Global Variables

Rabu, 25 April 2012

PROBLEMATIKA[1] ITSBAT NIKAH ISTERI POLIGAMI DALAM NIKAH SIRRI

PROBLEMATIKA[1] ITSBAT NIKAH ISTERI POLIGAMI
DALAM NIKAH SIRRI

1.      Latar Belakang
Melaksanakan suatu ikatan perkawinan merupakan hak asasi setiap warga Negara sebagaimana yang telah tercantum pada pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan kedua bahwa: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah[2].  Akan tetapi sebagai warga yang hidup dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara (Indonesia), dalam melaksanakan suatu pernikahan tentu harus mengikuti aturan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Indonesia, salah satu diantaranya perkawinan dicatatkan di KUA yang dibuktikan dengan Akta Nikah.
Di negara Indonesia perkawinan di anggap sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta tercatat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi realita di tengah masyarakat banyak sekali pasangan suami istri yang menikah sirri tanpa dicatatkan di KUA dengan berbagai faktor atau kendala, baru ketika terdesak demi kepastian hukum atas perkawinannya serta kepastian hukum tentang status anaknya keduanya mengajukan perkara Permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama. kasus seperti itu hal yang biasa. Akan tetapi jika itsbat Nikah untuk isteri kedua ketiga atau keempat (isteri poligami) di ajukan ke Pengadilan Agama, dengan menjadikan isteri terdahulu menjadi pihak Termohon adalah hal yang istimewa atau tidak biasa. Mengapa tidak biasa? karena kekhawatiran suami pada umunya, terhadap istri terdahulu jika dimintai persetujuannya untuk itsbat nikah, hampir pasti keberatan. Kecuali jika diluar persidangan istri terdahulu telah menyatakan kerelaannya, untuk dimadu, baik karena terpaksa dari pada dicerai suami, atau memang betul-betul rela suami mengajukan perkara itsbat, rata-rata suami-suami sekarang, takut istri jika terang- terangan bermadu. dari kenyataan itulah, banyak laki-laki yang bertahan satu istri, hal itu disebabkan, situasi, kondisi dan toleransi yang kurang memungkinkan.
Sementara fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah banyaknya praktek kawin poligami dengan jalur kawin siri dengan berbagai macam alasan dan latar belakang. Padahal fakta berbicara bahwa dalam kawin sirri banyak menimbulkan permasalahan bagi keluarga itu sendiri, mengenai status, harta warisan ataupun harta kebendaan. Bagi anak misalnya, perkawinan sirri tersebut bisa menjadi masalah saat  perlu Akta kelahiran untuk keperluan sekolah, kerja dan sebagainya, sementara bagi istri (hasil Nikah Sirri) juga butuh kepastian hukum demi kebutuhan di masa mendatang ataupun ketika berbaur didalam masyarakat luas.
Adanya perundangan yang mengatur tentang perkawinan harus tercatat adalah demi mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik hukum Negara yang bersifat preventif dalam masyarakat, untuk mengkoordinir masyarakatnya demi terwujudnya ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai macam konflik. Dalam istilah ushul fiqih ini disebut sadduz dzari’ah, mencegah dari kemungkinan terjadinya kemungkaran.



2.      RUMUSAN MASALAH

*      Bagaimanakah kebijakan hukum Pengadilan Agama dalam menangani dan menyelesaikan perkara Itsbat nikah isteri poligami tersebut?
*      Bagaimana hakim harus mengambil sikap dalam menerima, mendalami, menimbang dan memberi keputusan perihal itsbat nikah siri yang bagaikan dua mata pisau, disatu sisi untuk menghindari penyelundupan hukum, tetapi disisi lain sebagai jalan keluar demi kepastian hukum dan keadilan dimasyarakat?
*      Bagaimana dengan istri pertama dalam hukum ketika mengambil suatu sikap?

3.      PEMBAHASAN
Dalam pasal 26 Burgerlijk Wetboek (BW), perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-Undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan. Artinya pasala tersebut hendak menjelaskan bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek dan syarat-syarat serta peraturan agama (dikesampingkan). Termasuk mengenai pencatatan perkawinan dan asas monogami.[3]
Perkawinan sirri atau nikah bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai  Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, bila telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, misalnya pada sebagian masyarakat muslim yang masih berpegang teguh kepada perspektif Fiqih tradisional. Menurut pemahaman mereka perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di KUA dan tidak perlu Surat Nikah sebab hal itu tidak diatur pada zaman Rasulullah dan merepotkan saja.[4] Secara agama perkawinan ini sah, akan tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Jalur Nikah Sirri telah menjadi pilihan bagi mereka yang bermaksud beristri lebih dari satu orang melalui cara pengesahan Nikah (itsbat Nikah), dibandingkan dengan prosedur poligami menurut ketentuan UU perkawinan. Oleh karena itu perlu dipikirkan dan dikaji secara mendalam sebelum dan atau dalam menetapkan kebijakan penegakan hukum dalam memberikan alternatif penyelesaian permasalahan kebutuhan dan kepastian hukum terhadap Nikah Sirri melalui Itsbat Nikah.
Banyak permasalahan yang bisa muncul dari adanya itsbat Nikah, misalnya mengenai status baru bagi istri maupun anak hasil nikah sirri ataupun istri dan anak-anak yang dinikahi secara sah sebelumnya (istri pertaman). Maka Pengadilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap permohonan itsbat Nikah isteri poligami yang diajukan ke Pengadilan Agama harus menerima, memeriksa, menimbang, memberi keputusan dalam menyelesaikan perkara yang diajukannya dengan pertimbangan yang matang dan kajian mendalam, Pengadilan Agama harus banyak belajar dari kasus-kasus yang telah ada, sesuai fakta kejadian dan demi keadilan dimasyarakat.
Dalam PTA (Pedoman Tehnis Administrasi) dan TPA (Tehnis Peradilan Agama) 2008, bahwa Pekawinan yang tidak dicatatkan oleh PPN berindikasikan penyelundupan hukum untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan manjadi masalah dalam status, hak-hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan. Maka Pengadilan Agama harus lebih bijak dalam memeriksa dan memutus permohonan Itsbat Nikah, ini dengan tujuan agar proses Itsbat Nikah tidak dijadikan sebagai alat untuk melegalkan perbuatan penyelundupan hukum.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan itsbat nikah harus mengikuti petunjuk Buku II. Dan 4 khususnya ketentuan pada angka 3 dan 4 yang berkaitan permohonan Itsbat nikah yang diajukan sepihak maka ketentuannya adalah sebagai berikut: Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan menundukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, pruduknya berupa Putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah tersebut, diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam kasus lain misalnya ketika suami ingin menceraikan istri yang dinikahi secara sirri, lalu mengajukan permohonan Talak ke Pengadilan Agama. Dalam kasus ini maka jalan yang harus ditempuh tentu adalah mengitsbatkan dulu pernikahan sirrinya tersebut, disebut itsbat untuk cerai, maka implikasi hukum yang muncul adalah kalau Nikah sirrinya di itsbatkan walaupun untuk cerai. Akan tetapi setelah itu kemudian muncul perkara lain, setelah nikah itu diitsbatkan walau kemudian diceraikan, maka tentu akan muncul hak keperdataan istri nikah siri yang telah diceraikan tersebut karena telah menjadi istri yang sah sehingga memiliki hak-hak sebagaimana seorang istri yang sah, lalu bagaimana pemenuhan hak keperdataan istri tentang pembagian harta bersama, apabila si istri menuntut haknya? Apalagi bila dari pernikahan tersebut telah menghasilkan anak, tentu juga harus berbicara tentang hak keperdataan anak yang berarti disini adalah hak kewarisan, dsb.
Adanya Itsbat Nikah adalah bagai pisau bermata dua, disatu sisi adanya itsbat nikah adalah untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan nikah sirinya, akan tetapi disisi lain juga berpeluang untuk membuka berkembangnya praktek nikah siri, karena seolah-olah nikah siri bisa dikompromikan, yang apabila butuh dan ingin tinggal mensahkan perkawinannya ke Pengadilan Agama dengan mengajukan Permohonan Itsbat Nikah, akhirnya status pernikahannya pun menjadi sah dimata Negara. Maka bagi para hakim akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri, apakah dengan mengitsbatkan Nikah tersebut akan membawa lebih banyak kebaikan atau justru mendatangkan madharat bagi semua pihak dalam keluarga tersebut.[6]  
Pasal 6 ayat (1) KHI menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN dan pada ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan diluar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. Tidak mempunyai kekuatan hukum atau kelemahan hukum tidak berarti bahwa hal itu sebagai suatu perkawinan yang tidak sah atau batal demi hukum.Namun demikian sikap hakim dalam mengambil suatu keputusan bersifat bebas dengan pertimbangan dan menafsirkan pasal peratuan perundangan demi kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat. Seperti penafsiran
Pemikiran ini didasari pada pemahaman terhadap UU no.1/74 jo. PP. 9/75 dan KHI, dengan interpretasi bahwa yang menjadi patokan keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan berdasarkan hukum Agama (Islam), pemakalah belum menemukan satu pasalpun yang menyatakan tidak sah atau batal demi hukum. Jika pemohon ingin mengitsbatkan perkawinan sirrinya masihkah ada harapan? Apakah yang bersalah terus menjadi bersalah tidak ada lembaga Taubat untuk memperbaiki sebuah kesalahan. Apakah anak-anak yang lahir hasil dari pernikahan sirri akan selamanya menanggung beban ketidak jelasan status hukumnya baik di masyarakat dan Negara, apakah terhapus selamanya hak-hak keperdataan yang berhubungan dengan ayah kandungnya hasil perkawinan sirri seperti hak perwalian dan hak waris dll. Secara kasuistis hakim juga harus mempertimbangkan demi kemaslahatan umat dan keadilan dimasyarakat. Hasil seminar sehari “Hukum keluarga Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum” yang telah diulas pada sampul belakang majalah Hukum Varia Peradilan No. 286 edisi September 2009 sebagai berikut:
“ Fenomena perkawinan tidak tercatat yang biasa disebut “kawin Sirri” dalam kehidupan masyarakat Indonesia, adalah realita, alasannya mulai dari mahalnya biaya pencatatn nikah sampai karena alasan personal yang harus dirahasiakan. Menyikapi persoalan ini, pada tanggal 1 Agustus 2009 di hotel Red Top Jakarta, diadakan Seminal sehari yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), dan diperoleh pernyataan para pakar hukum yang amat mengejutkan diantaranya pernyataan:
1. Prof. DR.Bagir Manan, SH, yang menyimpulkan bahwa: “ pencatatan perkawinan adalah suatu yang penting saja untuk dilakukan, oleh karena itu tidak mengurangi keabsahan perkawinan itu sendiri”.
2. Prof.DR.Mahfud MD, SH, yang menyatakan bahwa “ perkawinan Sirri tidak melanggar konstitusi, karena di jalankan berdasarkan akidah Agama yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.
3. DR.H.Harifin A, Tumpa,SH; MH. Berpandangan bahwa “ kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas itikat baik atau ada factor darurat, maka hakim harus mempertimbangkan”. ( H.Andi syamsu Alam (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan Hukum di Lingkungan Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI, tahun 2009, hlm. 6-7)
Jika pandangan para pakar hukum tersebut dikorelasikan dengan pandangan Prof. DR.H. Muchsin, SH, dalam tulisan beliau berjudul “Problematika Perkawinan tidak tercatat dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif (Materi Rakernas Perdata Agama Hlm 17-18), dengan memandang sejarah hukum dan filosofi hukum dan tujuan pelaksanaan perkawinan dicatatkan, maka akan menjadikan hakim lebih berhati-hati dalam mengani perkara Itsbat Nikah Isteri Poligami.
Apabila perkawinan dibawah tangan sudah menjadi tradisi dalam arti dipatuhi oleh masyarakat, mengikat (pasti akan disahkan atau di itsbatkan juga oleh pengadilan Agama), dan dipertahankan secara terus menerus, maka akan terjadi keadaan sebagai berikut:[7]
Makna historis Undang-Undang Perkawinan akan tidak efektif, sehingga tujuan lahirnya Undang-undang tersebut tidak tercapai, dengan demikian pengorbanan bangsa (umat Islam) untuk lahirnya Undang-Undang ini menjadi terabaikan;
Tujuan Normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang dikehendaki Pasal 2 Undang-undang Perkawinan, maka akan menciptakan suatu kondisi ketidak teraturan dalam pencatatan kependudukan;
Ø  Masyarakat muslim di pandang tidak lagi memperdulikan kehidupan bangsa dan kenegaraan dalam bidang hukum, yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan Negara, yang pada akhirnya mengusung pandangan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan kenegaraan.
Ø  Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan, yang hanya peduli pada unsure agama saja disbanding unsure tatacara pencatatan Perkawinan, yang mungkin akan dikemas dengan perbagai perjanjian perkawinan, antara lain bahwa unsure pencatatan resmi ke Kantor Urusan Agama akan dipenuhi pada waktu yang kan datang dengan tanpa adanya suatu kepastian, yang mengundang ketidak pastian nasib wanita (isteri) yang menurut amanat Undang-undang Perkawinan semestinya diprioritaskan untuk dilindungi.
Ø  Apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan seperti tersebut, maka peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas tanpa terlibat prosedur hukum sebagai akibat langsung dari diabaikannya pencatatan oleh Negara, sehingga perkawinan dibawah tangan ini hanya diikuti dengan perceraian di bawah tangan, maka untuk suasana seperti ini adalah sama seperti masa Tahkim dan Muhakkam dalam sejarah masyarakat Islam Indonesia pada masa yang lalu lewat Pengadilan Agama, dengan demikian akan memutus konsistensi dan konsekwensi logis formalisasi hukum Islam dalam kehidupan kenegaraan.
Ø  Akan membentuk preseden buruk sehingga orang akan cenderung menjadi bersikap enteng untuk mengabaikan pencatatan nikahnya secara langsung pada saat sebelum perkawinan.
Syarat-syarat izin beristri lebih dari satu (poligami).[8]
·         UU. No. I/1974 pasal 3 ayat 2
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 ayat 2
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila;
a). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
1.)    Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri pertama;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka;
2.)    Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf 1 pasal ini tidak diperlukan bagi suami apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian ari Hakim Pengadilan.
Apabila menyimak peraturan dalam pasal tersebut, rasanya sulit bagi suami untuk berpoligami akan terwujud sebab hampir kebanyakan istreri terdahalu tidak menyutujuinya. Disinilah kemudian dalam pasal 5 ayat 2 hakim dalam mengambil putusan berhak berijtihad sehingga menjadi yurisprudensi dan dapat menjadi hukum dalam penetapan hukum. Sehingga suami yang ingin mengajukan izin poligami menjadi trauma, dengan harapan yang pesimis bahwa suami mengajikan izin poligami, pasti hakim akan menolak jika istreri tidak menyetujui. Pada pasal 5 ayat (2) tersebut telah memberikan ruang kepada Hakim untuk memberikan penilaian dan pertimbangan, terhadap kasus perkasus.
Disinilah perlunya peran Hakim dalam menilai pengajuan perkara itsbat Nikah isteri poligami, hakim harus membuat interpretasi yang arif , apakah perkara tersebut diajukan dari awal perkara izin poligami, atau perkara itsbat Nikah istri poligami. Di satu sisi banyak penyelundupan perkara dengan mengajukan perkara Itsbat Nikah dengan tanpa melibatkan isteri terdahulu padahal sebenarnya pernikahannya poligami. Di sisi lain perlu adanya wawasan hakim untuk memperhatikan nasib anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri atau tidak dicatatkan, satu-satunya jalan dengan menempuh itsbat Nikah di Pengadilan Agama sebagai solusinya. Hakim bebas untuk memberikan pertimbangan yang pada akhirnya menolak atau mengabulkan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama. Berhubungan dengan hal tersebut Pengadilan Agama terhadap perkara isbat nikah poligami perkara nomor : 190/Pdt.G/2004/PA/Smn memberikan suatu sistem bagaimana pertimbangan Hakim dalam menetapkan perkara isbat nikah poligami, Hakim dalam memutuskan suatu perkara memperhatikan dengan suatu hal dengan objektif, dengan pertimbangan yang matang. Yakni mempertimbangkan dengan seksama mana yang harus didahulukan antara mengabulkan atau menolak perkara tersebut berdasarkan pada keadilan dan kemaslahatan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama dan peraturan perundangan yang berlaku. Terhadap perkara tersebut berdasarkan kemaslahatan bagi keluarga Termohon I dan II, dan dengan pertimbangan syarat-syarat poligami yang tidak terpenuhi seperti yang tercantum Pasal 4 ayat (2) UU No. 1/1974 jo Pasal 57 KHI. Dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1/ 1974 jo Pasal 58 ayat (1) KHI,beserta surat pernyataan yang membuat isteri dizalimi dikarenakan paksaan suami untuk berpoligami, maka isbat nikah poligami tersebut ditolak.[9]
Pada akhirnya kembali kepada maksud dan tujuan perlunya suatu perkawinan dicatatkan adalah untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diwujudkan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, lebih khusus lagi untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah tangga.[10] 7 Dengan Penetapan Itsbat Nikah dari Pengadilan Agama, pemohon dapat mengajukan ke KUA setempat untuk mendapatkan Kutipan Akta Nikah. Dan melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, maka masing-masing suami isteri dan apabila dikemudian hari terdapat percekcokan atau perselisihan atau salah satu pihak melalikan kewajibannya, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing. Dengan akta nikah tersebut suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan, sehingga dalam kehidupan dimasyarakat menjadi tenang.

4.       KESIMPULAN
Pengadilan Agama dalam menerima perkara Itsbat Nikah Poligami harus mempertimbangkan secara seksama, dan hati-hati guna menghindari penyelundupan hukum, dengan memasukkan permohonan itsbat nikah untuk menghindari prosedur poligami, serta selalu memperhatikan hukum yang berkembang di masyarakat, demi kemaslahatan umat;
Setiap perkawinan harus dicatat menurut peundang-undangan yang berlaku  untuk mewujudkan ketertiban administrasi dalam perkawinan di Indonesia. Sementara untuk perkawinan yang sudah terlaanjur terlaksana secara siri maka perkawinan tersebut harus disahkan dengan mengajukan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama.
Persetujuan istri terdahulu dalam hal itsbat Nikah pada isteri poligami, bukanlah suatu keharusan, jika persetujuan tidak mungkin didapatkan, hakim dengan pertimbangan tertentu dapat mengabulkan perkara itsbat Nikah isteri poligami.
DAFTAR BACAAN


Abdullaah, Abdul Gani, “Sekitar Masalah Pengesahan Nikah Sirri”, Materi Rakernas perdata Agama, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008.
Al-Rasyid, Harun, “Naskah UUD 1945 sesudah 4 kali diubah oleh MPR”, Jakarta, UI-pres, 2004.
Depdikbud, 1990Kamus besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka)
Mahkamah Agung RI, “Rapat Kerja Nasional 2009 pada 4 Lingkungan Peradilan”,
Manan, Abdul, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Manan, Abdul dan M. Fauzan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Muchsin, Problematika perkawinan tidak tercatat dalam pandangan hukum Islam dan hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama, Mahkamah Agung RI, Jakarta 2008.
Mubarok Jaih, tt, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy)
Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa)
Tahido Yanggo, Huzaemah, 2007, Perkawinan yang Tidak Dicatat Pemerintah (Jakarta, GTZ dan GG Pas)



[1] Dalam KBBI “problematika” adalah sesuatu hal yang menimbulkan masalah atau permasalahan. Selengkapnya baca, Depdikbud,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, Cet III hlm.701
[2] Periksa Harun Al-Rasyid, Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR, Jakarta : UI-Pres, 2004, hlm. 46 dan 105
[3] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1980). Cet.XV
[4] prof.Dr.H.Abdul Manan,SH,Sip, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm.47
[5] Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy) hlm.87
[6] ibid
[7] Nasrudin Salim, Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Mimbar Hukum No. 62 tahun 2003 Edisi September-Oktober, hlm.72
[8] Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,  2002)

[10] Huzaimah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah, (Jakarta; GTZ dan GG PAS, Mei 2007) hlm.17

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Hari ini Senin tgl 31 Oktober 2016, masalah itsbat poligami ini didiskusikan di PTA Surabaya oleh para pimpinan PA se Jatim

    BalasHapus