Global Variables

Rabu, 25 April 2012

HUKUM PIDANA ADAT

HUKUM PIDANA ADAT

I. Pengertian
            Hukum barat memisahkan antara hukum pidana dan hukum perdata, karena tidak setiap perbuatan yang melanggar hukum adalah termasuk perbuatan pidana /delict. Hanya pelanggaran /perbuatan yang diancam dengan pidana (straf=penderitaan=punishment) saja yang termasuik dalam pengertian hukum pidana.
            Hukum Adat tidak memisahkan antara perbuatan pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan pembalasan yang berupa pidana dengan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut dengan penggantian kerugian dalam lapangan hukum perdata. Oleh karena itu dalam hukum adat tidak ada perbedaan dalam acara penuntutan dimuka hakim antaa penuntutan dimuka hakim antara penuntutan ganti kerugian dalam lapangan perdata dan penuntutan kriminal.
Perbedaan sistem hukum barat dengan sistem hukum adat dalam pemisahan atau pembedaan hukum perdata dengan hukum pidana ini berpangkal pada perbedaan alam fikiran dari kedua masyarakat. Barat (individualistis-liberalistis, rasionalistis) >< Timur (tradisional-kosmis, yaitu meliputi segala-galanya sebagai satu kesatuan/totaliter).
Menurut alam fikiran kosmis ini umat manusia merupakan bagian dari alam semesta, tidak ada pemisahan dari berbagai macam lapangan kehidupan dan tidak dikenal pembatasan antara dunia lahir dan dunia ghaib. Segala sesuatu itu bercampur baur, bersangkut paut dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain.Yang penting bagi masyarakat adalah adanya keseimbangan (evenwicht) dan keserasian (harmonie) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara individu dengan masyarakat, antara persekutuan dengan warganya. Oleh karena itu yang dimaksud dengan delict adalah : “suatu perbuatan sefihak dari seseorang atau sekumpulan orang yang mengancam atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, baik yang bersifat materiil maupun immateriil, terhadap seseorang atau terhadap masyarakat sebagai satu kesatuan”.
Perbuatan atau tindakan yang demikian ini akan mengakibatkan suatu reaksi adat atau upaya adat yang dimaksudkan untuk memulihkan keseimbangan dan keselaran yang terganggu tadi.

            Mengenai penentuan perbuatan mana yang termasuk perbuatan pidana dan mana yang tidak, sangat tergantung pada pandangan dan kepercayaan masyarakat setempat, karena hukum adat itu timbul dan lenyapnya sangat tergantung pada perasaan umum tentang baik buruk dan perasaankeadilan masyarakat yang bersangkutan.  Hukum adat tidak mempunyai sistem pelanggaran tertutup, melainkan terbuka. Hukum adat tidak mengenal “prae exixtente regels”, artinya tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu (lihat asas legalitas pasal 1 KUHP).

Perbedaan sistem hukum pidana dalam KUHP dan hukum pidana Adat:
KUHP
HUKUM ADAT
* Yang dapat dipidana hanalah manusia




* Seseorang hanya dapat dipidana kalau mempunyai kesalahan (schuld), baik karena disengaja (opzet, dolus) atau karena kekhilafannya (culpa).
* Pada dasarnya setiap setiap delik adalah menentang kepentingan negara / umum, sehingga setiap delik adalah persoalan negara, bukan persoalan individu secara pribadi yang terkena.
* Orang hanya dapat dipidana kalau ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya.


*Tidak mengenal perbedaan tingkat/kasta pada orang yang menjadi korban perbuatan pidana, sehingga pada dasarna perbuatan pidana yang ditujukan kepad setiap orang, hukumannya sama.



* Orang dilarang main hakim sendiri (eigenrichting)

* Terdapat perbedaan hukuman antara orang yang melakukan delik dengan orang yang hanya membantu, membujuk atau hanya turut serta melakukan delik.
* Dikenal adanya percobaan yang dapat dipidana, yaitu percoibaan melakukan kejahatan,


* Persekutuan hukum adat/persekutuan yang berdasarkan hubungan darah  (keluarga, marga, paruik) dapat dimintai pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh warganya.
* Seseorang sudah dapat dihukum karena peristiwa yang menimpa dirinya tanpa disengaja atau tanpa adanya kelalaianya.

* Terdapat delik yang hanya menjadi persoalan person / hanya menjadi persoalan keluarga korban, ada pula yang menjadi persoalan desanya.

* Orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi hukuman, keadaan demikian menentukan berat ringannya hukuman.
* Di daerah tertentu mengenal tingkatan manusia. Semakin tinggi kedudukan atau kasta orang yang terkena perbuatan pidana  makin berat hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan delik, dan lebih berat jika dibadingkan dengan delik yang ditujukan kepada orang yang lebih rendah derajatnya.
* Terdapat keadaan yang mengijinkan orang yang terkena delik menjadi hakim sendiri
* Siapa saja yang turut melanggar peraturan hukum harus turut memulihkan kembali keseimbangan yang terganggu.

Tidak ada orang yang dapat dipidana hanya karena melakukan percobaan saja, karena dalam sistem hukum adat suatu adatreactie hanya akan dilaksanaka kalau keseimbangan hukum dalam masyarakat terganggu.
* Hakim dalam mengadili perbuatan pidana memperhatikan pula apakah si pelanggar itu merasa menyesal


















PERADILAN HUKUM ADAT
            Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang tidak pernah terwujud. Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum hasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi dengan elit lokal.
Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan adat.
            Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Menurur Prof  Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ (peradilan gouvernement) terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh belanda.
            Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlakudalam masyarakat hukum adat. Persoalanya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi?
Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi.
           Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah ;
  1. di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai  satu bagian yang terintegrasi utuh dengan sistem nilai dan sistem sosiall yang mereka anut. Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat.
  2. sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi tantangan upaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan.
  3. Ketiga, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat.
  4. Keempat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan  ditingkatkan peradilan negara.

Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, tidak semua adat itiadat dapat disentuh oleh para petugas hukum dalam bentuk penetapan-penetapan. ( lihat Ter Haar – teori Beslissingen). Para warga masyarakat pada umumnya bersedia melakukan sesuatu ketentuan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya, bukan hanya karena ketentuan itu ditetapkan oleh para penguasa atau para petugas hukum, tetapi karena kesadaran bahwa ketentuan-ketentuan itu memang sudah sepantasnya ditaati oleh segenap warga masyarakat.
            Di samping penetapan para petugas hukum adat ada beberapa faktor lain yang menentukan agar adat istiadat berkekuatan mengikat secara materiil yang sempurna, ialah:
  1. Adat istiadat itu sesuai dengan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat ybs ;
  2. sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dijunjung tinggi;
  3. sesuai dengan perkembangan masyarakat ybs;
  4. sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.

Hakim adat yang bertugas pada peradilan adat, dalam melaksanakan tugasnya harus :
  1. berpegangan pada hukum tertulis yang telah disiapkan sebelumnya ;
  2. berdasar adat istiadat yang sudah pernah diputuskan oleh para petugas hukum sebelumnya ; dan
  3. harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat, yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, atau yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.

Oleh karena itu hakim adat harus memberi bentuk kepada apa yang dibutuhkan sebagai kaidah hukum yang berlaku menurut rasa keadilan masyarakat, karena kesadaran hukum masyarakat itu harus dapat mempengaruhi kesadaran hakim dalam mengambil keputusan mengenai masalah yang timbul dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas tersebut hakim adat terikat pada :
    1. Nilai-nilai yang berlaku secara obyektif dalam masyarakat ;
    2. sistem hukum adat yang telah berbentuk dan berkembang dalam masyarakat ;
    3. syarat-syarat dan nilai-nilai kemanusiaan ;
    4. putusan-putusannya sendiri yang pernah diputuskannya ;
    5. putusan-putusan hakim lainnya dalam masalah yang serupa yang masih dapat dipertahankan karena masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Hukum adat kita tak kenal sistem precedent. Bilamana hakim tidak mendapatkan putusan yang lampau mengenai masalah yang sama atau bilamana putusan yang lampau itu tidak mungkin lagi dipertahankan, maka hakim harus mencarinya dalam kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dengan memperhatikan beberapa pedoman penting, yaitu (Prof.Djojodigoeno) :
1.                           Azas-azas dan peragaan hukum di masa lampau yang merupakan ukuran statis, guna mengabdi tujuan hukum yang bernama “tata”;
2.                           keadaan masyarakat pada waktu sekarang, yang merupakan ukuran dinamik, guna mengejar “tata masyarakat yang adil”; dan
3.                           individualita masing-masing kasus yang merupakan ukuran plastis.

Dengan demikian, maka wujud dari putusan hakim yang sedang mengadili suatu perkara menurut hukum adat dapat berupa :
  1. melaksanakan aturan hukum adat yang telah ada, sepanjang masih mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
  2. tidak melaksanakan aturan hukum adat yang ada, melainkan memberi penetapan baru, bilamana menurut keyakinan dan rasa keadilan hakim, aturan hukum adat yang lama itu tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
  3. hakim dapat pula mengambil keputusan jalan tengah, kalau terjadi hal-hal sebagai berikut;
  1. peristiwa/faktanya tidak terang (siapa yang salah)
  2. hukum yang menguasai perkara itu tidak jelas;
  3. kalau penerapan aturan hukum adat yang ada akan dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat.


Macam-macam peradilan adat.
            Sejak zaman HB s/d lahirnya UU No.1/drt/1951 (11-1-1951) belum ada unifikasi dalam kekuasaan peradilan, karena masih ada 5 macam tatanan peradilan yang berlaku yakni :
  1. Tatanan Peradilan Gubernemen (Gouvernement rechtspraak);
  2. Peradilan Pribumi (Inheemsche rechtspraak), yang ada di daerah-daerah yang mendapat kebebasan untuk menyelenggarakan peradilannya sendiri dengan hakim-hakim pribumi.
Berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi antara orang-orang bumiputera yang tidak termasuk wewenang Peradilan Gubernemen (Ps. 130 IS).
  1. Peradilan Swapradja (Zelfbestuursrechtspraak), terdapat di daerah-daerah swapradja;
Pada zaman HB pengadilan-pengadilan swapradja di Jawa ( Kasultanan Yogjakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta) mempunyai kekuasaan mengadili keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan sampai derajat ke-4 dari raja-raja jawa dan terhadap pegawai-pegawai tinggi kerajaan (kaula swapradja di luar itu menjadi wewenang peradilan gubernemen).
Dapat mengadili perkara pidana yang mengenai ketertiban umum dan harta kekayaan negara / kerajaan, disamping perkara perdata yang tergugatnya berdiam di daerah swapradja.
  1. Peradilan Agama (Raad Agama) yang ada di daerah-daerah HB, baik yang di daerahnya terdapat Peradilan Gubernemen maupun yang menetapkan PA sebagai bagian dari Peradilan Pribumi/Peradilan Swapradja ; dan
  2. Peradilan Desa (Dorps rechtspraak), yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga merupakan Peradilan Adat.
Dilakukan secara majlis oleh para kepala desa/kepala masyarakat hukum adat setempat, wewenangnya hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil-kecil dan perkara pidana adat yang ringan.
Dari 5 macam tatanan peradilan tersebut yang melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada hukum dat sebagai landasan mengadili perkara ialah (2,3 dan 5).

            Pluralisme dalam sistem peradilan tersebut dapat menimbulkan kerancuan dalam kewenangan badan-badan peradilan dan perbedaan perlakuan hukum terhadap WNI. Berdasarkan UU No.1/drt/1951 diadakan unifikasi susunan dan kekuasaan pengadilan dengan menghapuskan semua peradilan adat, sehingga wewenang mengadili perkara pelanggaran hukum adat diserahkan kepada PN.

















HUKUM ADAT VS HUKUM NEGARA : KASUS SUKU ANAK DALAM
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

Abstrak
Tulisan dengan optik sosiologi hukum ini hendak mengangkat masalah hukum nasional yang ternyata lebih banyak menjadi beban bagi budaya lokal.
Masyarakat adat lokal yang tidak mengenal hukum negara ternyata menghadapi masalah besar ketika berurusan dengan hukum negara tersebut. Pembahasannya tidak hanya bergerak dalam satu aras paradigma, namun telah bergeser hingga paradigma postmodernitas dalam ilmu hukum.

Pendahuluan
Membaca berita di harian Kompas, mengenai pengadilan terhadap kepala adat Suku Anak Dalam Jambi yang dilangsungkan dalam kerangka hukum negara (Kompas, 6 April 2009, Senjakala Hukum Adat Rimba) seperti mengalami deja vu. Penulis langsung teringat kasus-kasus serupa di berbagai pelosok negeri ini, sebagaimana sering diulas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, mengenai hukum nasional yang ternyata lebih sering menjadi beban bagi budaya lokal. Sepanjang pengetahuan penulis, bahkan hal ini menjadi ’terbuktikan secara ilmiah’ melalui temuan disertasi Dr. Bernard L. Tanya.
Tulisan ini akan banyak bergerak dalam ranah sosiologi hukum yang hendak memotret realitas yang ada secara penuh, tanpa mengalami ’sensor reduksi’, karena ”sociology is the scientific study of social life, and the sociology of law is accordingly the scientific study of legal behavior” yang misinya adalah ”to capture and explain legal variation of every kind, including how cases enter the legal systems and how cases are resolved”
Kisah ini dimulai oleh pertikaian hutang-piutang sederhana antar dua kelompok dalam Suku Anak Dalam (SAD), namun akhirnya menyebabkan perkelahian yang menewaskan tiga orang dari kedua kelompok pada akhir tahun 2008. Karena ada korban tewas, maka polisi sebagai alat negara mulai bertindak. Cerita kemudian bergulir dengan jelas, polisi menjalankan proses hukum, memeriksa saksi-saksi, menetapkan tersangka, menyerahkan kepada kejaksaan, dan seterusnya hingga kasus itu mulai disidangkan di pengadilan.
Masalah pun muncul ketika ada penolakan kuat dari seluruh komponen masyarakat suku tersebut untuk dipaksa tunduk pada skema hukum negara. Mereka menganggap bahwa hukum negara tidak sesuai dengan tatanan masyarakat SAD, mereka melihat negara telah melecehkan hukum adat SAD dengan menganggap bahwa SAD tidak mampu meyelesaikan persoalan yang timbul dalam masyarakat sederhana tersebut. Padahal, menurut masyarakat SAD, mereka telah memiliki skema penyelesaian permasalahan tersebut secara adat, dimana pihak yang bertikai telah dihadapkan pada sidang adat dan telah dihukum secara adil, mulai dari kesalahan yang paling ringan dengan membayar denda berupa sehelai kain, hingga pembunuhan yang harus dibayar dengan hukuman mati juga. Majelis Hakim untungnya bertindak arif bijaksana dan menjatuhkan hukuman yang setelah dipotong masa tahanan, maka para terdakwa itu hanya perlu menjalani hukuman empat hari lagi.
Sepintas memang tidak ada yang keliru jika kita melihat dengan optik positivistik bahwa hal ini membuktikan sistem peradilan pidana kita berjalan dengan baik, proses hukum telah sesuai prosedur, dan seterusnya. Namun yang seharusnya patut mendapat perhatian adalah hukum negara beserta alat kelengkapannya telah merusak harmonisasi dan tatanan masyarakat SAD. Apabila diibaratkan, maka hal ini sama saja dengan memasukkan singa (hukum negara) dengan rusa (hukum adat) dalam satu kandang. Hukum negara telah memangsa hukum adat secara perlahan hingga akhirnya nanti punah.

Datangnya Hukum Modern
Ulasan ini akan lebih mudah dipahami apabila kita terlebih dahulu membicarakan mengenai hukum modern, serta sejarah masuknya hukum modern di nusantara ini. Membicarakan keberadaan institut sosial yang bernama ’hukum’ tersebut nyaris sama saja dengan membicarakan sejarah panjang peradaban manusia itu sendiri. Eksistensi hukum dapat dilacak mulai Codex Hammurabi yang dipahat pada sebuah batu granit hitam kurang lebih 1760 tahun sebelum Masehi. Dalam terjemahannya ”.....in my bosom i have carried the people of the land of Sumerria and Accadia, they have become abundantly rich under my guardian spirit, I bear their charge in peace, and by my profound wisdom I protect them. That the strong may not oppress the weak, and so to give justice to the orphan and the widow, I have inscribed my precious words on this monument” tampak bahwa usaha Raja Hammurabi untuk menciptakan kedamaian (peace), mensejahterakan (abundantly rich), melindungi kaum lemah (may not oppress the weak), serta delivering justice to the people telah menjadi perhatian utama, dan hal ini pertama-tama dipositivisasikan dalam bentuk Codex.
Hampir dua millenium berikutnya, dunia mengenal adanya Corpus Juris Civilis, yang dikodifikasikan oleh Kaisar Justinianus dari Imperium Romawi. Corpus Juris Civilis ini awalnya terdiri dari empat bagian, yaitu Codex (kumpulan aturan dan putusan kaisar sebelum Justinianus), Novellae (kumpulan aturan dan putusan yang dikeluarkan oleh kaisar Justinianus sendiri), Instituti (buku ajar kecil bagi pendidikan hukum), Digesta (bagian paling besar dan paling penting yang berisi kumpulan tulisan para yuris Romawi mengenai berbagai macam seluk-beluk hukum, hak milik, pidana, tata negara, dll.) Digesta disebut pula sebagai Pandectae, yang menurut Prof. Djokosoetono di Belanda sendiri dikenalkan sebagai Pandektenrecht. Novellae sendiri dalam perkembangannya menjadi terpisahkan dari Corpus Juris Civilis dan dikenal sebagai Codex Justinianus.
Sekelumit sejarah mengenai hukum pada abad-abad lampau tersebut ingin menyampaikan kepada pembaca, bahwa bagaimanapun juga, usaha untuk mempositivisasikan dan mengkodifikasikan hukum sudah terjadi sejak dikenalnya hukum, sehingga dapat dikatakan, hegemoni paradigma positivisme sudah mencengkeram erat pikiran manusia sejak awal manusia mengenal hukum. Auguste Comte pun berpendapat bahwa tahapan ilmu pengetahuan terbagi menjadi tiga tahap: Teologis, Metafisis hingga Positivisme. Corpus Juris Civilis dan Codex Justinianus kemudian menjadi standar pembuatan hukum, terutama di Eropa dan menjadi bahan dasar pembuatan Code Napoleon, Code Civil dan Code du Commerce. Isi dari Instituti yang terdiri atas tiga bab utama, ”tentang orang”, ”tentang barang/benda”, ”tentang kewajiban” adalah serupa dengan isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia saat ini.
Apabila dicermati, tipe persebaran hukum berlangsung satu arah, yakni dari Eropa Barat menuju ke Asia, Afrika dan Amerika melalui kolonisasi, penjajahan/perang, misi agama dan perdagangan antar-bangsa. ”.....dinamika hukum berlangsung dalam suatu wilayah tertentu di dunia, yaitu di Eropa atau Barat....tipe hukum Eropa/Barat tersebut kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia....perlahan-lahan kita menggunakan standar hukum Barat apabila berbicara hukum di dunia...”
Menilik kembali ke Indonesia, sejarah masuknya hukum modern dimulai jauh sebelum bangsa ini membulatkan kehendak untuk menjadi satu kesatuan bangsa dan negara. Negeri ini telah dijajah oleh bangsa Eropa yang juga membawa struktur hukumnya untuk diberlakukan di daerah jajahan Hindia-Belanda. Hukum yang sesungguhnya disiapkan bagi masyarakat Eropa tersebut ditransplantasikan dan dipaksakan (transplanted and imposed) keberlakuannya pada suatu masyarakat yang memiliki struktur sosial-budaya sungguh sangat berbeda dengan kondisi Eropa. Sudah tentu hukum yang ditumbuhkan dalam habitat Eropa akan sarat dengan warna budaya-sosial-politik yang khas Barat. Sejak itulah masyarakat Nusantara Indonesia ini mulai mengenal suatu orde hukum yang benar-benar berbeda dari zaman sebelumnya, tak ada tandingnya, yakni orde hukum modern. Roberto Mangabeira Unger bahkan sampai berpendapat bahwa orde hukum modern adalah satu-satunya orde hukum yang secara sah layak untuk mendapatkan credential sebagai ’the legal system’ yang sesungguhnya.
Sejak orde hukum modern dijalankan di Hindia Belanda, maka masyarakat kita yang begitu komunalistik-religius dipaksakan untuk masuk ke dalam skema hukum yang individual-kapitalistik. Dengan adanya peraturan agraria kolonial Belanda, maka dalam sekejap rakyat kehilangan hak atas tanahnya karena tidak memiliki bukti alas hak tertulis (sertifikat). Begitu juga dengan adanya peraturan paten kolonial, dalam sekejap kekayaan cultural-traditional knowledge yang diwariskan secara turun-temurun, tiba-tiba harus didaftarkan. Dapat dikatakan, orde hukum modern-Barat telah membentuk dan mendefinisikan kembali (reshape and redefining) segala konsep yang dikenal oleh masyarakat lokal.
Dimulainya orde hukum baru tersebut mulai meminggirkan hukum adat (living law) yang turun-temurun berkembang di Nusantara. Hukum dalam bentuk tertulis menjadi ciri utama hukum modern (laws in writing is characteristic of all modern law) . Didorong oleh arus Revolusi Industri yang berhembus dari Eropa, maka proses positivisasi dan kodifikasi hukum menjadi semakin masif dan ekstensif.
Menghadapi perkembangan dunia, tiba-tiba dunia hukum dihadapkan pada kenyataan bahwa terdapat suatu ’kekosongan besar’ dalam peraturan-perundangannya. Dunia hukum meresponsnya dengan cara ’memproduksi’ peraturan-perundangan sebanyak dan selengkap mungkin (mass production of statutory laws). Sejak saat itu, seakan-akan yang layak dan sah disebut hukum adalah hukum tertulis, sedangkan otoritas yang sah juga hanya otoritas negara.
Sekarang kita sudah mengetahui dari kenyataan sejarah, bahwa negara dan peraturan diberi otoritas penuh untuk mendefinisikan sendiri apa arti hukum itu. Kondisi yang demikian dihadapkan pada kenyataan lain yang tak boleh dilupakan, bahwa setiap bangsa memiliki cara ”berhukum” yang berbeda. Apabila diibaratkan dengan adonan kue dan cetakannya, maka adonan kue (hukum) akan berbentuk sesuai dengan cetakannya . Cetakan yang dimaksud ini adalah kehidupan sosial-budaya yang ada di masing-masing bangsa. Karl von Savigny mengatakan, ”Das recht ist und wird mit dem volke”, hukum itu tertanam (embedding) dalam masyarakatnya; begitu pula dengan komunitas otonom SAD, hukum yang mereka percaya sudah tertanam dalam masyarakatnya.

Tiga Nilai Dasar Hukum
Apabila kasus ini diproyeksikan dalam pemikiran Gustav Radbruch mengenai cita hukum yang ditopang oleh tiga nilai dasar hukum: Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan, maka tampak bahwa kondisi ketiga nilai itu tidaklah lagi berada dalam kondisi spannungverhaltnis (saling berketegangan, tolak-tarik), namun ternyata masih lebih condong kepada Kepastian Hukum, daripada Keadilan maupun Kemanfaatan, karena perilaku penegak hukum masih mengutamakan sesuai bunyi pasal undang-undang dan prosedur yang berlaku, sehingga kata ’kepastian hukum’ tak lebih dari arti ’kepastian peraturan’.
Diproyeksikan kembali ke permasalahan kita, maka bisa dikatakan pengadilan negara dengan hukum negara telah menerobos masuk kedalam social life masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD). Hal ini seakan-akan menyeragamkan bahwa satu-satunya pengadilan yang sah menegakkan hukum dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote adalah hanya pengadilan negara dengan prosedur beracaranya. Hukum yang sah digunakan pun hanya hukum negara positif beserta seluruh sanksi yang mengikutinya.
Padahal, pengadilan-pengadilan ’rakyat’ pun juga diakui keberadaannya di Indonesia. Tempat mencari keadilan semacam ini juga bisa terjadi di masyarakat, terpencil maupun perkotaan, sebut saja semacam pengadilan Keboromo, pengadilan Lamaholot dan juga pengadilan Suku Anak Dalam ini, maupun berpuluh-puluh komunitas otonom lain yang tentu memiliki skema yang distinct dalam menyelesaikan masalah. Cara-cara yang distinct itu hendaknya tidak dianggap sebagai suatu penyimpangan (abberational) dalam ’berhukum’ namun hendaknya dianggap sebagai suatu ’kemajemukan’, ’keragaman’ atau ’kebhinnekaan’ kita sebagai bangsa.

Keragaman Cara Berhukum
Keberagaman, kemajemukan maupun kebhinnekaan cara berhukum hendaknya tidak ditanggapi sebagai sesuatu yang aneh, tidak wajar/penyimpangan dalam menjalankan hukum. Keberagaman hukum selalu saja ditemukan dalam berbagai macam bentuk masyarakat di setiap periode sejarah (”......differences in law are evident across societies, historical periods, cultural context, and individual cases, and all are subject to sociological explanation.....”) Keragaman cara itu sendiri bahkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang dipayungi oleh pemikiran-pemikiran postmodernisme yang justru mulai berkembang di awal tahun 1990-an. Pemikiran postmodern ini juga telah memasuki ranah pemikiran hukum (sebagai konsekuensi logis keberadaan ilmu hukum dalam universe of science), disamping sastra, arts, arsitektur.
Postmodernisme berangkat dari ide-ide dasar yang menghargai dan menjunjung tinggi adanya kemajemukan dan keragaman, hingga ke ranah hukum. Pandangan positivistik mengatakan bahwa one sphere, one conception of justice must triumph over all others, namun pandangan postmodernis menawarkan ide bahwa different spheres and rival conception of justice must be accomodated to each other. Pada intinya, tidak ada satu tipe cara berhukum yang dapat dikata paling benar, sementara yang lain adalah salah. Dalam postmodernisme, perbedaan discourse itu harus dikelola dengan baik.
Berangkat dari pemikiran postmodernisme, maka kami sangat menyetujui pemikiran yang menyatakan bahwa ’hukum adalah konstruksi mental manusia’, karena pada dasarnya konsep tentang hukum itu secara aktif dikonstruksikan dalam alam pikir manusia. Adalah perkara lain apabila kemudian mereka menuliskannya. Dengan demikian, setiap insan manusia memiliki konsep pengertian hukum yang berbeda-beda, beragam, plural mengenai ’apa itu hukum’, tergantung pengalaman subjektif individu. Perbedaan konsep tentang hukum itu niscaya akan selalu terjadi, oleh karena itu tidak perlu dipertentangkan, namun lebih baik secara konstruktif menyumbangkan pemikiran-pemikirannya bagi perkembangan ilmu hukum. Pemikiran-pemikiran baru yang lain adalah ide mengenai adanya ’hukum diluar hukum negara’ (yang sesuai dengan topik pembahasan ini). Pernyataan ide ini kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain seperti ”mungkinkah terdapat keadaan dimana hukum negara melemah ketika berhadapan dengan kekuatan sosial masyarakat?” hingga ”mungkinkah tercipta ketertiban tanpa hukum negara?”
Ternyata, berbagai segmen kehidupan sosial tidak dibentuk oleh atau merupakan karya hukum negara, namun justru oleh komunitas itu sendiri. Penggambaran bahwa negara mengontrol perilaku kehidupan masyarakat menjadi kurang sesuai lagi, karena ketertiban itu tidak selalu muncul dari akibat adanya hukum, namun lebih sering muncul secara spontaneously. Dengan demikian secara spontan telah muncul kaidah-kaidah informal di mana masyarakat suatu komunitas otonom itu (masyarakat SAD) mampu menciptakan ketertiban tanpa hukum. Secara sadar mereka harus menyesuaikan (adjustment) kepentingan masing-masing yang dihadapkan pada kepentingan bersama komunitas. Apabila ada persoalan, maka komunitas itu dapat menyelesaikan permasalahan dengan skema hukumnya sendiri, tanpa mengetahui bahwa ada skema hukum negara yang mengatur persoalan tersebut. Hal ini tampaknya sesuai juga dengan pendapat bahwa ”hukum itu sesungguhnya adalah pintu masuk untuk musyawarah demi mencapai kesepakatan”. Disini kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan masyarakat SAD untuk menjaga harmoni kehidupan bermasyarakat dalam komunitas otonom itu.
Sejak jaman dahulu sebelum munculnya negara hukum modern, hukum telah dipercaya sebagai institusi untuk mencari keadilan. Pengadilan-pengadilan pun belum dikonstruksikan seformal sekarang. Ketika itu, pengadilan masih dipercaya sebagai institusi mencari keadilan. Masyarakat tidak ragu untuk berhubungan dengan pengadilan. Namun semenjak negara malang-melintang memasuki kehidupan masyarakat dengan amat kuatnya, terjadi formalisasi institusi-institusi hukum dalam masyarakat. Cara negosiasi melalui musyawarah kemudian digantikan oleh proses ajudikasi peradilan yang serba prosedural.
Sistem hukum prosedural modern ini semakin membuat jarak dengan keadilan. Bersengketa di pengadilan sekarang tidak lagi sepenuhnya identik dengan mencari keadilan. Padahal, dalam masyarakat adat tradisional, pemahaman mengenai ’undang-undang’, ’hukum positif’ dan ’gugatan’ hampir tidak dikenal. Hal ini bukan berarti masyarakat adat itu tidak mengenal hukum / tidak berhukum, namun mereka telah memiliki skema penyelesaian sengketanya sendiri yang sesungguhnya sangat restoratif dan restitutif.
Masyarakat hukum adat ini tampaknya ’alergi’ dengan segala sesuatu yang dipaksakan dari dunia luar komunitas otonom mereka. Hal ini tidaklah aneh dan bahkan dapat dimengerti, karena bertahun-tahun melewati generasi tidak ada masalah dalam penerapan hukum adat, tiba-tiba sistem hukum mereka diterjang oleh skema hukum negara modern. Hal ini lalu memunculkan semacam sistem ’pertahanan diri’ dari dunia luar. Mereka secara kukuh berusaha menghindarkan penggusuran eksistensi religi, adat, dan moral dalam masyarakat dengan menolak sistem hukum modern tersebut.
Sekelumit uraian diatas semoga mampu menggambarkan keprihatinan kami terhadap ’hukum-hukum lokal’ yang semakin tergusur oleh datangnya hukum nasional yang hendak ’menyeragamkan’ kehidupan berhukum bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Pemikiran-pemikiran ’keseragaman demi kepastian hukum’ (sic!) ini adalah pemikiran yang sempit dan picik.
Bangsa ini tidaklah terdiri dari satu suku, satu ras dan satu agama saja, melainkan sebaliknya. Unsur-unsur kebudayaan Islam, Hindu, Budha serta Kristiani begitu kuatnya berakar dalam identitas kita. Bangsa ini adalah suatu melting pot, dimana ragam budaya dan agama memilih untuk bersatu dalam sebuah ikatan politis. Maka cara yang sesuai adalah mengambil semangat postmodernis yang menghargai kemajemukan, keberagaman, plurality in diversity. Semangat postmodernisme itu bahkan telah disadari oleh moyang kita walau dengan dibingkai kalimat yang sederhana, ”Bhinneka Tunggal Ika”, namun bermakna sangat dalam.
Sekedar menjadi pengingat, bahwa di Amerika Serikat pun keberagaman hukum itu diakui. Lima-puluh-satu jurisdiksi dengan lima-puluh-satu tipe hukum (lima-puluh negara bagian ditambah satu jurisdiksi federal) nyatanya tidaklah menyebabkan bangsa Amerika menjadi terpecah belah, bahkan ” in order to form a more perfect union and establish justice” , bangsa Amerika dengan bangga menyatakan this is an American concept of law.
Sekarang semua kembali berpulang kepada kita, apakah akan melanjutkan semangat positivistik ”pembangunan hukum menuju satu sistem hukum nasional” sebagaimana dipercayai oleh sebagian besar fakultas hukum di Indonesia, ataukah kita berani bergerak dalam ranah yang tidak populer, menentang mainstream, sehingga konsekuensinya adalah terkucilkan, dengan mendukung ”keberagaman hukum Indonesia” sebagaimana dirintis oleh segelintir pemikir hukum yang asketis di Indonesia?


3 komentar: