Global Variables

Rabu, 25 April 2012

FARIDHAT AL-SHIYAM (Tafsir surat al-Baqarah ayat 183-187)

FARIDHAT AL-SHIYAM
(Tafsir surat al-Baqarah ayat 183-187)
I.            Pendahuluan
Puasa bulan ramadhan termasuk salah satu dari lima rukun islam. Dalam bahasa arab disebut shiyam atau shaum, yang pokok artinya ialah menahan. Didalam peraturan syara’ dijelaskan bahwasaanya shiyam menahan makan dan minum dan bersetubuh suami istri waktu fajar sampai waktu magrib, karena menjunjung tinggi perintah Allah. Maka setelah nenek moyang kita memeluk agama islam kita pakailah kata puasa buat menjadi arti dari pada shiyam itu. Karena memang sejak agama yang dipeluk terlebih dahulu, peraturan puasa itu telah ada juga.
Perintah kewajiban puasa bagi umat muslim di dalam kitab suci Al-Qur’an setidaknya telah tertulis secara jelas pada dua ayat dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 183 sampai dengan ayat 187.
Al-Baqarah ayat 183 menjelaskan secara gamblang bahwa diwajibkan bagi setiap muslim yang beriman untuk menjalankan ibadah puasa sebagaimana telah diwajibkan ibadah puasa tersebut kepada umat-umat nabi sebelum nabi Muhamad SAW. Namun di dalam ayat ini belum dijelaskan apakah puasa itu dilakukan selamanya atau pada hari-hari tertentu saja, dan apakah puasa itu sama persis seperti puasa umat-umat terdahulu atau berbeda.
Barulah di ayat 184 di terangkan bahwa puasa tersebut dilaksanakan pada beberapa hari khusus dengan pengecualian bagi beberapa orang. Kemudian pada ayat 185 barulah dijelaskan bahwa beberapa hari khusus yang dimaksud yaitu bulan Ramadhan. Sehingga jelaslah bagi kita kaum muslimin mengenai kewajiban puasa Ramadhan.
Pada kesempatan kali ini, kami para pemakalah akan mencoba membahas mengenai kandungan yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 183-187 khususnya yaitu pada pembahasan “faridhat al-shiyaam” (kewajiban puasa).

II.            Pembahasan
A.    Ayat-ayat al Qur’an
ARTINYA:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.[1]
B.     Makna Lafadh
فُرِضَ    =كُتِب           
Artinya: diwajibkan/ difardhukan
الْمَعَاصِي فَإِنَّهُ يَكْسِر الشَّهْوَة الَّتِي هِيَ مَبْدَؤُهَا =           "لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ"
Artinya :( agar kamu bertaqwa) maksudnya menjaga dirimu dari maksiat, kaena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal dan biang keladi maksiat itu.
"أَيَّامًا" نُصِبَ بِالصِّيَامِ أَوْ يَصُومُوا مُقَدَّرًا
Artinya :( beberapa hari) manshub sebagai maf’ul dan fi’il amar yang bunyinya diperkirakan shiyam atau shaum.
"مَعْدُودَات" أَيْ قَلَائِل أَوْ مُؤَقَّتَات بِعَدَدٍ مَعْلُوم وَهِيَ رَمَضَان كَمَا سَيَأْتِي وَقَلَّلَهُ تَسْهِيلًا عَلَى الْمُكَلَّفِين
Artinya : Berbilang maksudnya yang sedikit atau ditentukan waktunya dengan bilangan yang diketahui, yakni selama bulan ramadhan. Dikatakannya yang sedikit untuk memudahkan bagi mukallaf.
"فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ" حِين شُهُوده
(Maka barang siapa diantara kamu) yakni sewaktu kehadiran hari-hari itu
"مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَر" أَيْ مُسَافِرًا سَفَر الْقَصْر وَأَجْهَدَهُ الصَّوْم فِي الْحَالَيْنِ فَأَفْطَرَ
(sakit atau dalam perjalanan) maksudnya perjalanan untuk waktu singkat, bukan untuk merantau lama, dan sulit baginya untuk mengerjakan puasa dalam kedua situasi tersebut lalu ia berbuka.
 "فَعِدَّة" فَعَلَيْهِ عِدَّة مَا أَفْطَرَ
(maka hendaklah dihitungnya) berapa hari ia berbuka, lalu berpuasalah sebagai gantinya.
 "وَعَلَى الَّذِينَ" لَا "يُطِيقُونَهُ" لِكِبَرٍ أَوْ مَرَض لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ
(dan bagi orang-orang yang tidak sanggup melakukannya) disebabkan usia lanjut atau penyakit yang tak ada harapan untuk sembuh
 "فِدْيَة" هِيَ "طَعَام مِسْكِين"
(maka hendaklah membayar fidyah) yaitu (memberi makan orang miskin) artinya sebanyak makanan seorang miskin tiap hari yaitu satu gantang (mud) dari makanan pokok penduduk negeri.
"فَمَنْ شَهِدَ" حَضَرَ "
(maka barang siapa yang menyaksikan ) artinya hadir
مِنْكُمْ الشَّهْر فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَر فَعِدَّة مِنْ أَيَّام أُخَر" تَقَدَّمَ مِثْله وَكُرِّرَ لِئَلَّا يُتَوَهَّم نَسْخه بِتَعْمِيمِ مَنْ شَهِدَ
(barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain) sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Diulang-ulang agar jangan timbul dugaan adanya naskh dengan diumumkannya “menyaksikan bulan”
"أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَة الصِّيَام الرَّفَث" بِمَعْنَى الْإِفْضَاء
(dihalalkan bagimu pada malam hari puasa berkencan dengan istri-istrimu) maksudnya mencampuri mereka.
"هُنَّ لِبَاس لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاس لَهُنَّ" كِنَايَة عَنْ تَعَانُقهمَا أَوْ احْتِيَاج كُلّ مِنْهُمَا إلَى صَاحِبه "
(mereka itu pakaian bagimu dan kamu pakaian bagi mereka) sindiran bahwa kedua mereka saling membutuhkan dan bergantung.
"وَكُلُوا وَاشْرَبُوا" اللَّيْل كُلّه
(makan dan minumlah) sepanjang malam itu
 "حَتَّى يَتَبَيَّن" يَظْهَر
(hingga nyata) atau jelas
 "لَكُمْ الْخَيْط الْأَبْيَض مِنْ الْخَيْط الْأَسْوَد مِنْ الْفَجْر" أَيْ الصَّادِق بَيَان لِلْخَيْطِ الْأَبْيَض وَبَيَان الْأَسْوَد مَحْذُوف أَيْ مِنْ اللَّيْل شِبْه مَا يَبْدُو .
(bagimu benang putih dan benang hitam berupa fajar shadiq), sebagai penjalasan bagi benang putih, sedangkan penjelasan bagi benang hitam dibuang yaitu malam hari. Fajar itu tak ubahnya seperti warna putih bercampur warna hitam yang memanjang dengan dua buah garis berwarna putih dan hitam. [2]
C.     Asbabun Nuzul
Al-Baqarah 184
Diterangkan oleh ibn sa’ad dalam thabaqatnya, dari Mujahid katanya: ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qis bin Saib (yang sudah sangat lanjut usia ) “Dan bagi orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin”(al-Baqarah : 184). Lalu ia berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari Ramadhan yang tidak dipuasakannya.
Al-Baqarah 186
Ibnu jarir al-tabbari dan ulama lain mengeluarkan hadits dari muawiyyah bin haidah dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: seorang arab badui datang kepada Nabi SAW, kemudian dia bertanya: dekatkah tuhan kita? Kalau dekat, Maka kita hendak berbisik dengan-Nya, ataukah jauh? Maka kita hendak memanggil-Nya, kemudian Nabi diam sejenak, lalu turun ayat[3]wa idza saalaka ‘ibadi ‘anni fa inni qarib...
Diriwayatkan seorang Baduwi bertanya, “Ya Rasulullah, Tuhan itu dekat sehingga dapat berbisik kepada-Nya atau jauh sehingga harus kita panggil?” Nabi SAW, diam sejenak, tiba-tiba Allah menurunkan ayat ini. (HR Inbu Abi Hatim)[4]
Sengaja Allah meletakkan ayat ini (Ayat 186) di tengah-tengah ayat puasa, sebagai tuntunan anjuran supaya rajin berdoa ketika selesai bilangan puasa bahkan pada tiap berbuka puasa, sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Amr RA. Yang mengatakan, “ saya mendengar Rasulullah bersabda :’Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika berbuka tersedia doa yang tidak akan ditolak.’(HR Ibnu Majah dan Abu Dawud).[5]
Al-Baqarah 187
Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan Hakim, mengeluarkan hadits dari Mu’adz bin Jabal, dia berkata: mereka (para sahabat Nabi) makan, minum dan berhubungan intim dengan istri-istrinya sebelum tidur, ketika telah tidur mereka mencegahnya, kemudian ada yang bilang kepada seorang laki-laki dari kaum anshor: qais bin shirmah telah shalat isya, kemudian dia tidur, belum makan, belum pula minum hingga subuh, kemudian dia merasa payah, dan Umar berhubungan intim dengan istrinya setelah ia tidur, kemudian datang kepada Nabi SAW lalu menceritakan kejadian tersebut, lalu Allah menurunkan ayat[6]uhilla lakum lailata al-shiyami al-rofatsu....
Ayat ini menunjukkan bahwa ketika diwajibkan berpuasa, lalu mengalami permasalahan, maka para sahabat berijtihad dengan pendapatnya secara lebih hati-hati dan lebih dekat kepada ketakwaan, sehingga turunlah ayat ini.



D.    Wujuh Al-Qiraat
1.      Qiraah jumhur ulama (وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَه), sedangkan menurut qiraah Ibnu Abbas adalah (يُطَوَّقُوْنه)   padanan kata dari (يُكَلَّفونه) yang artinya “yang dibebani/yang kenai kewajiban suatu hukum”.[7]
2.      Qiraah jumhur ulama (فدية طعامُ مسكين), sedangkan menurut qiraah Nafi’ bin Amir adalah (فدية طعامِ مساكين) yaitu dengan membaca jamak kata  (مسكين), dan dengan menjadikan idhofah kata (فدية) dengan kata (طعامِ).[8]
3.      Qiraah jumhur ulama (فمَنْ تَطَوَّعَ), sedangkan menurut qiraah Hamzah dan Kisa’i adalah (فمَنْ تَطَوَّعْ) yaitu kata تَطَوَّعْ dibaca Jazm, dan dibaca (فمَنَّ يطَوَّعَ) sehingga kata يطَوَّعَ adalah Mudhari’.[9]
4.      Qiraah jumhur ulama (وَلِتُكْمِلُوْا العدّةَ), sedangkan menurut qiraah Abu Bakar dari Asim yaitu (ولِتُكَمِّلُوْا)[10]
E.     Wujuh al-I’rab
1.      Al-Baqarah 183
Huruf “kaf” berfungsi sebagai tasbih (permisalan) dan merupakan sifat dari masdar makhduf (masdar yang dihilangkan), dan huruf “maa” adalah maa masdariyah sehingga taqdir jumlah diatas yaitu diwajibkan atas kalian (orang-orang mukmin) sebagai kewajiban sebagaimana yang telah kewajiban puasa orang-orang (umat) sebelum kalian.[11]
2.      Al-Baqarah 184
Menurut Zujaj: “mansubnya dharf dalam jumlah diatas seakan mengatakan bahwa diwajibkan bagi kalian di dalam hari-hari tersebut menunaikan ibadah puasa”.
Sedangkan menurut al-Akbiri : “tidak diperkenankan memansubkan dharf, kecuali kedudukannya sebagai maf’ul bih, karena masdar apabila disifati maka tidak akan berfungsi. Sehingga hendaknya takdir amil adalah makhduf ”.[12]
3.      Al-Baqarah 184
Kata “an tasuumu” berada di posisi raf’ul mubtada’ dan kata “khaira” merupakan khabarnya. Taqdirnya yaitu puasamu adalah lebih baik bagimu. Dan kata “wa in kuntum ta’malun” merupakan syart yang dihilangkan darinya jawab sebagai dalalah kata sebelumnya.[13]
4.      Al-Baqarah 185
Kata “as-Syahru” dibaca nasb, dan begitu pula huruf “ha” dalam jumlah “falyasumhu”. Sehingga musafir yang menyaksikan datangnya bulan tetap dimasukkan ke dalam arti kata “man”.[14]

F.     Makna Ijmali
1.      Pengertian
Puasa menurut pengertian bahasa adalah menahan diri, meninggalkan, menutup diri dari segala sesuatu, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, dari makanan atau minuman.[15]
Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan atas setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Puasa ini diwajibkan sekali setahun selama sebulan, pada bulan Ramadhan.
2.      Sejarah Puasa
Puasa itu pada mulanya diwajibkan sebagaimana umat-umat yang dahulu pada tiap bulan selama tiga hari sejak zaman Nabi Nuh AS sehingga dimansukhkan oleh Allah dengan puasa bulan Ramadhan.[16]
Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada hari Senin, tanggal 2 Sya’ban tahun ke-2 Hijriah. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan mulai diwajibkan setelah Nabi berhijrah ke Madinah. Sebelum diturunkan kewajiban berpuasa itu tidak berarti bahwa mereka tidak pernah melakukan puasa. Ketika baru tiba di Madinah, Rasulullah memerintahkan kaum Muslilmin untuk berpuasa 3 hari dalam sebulan. Namun setelah turunnya kewajiban berpuasa Ramadhan, maka yang diwajibkan atas orang beriman hanyalah puasa Ramadhan.[17]


G.    Ahkam Syariah
Pada hadits Thalhah bin Ubaidillah disebutkan bhwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW.[18] :
Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku puasa yang diwajibkan Allah atas diriku, Nabi SAW. Bersabda : ‘Puasa Ramadhan.’ Tanya lelaki itu lagi, ‘apakah ada lagi yang wajib atasku ?’ Rasulullah bersabda, ‘Tidak, kecuali engkau berpuasa sunnah.”
1)      Rukun Puasa[19]
Ada dua rukun puasa yang merupakan unsur terpenting, yaitu :
a)      Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
b)      Berpuasa pada waktunya (bulan Ramadhan)
c)      Berniat, seperti sabda rasulullah SAW, ‘Barang siapa yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya”.(HR Ahmad dan ash-habus Sunan, dan dinyatakan sah oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
2)      Syarat Puasa[20]
Syarat wajib puasa ; Islam, balig, berakal, mampu berpuasa, mengetahui wajibnya puasa, sehat, muqim. Sedangkan syarat sahnya adalah orang yang waras, bersih dari haid dan nifas, sesuai dengan waktu yang ditentukan untuk berpuasa, niat.

H.    Tafsir Ayat
1)      Ayat 183-184
Dalam ayat ini Allah memanggil umat beriman untuk berpuasa. Kewajiban ini juga telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu guna mencapai takwa yang sesungguhnya. Dalam puasa ada tuntunan untuk mempersempit pengaruh setan. Sabda Nabi SAW.
Abdullah bin Umar mengatakan bahwa Rasulullah SAW, bersabda : “Berpuasa bulan Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah kepada umat-umat sebelummu (Ahlul kitab).” (HR Ibnu Abi Hatim).[21]
Kemudian diterangkan hukum puasa pada permulaannya, siapa yang dalam keadaan sakit atau musafir, mereka tidak berpuasa, hanya saja hars qadha menurut bilangan hari yang ia tidak puasa.
Adapun perubahan puasa yaitu ketika Nabi hijrah ke Madinah, awalnya tiap bulan 3 hari, berpuasa Asyura juga. Kemudian turunlah ayat yang mewajibkan puasa.
Wa’alalladzina yuthiqunahu, dalam tafsir jalalain, mengira-ngirakan la pada lafadz yuthiqunahu, yakni ay la yuthiqunahu[22] (bagi orang yang tak mampu puasa). Tidak ada kepastian pembuangan la pada lafadz tersebut, sebab sebenarnya makna yuthiqunahu adalah orang yang mampu berpuasa namun disertai dengan sangat kepayahan/kesusahan, seperti orang tua yang pikun, ibu hamil, menyusui, mereka sebenarnya mampu berpuasa namun terasa berat lagi menambah beban. al-Thoqoh merupakan sebutan bagi orang yang mampu melaksanakan sesuatu dengan disertai kepayahan dan keberatan[23]
Ulama sepakat bahwa musafir dengan tujuan ta’at (bukan maksiyat) seperti haji, jihad, silaturrahmi, mencari kebutuhan kewajiban hidup, berdagang, dan hal-hal lain yang diperbolehkan,  baginya boleh tidak berpuasa. Namun menurut madzhab hanafi bepergian tujuan maksiyat pun boleh tidak berpuasa, sebab hakikat safar itu sendiri bukan perbuatan maksiyat, akan tetapi maksiyat itu terjadi setelah bepergian(sampai tujuan) atau ketika dalam perjalanannya, maka dari itu tidak menimbulkan efek apapun jika mendapat rukhsah qashar. Sebab orang tersebut sedikit bertobat ketika mengingat nikmat Allah yang tercurah padanya yakni kemurahan-Nya memperbolehkan ifthor, qashar, dan lain-lain.[24]
Jika seseorang meninggalkan puasa karena ‘udzur/tidak, kemudian ia tidak segera mengganti puasa tersebut di hari lain hingga datang ramadlan berikutnya, maka menurut pendapat mayoritas ulama ia terkena kafarat yakni memberi makanan terhadap orang miskin/fakir, 1 hari 1 mud.
Menurut imam Abu hanifah tidak ada kafarat baginya, karena mengamalkan secara tekstual ayat “ fa’iddatun min ayyamin ukhar. Sedangkan dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama ialah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Daruqutni dengan sanad shahih, dari abi hurairah mengenai orang yang tidak mempedulikan ( jawa-sembrono) dalam mengqadla puasa ramadlan hingga datang ramadlan berikutnya, kemudian bersabda; orang tersebut sekarang (bulan ramadlan ini) berpuasa bersama-sama dengan orang lain, dan nanti berpuasa mengganti puasa yang pernah  ia tinggalkan, dan memberi makanan pada fakir miskin tiap 1 hari 1 mud.[25]



2)      Ayat 185
Ketetapan wajib puasa bagi orang mukim, yang sehat, sedang tidak berpuasa hanya bagi orang sakit dan musafir, dan memberi makan itu hanya bagi orang tua yang benar-benar tidak kuat berpuasa baru ia memberi makan untuk tiap harinya kepada orang miskin.
Ibnu Umar juga menyatakan bahwa ayat 184 dimansukhkan oleh ayat 185, Ibnu Abi Laila berkata : “ saya masuk ke tempat Atha’ di bulan Ramadhan sedang ia makan, lalu Ibnu Abbas berkata, ‘Ayat 185 memansukhkan ayat 185 kecuali bagi orang tua yang tidak sanggup lagi berpuasa maka boleh membayar fidyah untuk tiap hari memberi makan seorang miskin.’[26]
Kesimpulannya ayat 184 tetap mansukh terhadap orang sehat kuat dan tidak musafir, adapun terhadap orang tua yang tidak kuat puasa boleh mebayar fidyah memberi makan tiap hari pada seoarng miskin. Sebab baginya tidak ada harapan untuk bisa kuat kembali.
Dalam ayat 185, Allah memuji bulan ramadhan yang terpilih untuk turunnya Al-Qur’an, bahkan kita-kitab Allah yang diturunkan pada Nabi-nabi juga diturunkan di bulan Ramadhan.[27]
Perintah berbuka dalam bepergian itu sukarela. Hamzah bin Amr al-Islami berkata, “Ya Rasulullah aku sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam bepergian ?” jawab Nabi SAW. “ Terserah kepadamu, jika suka boleh berpuasa, jika tidak suka boleh berbuka”.    ( Bukhari, Muslim).[28]


3)      Ayat 187
Allah ta’ala telah menjadikan fajar batas bolehnya makan, minum dan jimak bagi orang yang berpuasa, maka dijadikan dalil bahwa seorang yang pada saat fajar itu berjanabat maka dia harus mandi dan meneruskan puasanya, tanpa dosa, demikianlah pendapat dari empat mazhab dan jumhurul ulama’, berdasarkan hadis riwayat Aisyah dan Ummu Salamah RA, yang kedua-keduanya berkata, “Adanya Nabi SAW berpagi-pagi janabat karena telah berjimak bukan ihtilam, kemudian langsung mandi dan berpuasa. (HR Bukhari, Muslim)[29]
III.            Penutup
Demikian Makalah kami yang membahas tentang tafsir surat al-Baqarah ayat 183-187 mengenai Faridhat al-Shiyaam. Tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah kami ini. Oleh karena itu, koreksi dan saran dari pembaca sekalian sangatlah kami harapkan sebagai modal perbaikan makalah kami selanjutnya dikemudian hari.
Semoga makalah kami ini sedikit banyak dapat membawa manfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wallahu ’alamu bis-Shawaab 
                                                                                                                                                 IV.            Daftar Pustaka
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy,  Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir,  Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987
Hamka, Tafsir al- Azhar juz II, Jakarta : Panji Masyarakat, 1982
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta : Panji Masyarakat, 1982
Khawarizmi, Abi al-Qasim jarullah mahmud bin umar al-Zamahsyari al-,  al-kassyaf an haqaiqi al-tanzil wa ‘uyun al-aqawil fi wujuhi al-ta’wil, beirut: dar al-fikr
Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-AdzimTafsir Jalalain”, Surabaya: Dar-al ‘Abidin
Mahally, Imam Jalaludin al- dan imam Jalaludin as-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul , Bandung : Penerbit Sinar Baru
Raya, Ahmad Thib dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media, 2003
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007
Shabuni, Ali al-, Shofwat al-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr,  Jilid 1
____________, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an, Beirut: Dar Ibnu Abbud, 2004
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, Jilid 1




[1] Hamka, Tafsir al- Azhar juz II, Jakarta : Panji Masyarakat, 1982, hal 126-140
[2] Imam Jalaludin al-Mahally dan imam Jalaludin as-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul , Bandung : Penerbit Sinar Baru, hal 96-100 
[3] Abi al-Qasim jarullah mahmud bin umar al-Zamahsyari al-khawarizmi,  al-kassyaf an haqaiqi al-tanzil wa ‘uyun al-aqawil fi wujuhi al-ta’wil, beirut: dar al-fikr, hlm. 515
[4] Ibid. Hlm. 320
[5]  Ibid. Hlm. 323
[6] ibid
[7] Muhamad Ali Al-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an, Beirut: Dar Ibnu Abbud, 2004, hlm. 137
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid. Hlm. 138
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media, 2003, hlm. 211
[16] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy,  Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir,  Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987, hlm. 313
[17]  Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Op. Cit. hlm. 212
[18] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 29
[19] Ibid, hlm. 34
[20] Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Op. Cit. hlm. 216
[21] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op. Cit. hlm. 313
[22] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-AdzimTafsir Jalalain”, Surabaya: Dar-al ‘Abidin, Hlm. 26.
[23] Ali al-Shabuni, Shofwat al-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr,  Jilid 1, Hlm. 123
[24]Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, Jilid 1, Hlm. 504
[25] Ibid, Hlm. 505
[26] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op. Cit. hlm..316
[27] Ibid. Hlm. 318
[28] Log. cit
[29] Ibid. Hlm. 328

3 komentar: