalu mengajarkan pada umatnya agar selalu menjaga akhlak, baik sesama muslim maupun sesama manusia. Hali ini dapat kita ketahui bahwa Rasul sendiri di utus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak, sebagai mana sabda Rasulullah SAW :
انمابعثت لأتمم مكارم الاخلاق
            Artinya : sesungguhnya aku di utus untuk menyemprnakan akhlak.
 Adapun akhlak itu ada dua macam yaitu Akhlak al-Karimah dan akhlak al-Madzmumah. Termasuk akhlak al-madzmumah adalah apa yang dijelaskan oelh Raaul dalam sebuah haditsnya :
حدثنا بشر بن محمد: أخبرنا عبد الله: أخبرنا معمر، عن همَّام بن منبه، عن أبي هريرة،
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إياكم والظن، فإن الظن أكذب الحديث، ولا تحسسوا، ولا تجسسوا، ولا تحاسدوا، ولا تدابروا، ولا تباغضوا، وكونوا عباد الله إخواناً)
  4849]
            Artinya : Basyar ibn Ahmad telah bercerita kepada kami dari Abdullah dari Mu’ammar dari Hammam ibn Munabbih dari Abi Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW telah bersabda : Takutlah kalian akan berprasangka. Karena berprasangka adalah ucapan bohong besar. Janganlah kalian saling saling iri, saling meneliti kesalahan orang, saling hasud, saling membelakangi, saling bermusuhan. Jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. ( HR al-Bukhari )

1) Buruk Sangka ( Su’udzan )
            Su’udzan atau berprasangka buruk kepada orang lain merupakan salah satu dari penyakit hati. Sebenarnya antara Su’udzan dengan Ghibah ini ada letak persamaan yaitu sama-sama berbicara tentang kejelakan orang lain. Namun letak perbedaanya adalah antara lisan dan hati. Jika di lakukan oleh lisan maka di sebut ghibah, sedangkan jika dilakukan oleh hati disebut Su’udzan.[1] Hukum Su’udzan ini adalah Haram.
            Faktor yang menyebabkan keharamannya adalah bahwa rahasia –rahasia hati tidak ada yang dapat mengetahui kecuali Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, yaitu allah SWT. Oleh karena itu kita tidak boleh meyakini adanya keburukan pada orang lain kecuali jika kita benar-benar telah mengetahuinya dengan mata kepala sendiri sehingga tidak perlu penafsiran lagi. Sesuatu yang tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri dan tidak kita dengar dengan telinga, kemudian itu hadir dalam hati kita, maka itu adalah bisikan syaithan yang harus kita dustakan sebab syaithan adalah makhluk yang paling fasik. Sebagaimana firman allah dalam Al-Quran surat al-Hujuraat ayat 49 :

ياايهاالذين امنواان جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا ان تصيبوا قومابجهالة
            Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada mu orang fasik membawa suatu berita, maka periksakanlah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah pada suatu kaum tanpa mengetahuinya..... ( QS. Al-Hujuraat ).[2]
            Tanda-tanda adanya buruk sangka itu adalah dengan berubahnya sikap hati terhadap seseorang dari kondisi sebelumnya sehingga timbul rasa ingin menjauhinya dan hilang perhatian terhadapnya serat tidak lagi merasa kehilangan (jika ia tidak ada), berkurangnya sikap penghormatan, dan rasa iba kepadanya.[3]  Diantara akibat  berburuk sangka adalah tajasus dengan mencari kesalahan orang lain sebab hati tidak merasa puas dengan prasangka saja maka ia mencari bukti sehingga akhirnya ia sibuk memata-matai orang lain untuk mencari kesalahnnya. Sedangkan pengertian tajasus itu sendiri adalah membiarkan ibadah itu di bawah tabir Allah kemudian berusaha untuk mengetahuinya dengan membuka tabir sehingga terbukalah apa yang seandainya tertutup maka itu lebih menentramkan hati dan agamanya.[4]

2. Iri
3. Hasud
4..
           
B. Menggunjing ( Ghibah )

1.Pengertian dan Batasannya             
            Definisi ghibah menurut Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya adalah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّه ُ*( أخرجه مسلم في كتاب البر والصلة والاداب)
            Artinya adalah : Taukah kamu apa itu menggunjing ( ghibah ) ? ” para sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasul berkata : kamu menyebutkan apa yang tidak disukai oleh saudara mu. ” Ada yang bertanya,” bagaimana jika apa yang kukatakan itu ada pada saudaraku itu ? Rasul menjawab : jika apa yang kamu katakan itu ada pada saudara mu, berarti kamu telah ghibah dan jika tidak ada pada dirinya maka kamu sungguh telah berbuat dusta terhadapnya.” ( HR. Muslim )
            Batasan ghibah adalah kita menyebutkan sesuatu yang tidak disenangi oleh saudara kita jika ia sampai mendengarnya, baik yang kita sebutkan itu kekurangan pada fisiknya, keturunannya, akhlaknya, perbuatannya, perkataannya, masalah agama, dunia, sampai mengenai pakaian, rumah dan kendaraannya. Adapaun contoh ghibah yang berkaitan dengan fisiknya adalah kita menyebutkan mata rabun, juling, botak, pendek, tinggi, hitam dan semua fisik yang tidak di sukainya. Sedangkan contoh ghibah yang berkiatan dengan akhlaknya adalah kita menyebutkan pengecut, penakut dsb.[5]
            Harus kita ketahui bahwa ghibah itu tidakk terbatas pada ucapan saja, namun isyarat badan, teka-teki bisikan, tulisan, gerak, dan setiap yang di fahami sebagai maksud maka itu semua masuk dalam kriteria ghibah dan di haramkan. Contohnya adalah apa yang dikatakan oleh Aisyah ra, ” seorang perempuan datang menemui kami, ketika ia hendak pulang aku memberi isyarat dengan tanganku bahwasanya ia pendek, lalu Rasulullah bersabda :  اغتبتها
engkau telah menggunjingnya”.[6] Termasuk juga kita menirukan jalan denga keadaan pincangatau menirukan jalannya. Ini termasuk menggunjing, bahkan ini lebih parah dari menggunjing ( ghibah ) dengan ucapan, sebab itu jelas penggambaran dan pemahamannya. Contohnya adalah ketika Aisyah menirukan seorang perempuan, lalu Rasulullah berkata : مايسرني اني حاكيت انسانا ولى كذاوكذا
Aku tidak suka menirukan ( keadaan seseorang ) padahal Aku memiliki ini dan itu”.[7]
            Begitu juga menggunjing dengan tulisan sebab pena merupakan salah satu lisan ( yang dapat mengungkapkan sesuatu ). Seorang penulis buku, misalnya menyebut nama seseorang dan mencela ucapannya dalam buku itu juga merupakan ghibah kecuali jika disertai dengan beberapa alasan yang membuatnya perlu disebutkan. Adapun jika ia menuliskan ” berkata suatu kaum begini dan begitu ” maka itu tidak termasuk ghibah. Yang dimaksud ghibah adalah memperlihatkan kekurangan pribadi seseorang baik ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Rasulullah jika tidak menyukai sesuatu dari seseorang maka beliau mengatakan : مابال اقوام يفعلون كذاوكذا ” Mengapa ada sekelompok orang yang melakukan ini dan itu ”.[8]
            Bentuk ghibah yang sangat buruk adalah ghibah para qar’i ( pembaca Al-Quran ) yang pamer karena mereka memberikan pemahaman dalam bentuk ucapan orang-orang shaleh untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak melakukan ghibah. Mereka tidak tahu dengan kebodohan bahwa mereka telah menggabungkan dua hal yang keji, yaitu ghibah dan riya ( pamer ). Contohnya : seseorang mengatakan kepada orang yang ada didekatnya ” segala puji bagi Allah yang tidak memberikan ujian kepada kami dengan bergabung bersama penguasa dan merendahkan diri untuk mencari kerendahan dunia.” atau ia mengatakan ” kami berlindung kepada Allah dari berkurangnya sifat malu. Semoga Allah menghindarkan kami darinya.” Padahal maksudnya adalah menjelaskan kekurangan (aib ) orang lain dengan cara berdo’a.[9]
            Diantara perbuatan ghibah adalah mendengarkan ghibah dengan serius dan mengaguminya sebab ia memperlihatkan kekaguman itu untuk menambah semangat tukang ghibah melakuakn gunjingannya sehingga ia terdorong selalu kedalam ( perbuatan ghibah ) itu. Orang yang mendengarkan ghibah tidak bisa terlepas dari dosa ghibah kecuali jika ia membantah ghibah itu dengan lisannya atau hatinya jika ia merasa takut.[10] Rasulullah SAW bersabda :

من ذب عن عرض اخيه بالغيب كان حقاعلى الله ان يعتقه من النار
Artinya : Barang siapa yang membela kehormatan saudaranya yang digunjing maka merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari siksa neraka. ( HR Ahmad dan at-Thabrani )
             
              Berkata al-Hasan, ” Menceritakan orang lain itu ada tiga, pertama menggunjing ( ghibah ), berdusta ( buhtan ) dan membuat isu/ desas-desus ( ifk ). Adapun ghibah mengatakan sesuatu yang ada pada diri seseorang. Buhtan adalah mengatakan sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Sedangkan ifk adalah mengatakan apa yang di dengar ( kabar tak jelas ).         

2. Sebab-sebab yang Mendorong Ghibah
              Sebab-sebab yang mendorong ghibah itu banyak, tetapi dapat dirangkum menjadi sebelas sebab. Delapan sebab diantaranya denagn diri orang awam, sedangkan tiga penyebab lainnya berkenaan dengan ahli agama dan golongan tertentu.
              Delapan penyebab itu adalah :
              Pertama, melampiaskan kemarahan dan itu terjadi apabila ada sebabyang membuatnya marah. Apabila kemarahannya memuncak maka itu akan terlampiaskan dengan menyebut keburukan orang lain sehingga lidah dengan mudah mengucapkan secara alami jika tidak ada ( kekuatan ) agama yang tertanam. Kadang ia tidak mau melampiasakan kemarahannya sehingga terpendam dalam bathin  yang akhirnya menjadi dendam yang terus menerus, menjadi sebab pendorong untuk menyebutkan keburukan orang lain. Dendam dan kemarahan merupakan salah satu penyebab utama untuk melakukan ghibah.
              Kedua, menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, berbasa-basi kepada teman, dan mendukung pembicaraan mereka. Jika mereka bercanda dan membeberkan kehormatanorang lain, maka ia merasa bahwa jika ucapan mereka dibantah atau pembicaraan itu dihentikan, mereka akan merasa keberatan  dan menjauhi dirinya.
              Ketiga, merasa bahwa dirinyalah yang akan menjadi sasaran dan bahan cemoohannya atau menjelek-jelekan keadaannya dihadapan orang yang disegani atau memberikan kesaksian yang akan memberatkannya, maka sebelum ia dicemoohkan dan dijatuhkan akibat kesaksian itu, ia segera mendahului menyebutkan hal-hal jelek yang ada pada diri orang itu.
              Keempat, ia menyebutkan sesuatu untuk melepaskan diri lalu ia menceritakan apa yang dilakukan seseorang. Memang merupakan haknya untuk melepaskan diri dan tidak menyebutkan apa yang ia lakukan sehingga ia tidak bisa menisbatkan satu perbuatan pada orang lain atau menyebutkan bahwa seseorang itu telah ikut bersamanya melakukan perbuatan itu demi untuk memberikan keringanan pada dirinya berkenaan denganperbuatan tersebut.
              Kelima, mengada-ada dan ingin membanggakan diri, yaitu mengangkat dirinya dengan cara menceritakan kekurangan orang lain. Seperti kita mengucapkan ” si Fulan itu bodoh, pemahamannya dangkal.”
              Keenam, ada rasa dengki, yaitu barangkali ia merasa dengki kepada seseorang yang banyak dipuji-puji orang, dicintai, dan dimuliakan lalu ia ingin karunia itu hilang dari orang tersebut dan ia tidak mendapatkan cara lain selai menghinanya. Kemudiania ingin menghilangkan wibawa orang itu dalam pandangan manusia sehingga mereka tidak lagi memuliakan dan menyanjungnya sebab terasa berat baginya mendengarkan ucapan orang banyak yang memuji dan menyanjung serta memuliakan seseorang tersebut.
              Ketujuh, bermain-main, bersenda gurau dan mengisi waktu kosong dengan lelucon. Contohnya ”dengan menceritakan aib orang lain yang dapat membuat orang tertawa dengan cara menirukannya. Penyebabnya adalah rasa ujub dan sombong.
              Kedelapan, melecehkan dan mengejek seseorang untuk menghinanya. Hal  itu terjadi ketika orang yang di ejek itu berada di hadapannya atautidak ada. Penyebabnya adalah kesombongan dan memandang kecil orang yang dihina.
              Adapun tiga sebab yang berkenaan orang tertentu merupakan masalah yang sangat tersembunyi dan terpendam sebab ia merupakan kejahatan yang disembunyikan oleh syaithan dalam tampilan kebaikan. Didalamnya ada kebaikan akan tetapi syaithan selalu menyusupkan kejahatan didalamnya. Yaiti :
              Pertama, menculnya keheranan dan menolak kemungkaran dan kesalahan dalam beragama. Misalnya seseorang mengatakan ” alangkah mengherankan apa yang kulihat dari sifat si fulan atau  saya kagum dengan si fulan, betapa cintanya ia kepada pembantunya, padahal ia jelek.” Dengan demikian, ia menjadi seorang penggunjing dan berdosa tanpa disadarinya.
              Kedua, mengasihani, yaitu seseorang merasa kasihan ( iba ) disebabkan sesuatu yang menimpa orang lian lalu ia berkata ” kasihan si fulan, apa yang menimpanya telah membuatku sedih. Merasa kasihan dan merasa sedih bisa diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama seseorang, tetapi syaithan mendorongnya untuk terus menyebutkan nama itu agar pahala rasa kasihan dan rasa iba itu hilang.
              Ketiga, marah karena Allah. Seseorang kadang marah terhadap kemungkaran yang dilakukan orang lain ketika dilihat atau didengarnya lalu ia memperlihatkan kemarahannya dan menyebutkan nama orang yang dimarahinya.[11]
              Ketiga hal ini merupakan hal-hal yang sulit diketahui para ulama apalgi orang awam. Mereka beranggapan bahwa merasa heran, merasa kasihan, dan marah jika dilakukan karena Allah maka menjadi alasan yang membolehkan penyebutan nama. Ini adalah suatu kekeliruan.


3. Terapi Mencegah Dari Ghibah
              Kejahatan-kejahatan akhlak hanya bisa diobati dengan ramuan ilmu dan amal. Terapi untuk mencegah dari ghibah ada dua macam, yaitu secara global dan terperinci. Adapun terapi secara global, yaitu dengan menyadari bahwa perbuatan ghibah hanya akan mendatangkan murka Allah dan menghilangkann pahala amal kebaikan yang telah kita kerjakan didunia. Dihadapan Allah, orang yang melakukan ghibah diserupakan dengan pemakai bangkai. Adapun terapi secara terperinci yaitu dengan memperhatikan hal-hal yang mendorongnya melakukan ghibah. Karena obat penyakit adalah dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Adapun sebab-sebabnya telah kami jelaskan di atas.[12]
4. Ghibah yang Dibolehkan
              Sesuatu yang membolehkan seseorang untuk menceritakan keburukan orang lain adalah adanya tujuan yang dibenarkan oleh syara’ dimana tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah sehingga dosanya tertolak.[13] Hal yang membolehkan itu ada enam macam, yaitu :
              Pertama, untuk mengadukan kezaliman. Seperti menceritakan kezaliman seseorang di hadapan hakim, ketika dalam persidangan.
              Kedua,  sebagai jalan yang dapat membantu untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat makisat kepada kebenaran. Sebagaimana diriwayatkan bahwasanya Umar r.a melintas di depan Utsman, lalu ia memberi salam, namun tidak dijawab. Kemudian Umar r.a pergi menemui Abu Bakar r.a dan menceritakan kejadian itu. Lalu Abu Bakar datang untuk meluruskan dan itu tidak dianggap ghibah bagi mereka.
              Ketiga, untuk meminta fatwa. Misalnya seseorang berkata pada Mufti (ulama pemberi fatwa) ” Ayahku, istriku/ suamiku telah menzalimiku, bagaimana caranya aku keluar dari masalah itu ?” Namun yang lebih baik dengan menggunakan kiasan.
              Keempat, untuk memperingatkan seorang muslim dari kejahatan. Contoh jika kita melihat seorang ahli fiqih bolak-balik mendatangi seorang ahli bid’ah atau orang yang fasik dan kita khawatir bid’ah dan kefasikan itu akan merasukinya, maka kita boleh membeberkan perbuatan bid’ah dan kefasikan itu kepadanya jika yang mendorong kita melakukan itu adalah karena takut ia akan terjerumus  kedalam perbuatan bid’ah dan kefasikan tersebut, bukan karena tujuan lain. Hal seperti ini sering memperdaya karena kadang-kadang yang mendorong itu adalah kedengkian dan syaithan membuatnya samar dengan memeperlihatkan hal itu sebagai sikap perhatian kepada orang lain.
              Kelima, orang yang diceritakan itu sudah terkenal dengan julukan yang menunjukan kekurangannya, sperti si pincang atau si rabun, maka tidak berdosa bagi orang yang mengatakannya. Seperti Salman telah meriwayatkan dari al-A’masy ”si rabun”. Para ulama telah melakukan hal itu karena untuk memberikan pengenalan yang mendesak dan juga karena hal itu telah manjadi sesuatuyang tidak di benci pemiliknya walaupun dia mengetahui setelah dikenal dengan nama itu. Namun jika ada pilihan lain yang lebih bagus maka itu lebih baik.
              Keenam, orang yang diceritakan melakukan kefasikan secara terang-terangan, seprti banci, mucikari dsb. Orang yang melakukan kefasikan secara terang-terangan itu tidak menghentikan perbuatannya dan tidak benci kalau perbuatannya itu diceritakan. Jika kita menceritakannya, maka tidak berdosa. Umar r.a berkata ” Tidak ada kehormatan bagi pendosa ”maksudnya pendosa yang tidak menutup-nutupi kefasikannya.[14]

4. Kifarat Ghibah
              Orang yang ingin bertaubat dari dosa ghibah harus menyesali dan menyayangkan apa yang telah dilakukannya agar ia terbebas dari hak Allah. Kemudia ia meminta maaf kepada orang yang di gunjingnya agar terlepas dari tuntutan balas dari kezaliman yang telah dilakukannya. Mujahid berkata ” kifarat yang dapat menghapuskan dosa ghibah adalah dengan menyanjung dan mendo’akan dengan baik orang yang digunjingnya. Namun pendapat yang paling benar adalah pendapatnya Atha bin Abi Rabbah yang ditanya tentang cara bertobat dari ghibah, jawabannya ” Temuliah saudara mu dan katakan padanya, Aku berdusta dengan apa yang kuceritakan, Aku telah menzalimi dirimu, dan melakukan kejahatan kepadamu. Jika engkau berkenan, ambilah hakmu dari ku dan jika ingin memberikan maaf, maafkanlah Aku.”[15]  Apabila orang yang di zalimi itu sudah meninggal dunia maka hendaklah ia banyak-banyak meminta ampun dan berdo’a serta memperbanyak kebaikan-kebaikan.

C. Urgensi Tertib Dijalan    
                Dalam sebuah haditnya Rasul menjelaskan adab ketika orang berada di jalan :
  حدثنا معاذ بن فضالة: حدثنا أبو عمر حفص بن ميسرة، عن زيد بن أسلم، عن عطاء بن يسار، عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه،
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إياكم والجلوس في الطرقات). فقالوا: ما لنا بد، إنما هي مجالسنا نتحدث فيها. قال: (فإذا أبيتم إلا المجالس، فأعطوا الطريق حقها). قالوا: وما حق الطريق؟ قال: (غض البصر، وكف الأذى، ورد السلام، وأمر بالمعروف، ونهي عن المنكر).
Artinya : Mu’adz ibn Fadholah telah berkata kepada kami dari Abu Umar Hapash ibn Maisarah dari Zaid ibn Aslam dari ‘Atho ibn Yasar dari Sa’id al-Khudry ra dari Nabi Muhammad SAW telah bersabda : waspadalah kalian terhadap kebiasaan duduk-duduk di sekitarjalan. Sahabat bertanya : kami tidak bisa, karena itu adalah tempat kami berdiskusi. Rasul menjelaskan : ketika kalian berdiam di suatu tempat, maka penuhilah hak-haknya pejalan kaki. Apa saja hak-hak pejalan kaki itu ? rasul menjawab : menjaga pandangan, menghindari melukai, menjawab salam, dan amar ma’ruf nahyi munkar. ( HR.al-Bukhari )




4. Penutup



















Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al‑Nasa'i, Sunan al‑Nasa'i (al-Mujtaba)
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
Abu Daud Sulaiman ibn al‑Asy'as al‑Sjastani al‑azdi, Sunan Abu Daud.
Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmudzi al-Silmi, Sunan al‑Turmudzi.
Ibn Hajar al‑Asqalani, Bulugh al-Maram.
Imam Nawawi, Riyadlus Shalihin
Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan.
Muslim bin al-Hijaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim
Syarh al-Bukhari: Fathul Bari oleh Abi al-Fadl al-Asqalani,
Syarh Bulugh al-Maram: Subulus Salam oleh Muhammad bin Isma’il al-Sha’ani, dll.  
Syarh Muslim: Al-Minhaj oleh Imam Nawawi, Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi;
Syarh Riyadl al-Shalihin: Dalil al-Falihin oleh Muhammad bin ‘Alan al-Shadiqi



Sikap Terlarang, Ghibah, dan Urgensi Tertib di Jalan

·         Larangan prasangka

·         Ghibah dan Buhtan

       Urgensi Tertib di Jalan



Sikap Terlarang, Ghibah, dan Urgensi Tertib di Jalan
a. Hadits Abu Hurairah tentang Larangan Prasangka
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلا تَحَسَّسُوا وَلا تَجَسَّسُوا وَلا تَحَاسَدُوا وَلا تَدَابَرُوا وَلا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا* (أخرجه البخاري في كتاب الاداب) 
      b. Hadits Abu Hurairah tentang ghibah dan buhtan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّه ُ*( أخرجه مسلم في كتاب البر والصلة والاداب)
c. Hadits Abu Said al‑Khudri tentang Urgensi Tertib di Jalan
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الاذَى وَرَدُّ السَّلامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ* (أخرجه البخاري في المظالم والغصب)



[1]  Muhyiddin Abi Zakariyya Yahya ibn Syarif an-Nawawi ad-Damasyqi, al-Adzkar ( Semarang: Karya Toha Putra) hlm.295
[2] Sa’id Hawwa, Tazkiyautn nafs, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006) hlm.556-557
[3] Ibid
[4] Ibid , hlm 558
[5] Ibid  hlm 544
[6] Ibid  545
[7]  Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi serta dikatakannya sebagai hadits hasan shahih
[8] Op.cit 546
[9]  Ibid .hlm 547
[10] Muhyiddin Abi Zakariyya Yahya ibn Syarif an-Nawawi ad-Damasyqi, al-Adzkar ( Semarang: Karya Toha Putra) hlm 291
[11] Ibid. 549
[12] Op.cit hlm 552
[13] Op.cit hlm 559
[14] Op. cit hlm 562
[15] Ibid

1 komentar: